Budaya Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Humboldt (bicara | kontrib)
foto
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 50:
 
== Reformasi Budaya ==
Kedatangan para reformis Islam dari Timur Tengah pada akhir abad ke-18, telah menghapus adat budaya Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Budaya menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta adat masyarakat Minang. Para ulama yang dipelopori oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Tuanku Nan Renceh mendesak kaum adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada syariat Islam.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah [[perang Paderi]] yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cerdik pandai. Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium ''Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai.''
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah [[perang Paderi]] yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cerdik pandai. Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam. Hal ini tertuang dalam adagium ''Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai.'' (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al Quran). Sejak reformasi budaya dipertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki mesjid, disamping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan kaum keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri [[pencak silat]].
 
== Harta Pusaka ==
Dalam budaya Minangkabau terdapat dua jenis harta pusaka, yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan warisan turun-temurun yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kaum, sedangkan harta pusaka rendah merupakan hasil pencaharian seseorang yang diwariskan menurut hukum Islam.
 
=== Harta Pusaka Tinggi ===
Harta pusaka tinggi adalah harta milik seluruh anggota keluarga yang diperoleh secara turun temurun melalui pihak perempuan. Harta ini berupa rumah, sawah, ladang, kolam, dan hutan. Anggota kaum memiliki hak pakai dan biasanya pengelolaan diatur oleh datuk kepala kaum. Hak pakai dari harta pusaka tinggi ini antara lain; hak membuka tanah, memungut hasil, mendirikan rumah, menangkap ikan hasil kolam, dan hak menggembala.
 
Harta pusaka tinggi tidak boleh diperjualbelikan dan hanya boleh digadaikan. Menggadaikan harta pusaka tinggi hanya dapat dilakukan setelah dimusyawarahkan di antara petinggi kaum, diutamakan di gadaikan kepada suku yang sama tetapi dapat juga di gadaikan kepada suku lain.
 
Tergadainya harta pusaka tinggi karena empat hal:
 
# ''Gadih gadang indak balaki'' (perawan tua yang belum bersuami)
Jika tidak ada biaya untuk mengawinkan anak wanita, sementara umurnya sudah telat.
# ''Mayik tabujua di ateh rumah'' (mayat terbujur di atas rumah)
Jika tidak ada biaya untuk mengurus jenazah yang harus segera dikuburkan.
# ''Rumah gadang katirisan'' (rumah besar bocor)
Jika tidak ada biaya untuk renovasi rumah, sementara rumah sudah rusak dan lapuk sehingga tidak layak huni.
# ''Mambangkik batang tarandam'' (membongkar kayu yang terendam)
Jika tidak ada biaya untuk pesta pengangkatan Penghulu (Datuk) atau biaya untuk menyekolahkan seorang anggota kaum ke tingkat yang lebih tinggi.
 
=== Kontroversi dengan Hukum Islam ===
Menurut hukum Islam, harta pusaka haruslah diturunkan sesuai dengan ''faraidh'' yang sudah diatur pembagiannya antara pihak perempuan dan laki-laki. Namun di Minangkabau, seluruh harta pusaka tinggi diturunkan kepada anggota keluarga perempuan dari garis keturunan ibu. Hal ini menimbulkan kontoversi dari sebagian ulama.
 
Ulama Minangkabau yang paling keras menentang pengaturan harta pusaka tinggi yang tidak mengikuti hukum waris Islam adalah [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]] di [[Mekkah]], [[Syeikh Tahir Jalaluddin Al-Azhari]] di [[Perak, Malaysia]], dan [[Agus Salim]].<ref name="HAMKA_p23">{{cite book | last =Hamka | first = | authorlink = | coauthors = | title =Islam dan Adat Minangkabau | publisher =Pustaka Panjimas | date =Agustus 1985 | location =Jakarta | url = | doi = | isbn = | page =23}}</ref> Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam dan khatib [[Masjidil Haram]] Mekah, menyatakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk harta syubhat sehingga haram untuk dimanfaatkan. Beliau konsisten dengan pendapatnya itu dan tidak mau kembali ke ranah Minang.<ref name="HAMKA_p103"> Sikap Abdulkarim Amrullah berbeda dengan ulama-ulama diatas. Beliau mengambil jalan tengah dengan memfatwakan bahwa harta pusaka tinggi termasuk kategori wakaf, yang boleh dimanfaatkan oleh pihak keluarga namun tidak boleh diperjualbelikan.
 
== Produk Budaya ==