Ketuanan Melayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 146:
 
Walaupun Kebijakan Ekonomi Baru bertujuan mengatasi ketimpangan ekonomi, kebijakan ini dengan cepat diasosiasikan dengan Ketuanan Melayu. Walaupun jarang sekali kedua hal ini secara langsung disamakan, keduanya sering diungkit secara bersamaan dan disiratkan bahwa konsep Kebijakan Ekonomi Baru diturunkan dari Ketuanan Melayu.
 
===Amandeman konstitusi dan perubahan kebijakan lainnya===
[[Image:MalaysianParliament.jpg|thumb|[[Parlemen Malaysia]] mengesahkan beberapa amandemen terhadap Konstitusi Malaysia setelah [[Insiden 13 Mei]] dengan membatasi [[kebebasan berpendapat]] dan mengukuhkan pasal-pasal tertentu yang berkaitan dengan hak khusus [[Bumiputera]].]]
 
Parlemen Malaysia kemudian bersidang kembali pada tahun 1971. Walaupun Kebijakan Ekonomi Baru disahkan tanpa persetujuan parlemen, amandemen pada Konstitusi Malaysia memerlukan persetujuan parlemen. Undang-Undang Konstitusi (Amandemen) 1971 (''Akta Perlembagaan (Pindaan) 1971'') yang disusun pemerintah Malaysia beserta beberapa amandemen terhadap Undang-Undang Hasutan (''Akta Hasutan'') Malaysia membatasi kebebasan berpendapat mengenai "isu-isu sensitif" seperti bahasa nasional, hak khusus Melayu, raja-raja Melayu, dan kewarganegaraan.<ref>Khoo, p. 108.</ref> Pembatasan-pembatasan ini juga berlaku bagi anggota parlemen dan menghapuskan kekebalan hukum mereka. Amandemen ini juga mengklarifikasikan arti Pasal 152 Konstitusi dan memasukkan "warga pribumi Sabah dan Sarawak" dalam Pasal 153 serta memperluas hak-hak khusus Melayu kepada seluruh [[Bumiputera]].<ref name="khoo_104">Khoo, p. 104&ndash; 106.</ref> Selain itu, [[Yang di-Pertuan Agong]] juga dapat mengeluarkan arahan agar [[universitas]] atau [[perguruan tinggi]] manapun di Malaysia mengimplementasikan sistem penerimaan mahasiswa baru berdasarkan kuota rasial yang mengedepankan Bumiputera. Semua perguruan tinggi Malaysia dengan segera menerapkan sistem kuota tersebut setelah diperintahkan oleh Kementerian Pendidikan. Beberapa politikus kemudian mempertanyakan konstitusionalitas tindakan ini karena Yang di-Pertuan Agong sendiri belum pernah mengeluarkan arahan tersebut.<ref>Trinidade, F.A. & Lee, H.P. (eds., 1986). ''The Constitution of Malaysia: Further Perspectives and Developments'', pp. 48&ndash;49. Penerbit Fajar Bakti. ISBN 967-65-0030-5.</ref>
 
== Sumber ==