Pragaan, Sumenep: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k bot kosmetik perubahan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 29:
Terletak di sebelah timur desa Pragaan Lao', Prenduan merupakan desa yang paling pesat perkembangannya dan paling banyak penduduknya di kecamatan Pragaan. Asal nama Prenduan dipercaya berasal dari [[Bahasa Madura]] '''arenduh''', yaitu posisi ketika sapi atau kuda meringkuk. Menurut legenda di desa inilah tempat beristirahatnya kuda yang dinaiki [[Kabupaten Sumenep|Jokotole]] dalam perjalanan pulang dari kerajaan [[Majapahit]] menuju [[Sumenep]]. Cerita lain menyebutkan bahwa desa ini merupakan tempat beristirahat pasukan berkuda Belanda jika dalam perjalanan dari [[Pamekasan]] menuju [[Sumenep]]. Lokasi desa memang hampir di tengah-tengah jarak antara kedua kota. Dahulu desa ini adalah tempat yang cukup hijau, ramai dan dekat dengan sumber air, masuk akal jika Jokotole maupun Belanda memilih tempat ini sebagai tempat istirahat.
Pada masa penjajahan Belanda desa ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting bagi kawasan sekitarnya. Transportasi darat berupa jalur transportasi utama menuju Pulau Jawa dan jalur kereta api yang dibangun oleh Perusahaan Kereta Api Belanda pada tahun 1854 telah mendorong desa ini maju dengan pesat. Transportasi darat juga bersinggungan dengan transportasi laut yang menghubungkan dengan kota-kota pantai di bagian Utara Jawa Timur mulai dari Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Pasuruan dan Sidoarjo. Bahkan ada beberapa diantaranya yang langsung berlayar kke Bali, Sumbawa Makasar dan Kalimantan.
Perdagangan di sepanjang jalan utama berpusat di sekitar pasar Prenduan yang sejak tahun 1972 sudah dipindahkan ke bagian Barat Desa. Namun hingga kini kegiatan perdagangan di bekas lokasi pasar lama masih berlangsung dengan intensitas kesibukan yang masih padat.
Selain sebagai daerah perdagangan desa ini juga sangat dikenal sebagai desa santri. Sejak terjadinya kerusuhan anti Cina pada tahun 1920-an. Penduduk etnis Cina yang sebetulnya telah banyak berkontribusi terhadap majunya perdagangan di desa ini diusir dari desa. Sejak itu pula penduduk desa 100% terdiri dari penduduk pribumi dan seluruhnya beragama Islam. Pendidikan keagamaan di desa ini sangat kuat. Tokoh penting dalam penyebaran dan pendidikan ke Islaman tidak terlepas dari peran seorang saudagar yang kaya raya pada jamannya yaitu Kiyai Gema. Selanjutnya melalui keturunannya berkembang pondok pesantren yang sangat besar pengaruhnya dalam kemajuan pendidikan agama Islam adalah Pondok Pesantren AL-Amin yang didirikan oleh Kiyai Jauhari dan selanjutnya diserahkan kepada putera-puterinya. Pondok pesantren putera Al-Amin dipimpin oleh Kiyai Ahmad Tijani (alm) yang menempuh pendidikan agama di Saudi Arabia dan sempat lama tinggal disana sebagai pejabat di Sekjen Rabitah Alam Islamie. Pimpinan harian lebih banyak dikelola oleh adiknya yaitu Kiyai Idries Jauhari. Pada sekitar tahun 1989-an adiknya Kiyai Mahtum yang sebelumnya menempuh pendidikan di saudi arabia dan sempat bermukim cukup lama disana pulang dan memimpin pondok pesantren puteri al-Amin.
Perdagangan di desa terutama sekitar tahun 60-80an berupa perdagangan tembakau dan gula siwalan. Melalui tembakau desa ini termasuk daerah yang kaya. Pengusaha pribumi tumbuh dengan nilai kekayaan yang cukup besar. Banyak diantaranya kemudian memiliki pergaulan dengan para pengusaha di pulau Jawa. Dan mereka banyak juga yang memiliki rumah-rumah mewah tidak saja di desa tetapi juga di pulau Jawa. Rumah di Jawa digunakan untuk memudahkan mereka selama mengurusi pusaha perdagangannya di Jawa, selain untuk menyekolahkan putera-puteri mereka di sekolah-sekolah bergengsi di Jawa. Keberhasilan perdagangan tembakau pada saat itu telah merubah suasana desa tampak seperti sebuah kota di Jawa. Rumah-rumah baru dengan gaya arsitektur modern banyak tumbuh dan mobil-mobil mewah menjadi pemandangan biasa di desa ini.
Satu hal yang sangat penting pula adalah peran penguasaha dalam pengembangan keislaman di desa. Pengusaha dan kiyai berkolaborasi dalam mejukan pendidikan di desa. Pengusaha menjadi tulang punggung dalam pendanaan pengembangan pondok pesantren. Demikian pula banyak pemuda-pemuda yang cerdas diberangkatkan ke berbagai kota untuk menimba ilmu ke Islaman atas biaya penguasaha dan selanjutnya para pemuda tersebut diminta kembali ke desa untuk bersama-sama mengembangkan ilmu dan pendidikan yang telah dirintis oleh para Kiyai.
{{Kabupaten Sumenep}}
|