Gereja Puhsarang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 6:
Gereja Katolik di Puhsarang (atau Pohsarang) didirikan atas inisiatif pribadi dari Romo [[Jan Wolters CM]] dengan bantuan arsitek terkenal [[Henri Maclaine Pont]] pada tahun 1936. Keindahan arsitektur Gereja Pohsarang melekat pada dua nama ini, arsiteknya Ir Maclaine Pont dan pastornya Romo Jan Wolters CM. Ir. Henricus Maclaine Pont sangat pandai dalam membentuk keindahan bangunan Gereja yang mengukir kebudayaan Jawa; sementara Romo Wolters sebagai inisiator memberi roh pengertian mendalam tentang makna sebuah bangunan Gereja dengan banyak simbolisme untuk katekese iman Katolik. Dalam konteks karya misi Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya, Romo Wolters dikenal sebagai "rasul Jawa" (bersama Romo van Megen CM dan Romo Anton Bastiaensen CM). Disebut "rasul Jawa", karena sebagai misionaris Belanda ia sangat mencintai dan menghormati orang Jawa, bahasa Jawa dan kebudayaan serta nilai-nilai kejawaan. Romo Jan Wolters CM adalah pastor di paroki Kediri pada waktu itu. Insinyur Maclaine Pont juga yang menangani pembangunan museum di [[Trowulan, Mojokerto]], yang menyimpan peninggalan sejarah [[Kerajaan Majapahit]]. Sehingga bangunan Gereja Pohsarang mirip dengan bangunan Museum Trowulan. Sayang bahwa gedung museum di Trowulan itu sudah hancur pada tahun 1960 karena kurang dirawat dengan baik sebab kurangnya dana untuk pemeliharaan dan perawatan. Romo Wolters, CM, minta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Pohsarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.<ref>''St. Vincentius a Paulo, Missietijdschrift der Lazaristen'', 15 Juli 1937, hlm. 108.</ref>
Peletakan batu pertama gereja dilakukan pada tanggal 11 Juni 1936, bertepatan dengan pesta Sakramen Mahakudus, oleh Mgr. [[Theophile de Backere CM]], Prefek Apostolik Surabaya pada waktu itu. Dalam gereja kuno ini terdapat dua bagian pokok yakni Bangunan Induk dan Bagian Pendapa. Dalam sambutannya pada waktu peletakan batu pertama, Ir. Maclaine Pont membeberkan rancangannya bahwa hiasan-hiasan simbolis yang ada di salib, seperti mahkota duri, I.N.R.I., Alpha dan Omega, monogram Kristus, paku-paku, nyala api yang menjilat di sekeliling tengah dan akhirnya tetesan darah pada kaki merupakan bagian dari iman Katolik yang penting. Di bawah salib yang besar yang menjulang dengan megah di atas Gereja yang kecil itu, akan bergantung merpati perak di dalam gereja. Karena Kristus adalah satu-satunya perantara antara Tuhan dan manusia, Dialah yang telah mempertemukan kita kembali dengan Allah Bapa oleh kematian-Nya di kayu Salib dan selanjutnya menganugerahkan kita cinta kasih dan Roh Kudus, yang mengemudikan Gereja dan menyucikan para anggotaNya. Empat ujung balok yang menonjol akan melambangkan empat pengarang Injil, yang harus menyebarkan ajaran Kristus. Sementara gambar kedua belas rasul mengatakan bahwa di atas pondasi para rasul-lah Gereja didirikan. Maka, bangunan gereja ini akan merupakan "Kitab Suci" bagi umat yang sederhana yang tak dapat membaca. Seperti halnya raja Jawa yang tinggal di istana (kraton) dengan benteng sekelilingnya dan gapura mengelilingi kraton dan rumah, begitulah juga di sini orang Jawa Katolik, yang harus menunggu kalau hendak menghadap Kristus, Raja dari segala raja. Pertama-tama harus melewati gapura, melalui menara "Henricus" yang besar, untuk mencapai "Istana Tertutup", dimana umat melalui serambi para katekumen, akhirnya sampai di istana Sang Raja. Di tempat yang suci itu, yang sudah terpisahkan jauh dari dunia biasa, dia akan merasakan lebih dekat dengan Tuhan, dia akan berlutut menunduk di depan “porta coeli” – “pintu Surga”. Gereja yang bangunannya sama-sekali terbuka ini kecuali sekitar panti imam, akan memungkinkan mengikuti upacara-upacara suci dari Istana Raja dari segala raja. Dan, Dua ribu orang dapat ditampung di situ.<ref>Bdk. ''St. Vincentius A Paulo. Missietijdschrift der Lazaristen'', 26 JRG 6e AFL, November 1936, hlm. 177 & 178. Lih. Armada Riyanto CM., ''80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia'', CM Provinsi Indonesia, Surabaya, 2003, hlm. 83-88.</ref>
Sekilas bangunan gereja di Pohsarang mirip dengan perahu yang menempel pada sebuah bangunan mirip gunung. Bangunan yang mirip gunung ini melambangkan atau menggambarkan Gunung Ararat di mana dulu perahu nabi Nuh terdampar setelah terjadi air bah, yang menghukum umat manusia yang berdosa (Kitab Kejadian 8:4), sedangkan bangunan yang mirip perahu tadi menggambarkan atau melambangkan Bahtera atau Perahu Nabi Nuh, yang menyelamatkan Nuh dan keluarganya yang percaya pada Allah, bersama dengan binatang-binatang lainnya.
Baris 34:
=== Bagian Pendapa ===
Kalau dalam bangunan Induk terdapat banyak hiasan maka bagian Pendapa ini yang merupakan ruangan terbuka tidak ada hiasannya sama sekali. Bangunan pendapa ini untuk umat yang belum dibaptis atau calon baptis. Dalam Kerajaan Jawa dulu selalu terdapat bagian terbuka atau Pendapa, yang merupakan tempat persiapan sebelum seseorang masuk kedalam istana menghadap raja, demikian pula bagian pendapa ini merupakan tempat persiapan sebelum umat menghadap Allah yang menjadi Raja mereka.<ref>Lih. Aloysius Budijanto CM, ''Gereja Puh Sarang sebagai Bangunan Ibadat menurut Budaya Jawa'', tesis di STFT Widya Sasana, Malang 1991. </ref>
Gereja Pohsarang dibangun dalam konteks jauh sebelum Konsili Vatikan II. Liturgi Ekaristi sebelum Konsili menunjukkan bahwa umat yang belum dibaptis menempati tempat yang "lebih jauh" dari Altar Tuhan. Itulah sebabnya, "pendapa" dimaksudkan untuk tempat "menunggu" bagi umat untuk masuk ke dalam, ke wilayah yang lebih dekat dengan altar Tuhan. Maksudnya, ke "pembaptisan", sakramen yang membuat mereka dipersatukan sebagai putera-puteri Allah. Sesudah Konsili Vatikan II, pembedaan tempat dalam Ekaristi ini tidak ada lagi. Tata cara liturgi Ekaristi juga telah diperbaharui sedemikian rupa. Namun demikian, struktur bangunan gereja Pohsarang ini mengukir sejarah liturgi yang indah.<ref>Ibid.</ref>
=== Gapura Yang Mirip Candi ===
Baris 75:
== Renovasi Gereja ==
Antara kompleks Puh Sarang sekarang ini dengan keadaan pada waktu didirikannya pada tahun 1936 terlihat sudah terjadi banyak perubahan dan penambahan bangunan serta luasnya areal yang dipakai untuk kepentingan umat. Bangunan ''amphiteater'' yang dulu untuk main sandiwara sudah tidak ada lagi, dan sebagai gantinya di tempat itu sekarang muncul Taman Hidangan Kana. Namun bangunan Induk yaitu Gereja tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya, meskipun gentengnya dan kawat baja yang ada terpaksa diganti sebab sudah lapuk dimakan usia. Perbaikan dan renovasi itu perlu diadakan karena kalau tidak dilakukan gereja Puh Sarang akan rusak dan hancur seperti museum di Trowulan.<ref>Lih. Mgr. J. Hadiwikarta, ''Puh Sarang: Tempo Doeloe dan di Tahun 2000'', Surabaya 1999, hlm.21-28. Simak juga Primanto Nugroho e.a., Tempat Ziaraha Santa Maria Pohsarang: Napak Tilas Gereja Umat, Produksi Pohsarang Creat Studio, Yogyakarta, 1999. Dalam terbitan ini, diberikan artikel-artikel reflektif yang menarik. </ref>
=== Renovasi Pertama Tahun 1955 ===
Baris 89:
=== Renovasi Keempat Tahun 1999 ===
Pada tanggal 22 Mei 1993 Romo Emilio Rossi, CM, pastor Kediri, melaporkan bahwa di gereja Puh Sarang terlihat perubahan bentuk pada busur kayu pendukung atap utama yang mulai bergelombang. Besi beton penatik di tepi busur di sebelah kolom segitiga sudah kendor atau tidak berfungsi lagi, gording-gording besi siku bertambah lendutannya, dan ada dugaan bahwa mungkin atap gereja mengalami penurunan akibat atap yang terlalu berat. Dikawatirkan kalau gereja tidak lekas diperbaiki bisa rusak.<ref>Lih. Mgr. J. Hadiwikarta, ''Gua Maria Lourdes Puh Sarang, Kediri, Keuskupan Surabaya'', Sekretariat Keuskupan Surabaya, 2001. Buku ini merupakan tulisan yang diasalkan dari beberapa sumber tentang Puhsarang dan terutama untuk menyajikan pembangunan Gua Maria yang terletak beberapa puluh meter dari Gerejanya.</ref>
Maka Tim pembangunan Keuskupan setelah mengadakan penilitian berpendapat bahwa harus diadakan perbaikan yang cukup besar. Tanggal 18 Mei 1999 diadakan peresmian mulainya renovasi keempat yang ditangani oleh Ir. Harry Widyanto dan Ir. A.S. Rusli dibantu oleh Ir. Djoko. Diusahakan mengembalikan gereja Puh Sarang ke dalam bentuk aslinya. Pendopo yang sebelumnya tertutup akan dibuat terbuka dan diperkecil seperti bentuk semula. Bentuk atap yang selama ini menggunakan kayu dikembalikan ke bentuk semula dengan memakai kawat baja. Lengkungan yang dulu dari kayu diganti dengan besi baja supaya lebih tahan lama.
Baris 98:
{{reflist}}
== Pranala luar ==
|