Gereja Puhsarang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Armada Riyanto (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Alagos (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{tanpa_referensi|date=2010}}
[[Berkas:Pohsarang3.jpg|framethumb|right|border200px|Gereja Puhsarang, Gereja "Keraton Jawa" 1937, Kediri.]]
[[Berkas:Puhsarang1.jpg|frameless200px|right|borderthumb|Gereja Puhsarang, Gereja "Keraton Jawa" 1999,saat Kediriini.]]
'''Gereja Puhsarang''' adalah sebuah [[Gereja Katolik Roma]] yang terletak di desa Puhsarang atau Pohsarang dekat kota [[Kediri]], di kaki gunung Wilis, [[Jawa Timur]].
 
== Sejarah ==
Gereja Katolik di Puhsarang (atau Pohsarang) didirikan atas inisiatif pribadi dari Romo [[Jan Wolters CM]] dengan bantuan arsitek terkenal [[Henri Maclaine Pont]] pada tahun 1936. Keindahan arsitektur Gereja Pohsarang melekat pada dua nama ini, arsiteknya Ir Maclaine Pont dan pastornya Romo Jan Wolters CM. Ir. Henricus Maclaine Pont sangat pandai dalam membentuk keindahan bangunan Gereja yang mengukir kebudayaan Jawa; sementara Romo Wolters sebagai inisiator memberi roh pengertian mendalam tentang makna sebuah bangunan Gereja dengan banyak simbolisme untuk katekese iman Katolik. Dalam konteks karya misi Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya, Romo Wolters dikenal sebagai "rasul Jawa" (bersama Romo van Megen CM dan Romo Anton Bastiaensen CM). Disebut "rasul Jawa", karena sebagai misionaris Belanda ia sangat mencintai dan menghormati orang Jawa, bahasa Jawa dan kebudayaan serta nilai-nilai kejawaan. Romo Jan Wolters CM adalah pastor di paroki Kediri pada waktu itu. Insinyur Maclaine Pont juga yang menangani pembangunan museum di [[Trowulan, Mojokerto]], yang menyimpan peninggalan sejarah [[Kerajaan Majapahit]]. Sehingga bangunan Gereja Pohsarang mirip dengan bangunan Museum Trowulan. Sayang bahwa gedung museum di Trowulan itu sudah hancur pada tahun 1960 karena kurang dirawat dengan baik sebab kurangnya dana untuk pemeliharaan dan perawatan. Romo Wolters, CM, minta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Pohsarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.<ref>''St. Vincentius a Paulo, Missietijdschrift der Lazaristen'', 15 Juli 1937, hlm. 108.</ref>
[[Berkas:Pohsarang Wolters.jpg|left|framethumb|250px||Romo Jan Wolters CM (kanan) bersama Ir. Henri Maclain Pont (?).]]
Peletakan batu pertama gereja dilakukan pada tanggal 11 Juni 1936, bertepatan dengan pesta Sakramen Mahakudus, oleh Mgr. [[Theophile de Backere CM]], Prefek Apostolik Surabaya pada waktu itu. Dalam gereja kuno ini terdapat dua bagian pokok yakni Bangunan Induk dan Bagian Pendapa. Dalam sambutannya pada waktu peletakan batu pertama, Ir. Maclaine Pont membeberkan rancangannya bahwa hiasan-hiasan simbolis yang ada di salib, seperti mahkota duri, I.N.R.I., Alpha dan Omega, monogram Kristus, paku-paku, nyala api yang menjilat di sekeliling tengah dan akhirnya tetesan darah pada kaki merupakan bagian dari iman Katolik yang penting. Di bawah salib yang besar yang menjulang dengan megah di atas Gereja yang kecil itu, akan bergantung merpati perak di dalam gereja. Karena Kristus adalah satu-satunya perantara antara Tuhan dan manusia, Dialah yang telah mempertemukan kita kembali dengan Allah Bapa oleh kematian-Nya di kayu Salib dan selanjutnya menganugerahkan kita cinta kasih dan Roh Kudus, yang mengemudikan Gereja dan menyucikan para anggotaNya. Empat ujung balok yang menonjol akan melambangkan empat pengarang Injil, yang harus menyebarkan ajaran Kristus. Sementara gambar kedua belas rasul mengatakan bahwa di atas pondasi para rasul-lah Gereja didirikan. Maka, bangunan gereja ini akan merupakan "Kitab Suci" bagi umat yang sederhana yang tak dapat membaca. Seperti halnya raja Jawa yang tinggal di istana (kraton) dengan benteng sekelilingnya dan gapura mengelilingi kraton dan rumah, begitulah juga di sini orang Jawa Katolik, yang harus menunggu kalau hendak menghadap Kristus, Raja dari segala raja. Pertama-tama harus melewati gapura, melalui menara "Henricus" yang besar, untuk mencapai "Istana Tertutup", dimana umat melalui serambi para katekumen, akhirnya sampai di istana Sang Raja. Di tempat yang suci itu, yang sudah terpisahkan jauh dari dunia biasa, dia akan merasakan lebih dekat dengan Tuhan, dia akan berlutut menunduk di depan “porta coeli” – “pintu Surga”. Gereja yang bangunannya sama-sekali terbuka ini kecuali sekitar panti imam, akan memungkinkan mengikuti upacara-upacara suci dari Istana Raja dari segala raja. Dan, Dua ribu orang dapat ditampung di situ.<ref>Bdk. ''St. Vincentius A Paulo. Missietijdschrift der Lazaristen'', 26 JRG 6e AFL, November 1936, hlm. 177 & 178. Lih. Armada Riyanto CM., ''80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia'', CM Provinsi Indonesia, Surabaya, 2003, hlm. 83-88.</ref>
 
Baris 31:
 
Bangunan Gereja secara unik dikelilingi oleh benteng yang terbuat dari batu-batu dan tampak kokoh. Yang lebih menarik lagi adalah memperhatikan bentuk pintu gerbang atau pintu masuk. Terdapat tiga pintu: pintu utama dengan model bangunan megah terletak di samping; pintu yang terletak di depan pendopo yang langsung berhadapan dengan makam (umat Katolik); dan pintu samping yang terlihat sempit dan kecil. Konsep benteng batu yang kokoh, pintu utama yang megah, pintu sempit, pintu yang berhadapan dengan makam berasal dari kreativitas Romo pendirinya, Romo Jan Wolters CM.
[[Berkas:Pintu sempit.JPG|leftright|borderthumb|frame200px|Pintu masuk yang "sempit" Gereja Puhsarang.]]
Romo Wolters CM berpendapat bahwa Gereja adalah "Rumah Tuhan" (Keraton Dalem), di situ bertahta Yesus Kristus, sang Raja segala raja. Tetapi, Yesus Kristus adalah Raja yang menyambut umatNya secara personal, pribadi. Ia adalah Raja yang tidak sulit dijumpai. Ia adalah Raja yang menyambut siapa pun yang datang kepada-Nya. Ia adalah Raja yang disembah dalam relasi kemesraan dan keakraban. Pintu yang megah melambangkan gerbang Rumah Tuhan yang harus megah, menyongsong umat Allah yang datang untuk "sowan" dan menyembah Rajanya. Pintu yang sempit mengatakan seperti dalam Injil bahwa untuk masuk ke Kerajaan Allah, orang harus melewati pintu yang sempit. Untuk dekat dan berelasi dengan Tuhan, lorong jalannya kerap sulit, sempit. Pintu yang berhadapan dengan makam mengukir sebuah kebenaran iman, bahwa terhadap umat Tuhan yang telah wafat berpulang ke keabadian, mereka semua disambut oleh Kristus Sang Raja dalam Rumah Abadi di Surga.<ref>''Ibid''.</ref> Jadi, Gereja Pohsarang itu indah bukan hanya karena bentuknya, melainkan juga karena ada katekese iman yang melekat erat pada bangunan tersebut. Dan, katekesenya amat kaya serta mendalam.
 
Baris 52:
 
Di halaman gereja terdapat Patung Kristus Raja. Di atasnya terdapat tiang batu di mana terdapat Perahu Nabi Nuh. Dalam Tradisi para Bapa Gereja, bahtera (perahu) Nabi Nuh adalah lambang Gereja. Mengapa ada patung Kristus Raja? Kristus adalah Kepala Gereja. Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus. Patung Kristus Raja terbuat dari batu melukiskan keindahan dan kekokohan. Kristus lantas juga seolah-olah tampil kokoh sebagai yang "menakhodai" bahtera-Nya. Kristuslah yang memimpin dan membimbing Gereja-Nya, persekutuan umat beriman yang dipersatukan dalam iman kepada-Nya.
[[Berkas:Pohsarang10.jpg|left|borderthumb|frame250px|Amphitheater di Pohsarang, ide Romo Jan Wolters CM. Foto dari ''SV-Missietijdschrift der Lazaristen'' 1938]]
Di halaman yang sekarang dipakai untuk taman, dulu kala terdapat sebuah bangunan indah yang disebut "Amphitheater", sebuah lapangan menyerupai tempat untuk pementasan drama seperti di zaman Yunani kuno, dimana pentasnya ada di tempat yang lebih rendah dari penontonnya. Pada tanggal 7 Agustus, tahun 1937-an (?), terdapat pementasan kisah Abraham yang dijalankan di "Aphitheater" tersebut sebagai sebuah drama katekese kisah Kitab Suci sekaligus untuk menyambut tamu-tamu agung, yaitu Yang Mulia Mgr. Pacino, Delegat Apostolik untuk Australia, sekretarisnya, Mgr. King; Vikaris Apsotolik untuk Indonesia Timor Mgr. Pelsers, dan Prefek Apostolik Surabaya Mgr. Verhoeks. Peristiwa ini menandai perhelatan penting dari sebuah desa Pohsarang dengan sebuah bangunan "Gereja Keraton Jawa"-nya. Sejak itu, Pohsarang menjadi emblem inkulturasi yang mencengangkan, tulis Romo van Megen CM.<ref>''St. Vincentius a Paulo, Missietijdschrift der Lazaristen'', 29e Jaargang, 6e AFL., No. 158, 15 Nopember 1939, hlm. 171-173.</ref>
 
Baris 98:
== Referensi ==
{{reflist}}
 
 
== Pranala luar ==