Filsafat Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-praktek +praktik)
Baris 3:
Istilah ''Filsafat Indonesia'' berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh [[M. Nasroen]], seorang Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di [[Universitas Indonesia]], yang di dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia. Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis sesudahnya seperti [[Sunoto]], [[R. Parmono]], [[Jakob Sumardjo]], dan [[Ferry Hidayat]]. Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas [[Filsafat]] di [[Universitas Gajah Mada]] (UGM) Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di UGM yang bernama ''Jurusan Filsafat Indonesia''. Sampai saat ini, Universitas Gajah Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
 
Para pengkaji Filsafat Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam konsep-konsep dan praktekpraktik-praktekpraktik asli dari ''mupakat'', ''pantun-pantun'', ''Pancasila'', ''hukum adat'', ''gotong-royong'', dan ''kekeluargaan'' (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan 38). Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...kekayaan budaya bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri'' (Sunoto 1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai ''...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan daerah'' (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' sebagai ''...pemikiran primordial...'' atau ''pola pikir dasar yang menstruktur seluruh bangunan karya budaya...'' (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak membedakannya dengan [[kajian-kajian budaya]] dan [[antropologi]]. Secara kebetulan, ''Bahasa Indonesia'' sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai entitas yang terpisah dari [[teologi]], [[seni]], dan [[sains]]. Sebaliknya, orang Indonesia memiliki kata generik, yakni, ''budaya'' atau ''kebudayaan'', yang meliputi seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi, agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat, yang tercakup dalam makna kata ''budaya'' tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil filsuf-filsuf mereka dengan sebutan ''budayawan'' (Alisjahbana 1977:6-7). Karena itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan', yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan definisi penulis yang terakhir.
 
== Mazhab Pemikiran ==
Baris 27:
=== Mazhab Tiongkok ===
 
Para filsuf etnik masih menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan migrant-migran Tiongkok antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan memperkenalkan [[Taoisme]] dan [[Konfusianisme]] kepada mereka (Larope 1986:4). Dua filsafat asing itu bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur; begitu tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tak dapat lagi dicerai-beraikan (SarDesai 1989:9-13). Salah satu dari sisa baurnya filsafat-filsafat tadi, yang hingga kini masih dipraktekkandipraktikkan oleh semua orang Indonesia, adalah ajaran ''hsiao'' dari [[Konghucu]] (bahasa Indonesia, ''menghormati orangtua''). Ajaran itu menegaskan bahwa seseorang harus menghormati orangtuanya melebihi apapun. Ia harus mengutamakan orangtuanya sebelum ia mengutamakan orang lain.
 
Mazhab Tiongkok kelihatan eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat penting. [[Sun Yat-senisme]], [[Maoisme]], dan [[Neo-maoisme]] merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI) (Suryadinata 1990:15).
Baris 66:
=== Mazhab Paska-Soeharto ===
 
Mazhab ini terutama mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Perhatian utama mereka ialah [[Filsafat Politik]], yang misi utamanya ialah mencari alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filsuf lewat cara kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba melawan Soeharto di era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai ''Peristiwa ITB Bandung 1973'' dan ''Peristiwa Malari 1974''. Sejak praktekpraktik kekerasan itu, filsafat hanya dapat dipraktekkandipraktikkan dalam [[utopia]]; [[praksis]] dan [[inteleksi]] dipisahkan dari filsafat. Praksis dilarang, dan hanya [[penalaran]] yang mungkin bisa bertahan. Era Soeharto, dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’, dimana segala jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat dipraktekkandipraktikkan dalam kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan ditundukkan. [[Pancasila]] menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat di era itu (tentunya, Pancasila yang ditafsirkan menurut kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945) (Hidayat 2004:49-55).
 
Dalam ‘lingkaran setan’ rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang kelak memutuskan mata-rantai lingkaran itu, dan mereka disebut disini sebagai ‘filsuf paska-Soeharto’, di antaranya seperti: [[Sri-Bintang Pamungkas]], [[Budiman Sudjatmiko]], [[Muchtar Pakpahan]], [[Sri-Edi Swasono]], dan [[Pius Lustrilanang]].