Michael Verhoeks: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k bot kosmetik perubahan
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (-jaman +zaman)
Baris 6:
Sebagai seorang pemimpin Gereja Katolik di Vikariat Surabaya, Msgr. Michael Verhoeks CM, yang menggantikan Msgr. [[Theophile de Backere CM]], mengalami masa-masa sangat sulit berkaitan dengan peristiwa Perang Dunia II. Apalagi pada waktu itu di kota Surabaya dan sekitarnya berkobar perang melawan tentara kolonial Belanda yang - dalam buku-buku sejarah - diceritakan "membonceng" kehadiran tentara sekutu (Aliansi) melawan Jepang. Msgr. Verhoeks CM bersama dengan para pastor dan orang-orang Belanda di-internir oleh Jepang di Cimahi tahun 1943. Sebagaimana dialami oleh orang-orang Belanda waktu itu, Msgr. Verhoeks CM juga mengalami berbagai pengalaman penganiayaan oleh tentara Dai Nippon. Pengalaman di Internir-lah yang antara lain menjadi sebab Msgr. Verhoeks CM harus mengidap penyakit yang menderanya hingga wafatnya, asma.
 
Sesudah kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia (1945) kepemimpinan Msgr. Verhoeks CM di Vikariat Surabaya mendapat tantangan hebat berhubung dengan periode yang disebut jamanzaman agresi militer Belanda. Pada waktu itu, wilayah Mojokerto ke timur sampai Surabaya dikuasai oleh tentara kolonial Belanda; sementara Jombang ke barat (sampai Madiun) berada dalam kekuasaan Tentara Republik Indonesia. Dari sendirinya Vikaris Surabaya, Msgr. Verhoeks CM, mengalami kesulitan untuk melakukan kunjungan ke wilayah "barat". Karena situasi politis yang gawat, "wilayah" kevikariatannya" seakan terbelah antara timur (Mojokerto dan Surabaya) dan barat (Jombang-Madiun). Karena itu, Romo Dwidjosoesastro CM, yang adalah Romo Jawa pertama dari CM dan baru pulang dari Belanda diangkatnya menjadi semacam "wakil" atau "pro-Vikaris Apostolik" yang menangani wilayah "barat".<ref>Bdk. Piet Boonekamp CM., "Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya", dalam H. Muskens, ''Sejarah Gereja Katolik Indonesia'', Jilid 3b, Ende-Flores 1974, hlm. 949-999.</ref> Dalam konteks inilah, Almarhum Romo J. Haryanto CM (Administrator Apostolik Keuskupan Surabaya 2005-2008), salah satu seminaris pertama Keuskupan Surabaya, mengisahkan bahwa ketika dirinya bersama sekitar delapan kawannya dibawa oleh Romo Dwijosoesastro CM tahun 1948 ke Jalan Kepanjen 9, Surabaya untuk masuk "seminari", ia dan kawan-kawannya dari Madiun dan Kediri harus melewati "perbatasan" wilayah (demarkasi) untuk masuk ke Surabaya, momen penyeberangan ini diingatnya sebagai yang menegangkan pada waktu itu.
 
Dan, "kedatangan mendadak" sekitar delapan siswa pertama itulah yang dipandang sebagai "awal" pendirian seminari menengah di Keuskupan Surabaya. Romo Karl Prent CM menulis demikian: "Awalnya [pendirian seminari] memang cukup berpetualang. Kami menulis 1948: Hari-hari yang kacau selama aksi personil dan perang kemerdekaan; negara [wilayah Jawa Timur] dibagi oleh suatu garis demarkasi, dimana-mana ada kekacauan. Pada suatu hari Pastor Dwidjosoesastro CM, sebagian nunut, sebagian berjalan kaki dengan 8 anak menembus garis demarkasi datang ke Surabaya. Setelah perjalanan yang liku-liku, pada tanggal 29 Juni 1948 pagi hari pukul 12, mereka tiba di Surabaya. Delapan anak Jawa, yang ingin menjadi imam diantaranya dua yang tertua, Reksosoebroto dan Sastropranoto menyelesaikan studi mereka dan menerima pentahbisan.<ref>"Karl Prent CM, "Het Nieuwe Seminarie te Garum", dalam ''Missiefront'', Februari 1960, hlm. 8-9.</ref> Hari itulah yang dikenang sebagai awal berdirinya [[Seminari Garum]].