Warisan Tradisi Mataram: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Aldo samulo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Rangga Suryo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 22:
 
Surakarta dan Yogyakarta dengan berat hati terpaksa melepas wilayah wilayah itu berhubung ingin segera cepat terselesaikannya pembangunan Kraton sehingga dengan segera dapat dihuni dan dipergunakan untuk bekerja sebagaimana layaknya Kerajaan.
== Perundingan Magelang ==
 
== Perjumpaan Kultur ==
Perundingan di Magelang merupakan suatu muslihat untuk mengakhiri perang yang berlarut larut di Jawa. '''Perjanjian Giyanti dan Salatiga''' ternyata masih menyimpan '''Bara''' dalam sekam karena tahun 1825-1830 [[Jawa]] kembali diacak acak oleh peperangan.
 
Style budaya Belanda yang berkaca Barat dalam perjumpaannya dengan style kultur Jawa yang berkaca Timur melahirkan suatu sintesa Style baru yang kemudian diadopsi dan dilahirkan kembali menjadi [[Jawa]]. Bentukan dan wacana diri dari dua kultur menjadikan satu dengan yang lainnya saling mengisi dan menyerap.Orang orang Belanda yang berkecimpung di lapangan pergaulan dengan [[Jawa]] menampakan style yang ke [[Jawa]] an bahkan dari mereka memiliki potensi dicintai orang Jawa lantaran style dan kebiasaan mereka melebihi orang jawa sendiri.Tidak mengherankan bahwa style kepura puraan yang menjadi tampilan untuk menjaga keselarasan umum untuk orang [[Belanda]] sudah bukan barang baru lagi.[[Belanda]] sangat mahir sekali dalam kepura puraan dalam menjalankan rencana globalnya menguasai setiap wilayah [[Jawa]].Sikap kepura puraan sebagai taklukan yang membikin penguasa Jawa melambung melayang layang penuh keagungan adalah sebuah contoh tersendiri bagi perjumpaan kultur ini.
'''1. Dinasti Baru'''
 
[[Jawa]] tidak berbeda jauh, sikap sikap [[Belanda]] yang saklek dan main kuasa tanpa tersadari merembet jauh dalam peri kehidupan masyarakat [[Jawa]] dan para pemimpinnya sehingga dalam menunjukan kekuasaan dan keagungannya model model [[Belanda]] banyak yang diangkut dan di[[Jawa]]kan.Bentukan diri dan wacana lingkungan telah melahirkan kultur baru dalam masyarakat [[Jawa]] dan terwariskan pada generasi berikutnya.Hubungan emosional antara [[Jawa]] dengan [[Belanda]] telah melahirkan elite elite baru kebudayaan yang kelak kemudian hari menjadi model bagi penguasa di bumi Nusantara/indonesia.
Perjanjian Giyanti telah melahirkan dua dinasti baru yaitu '''Dinasti Pakubuwanan''' dan '''Dinasti Hamengkubuwanan''' sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan satu dinasti yaitu '''Dinasti Mangkunegaran'''. Dinasti Pakubuwanan memulai silsilah dari Paku Buwono I dan Dinasti Hamengkubuwanan memulai dengan silsilah Hamengku Buwono I, sedangkan Dinasti Mangkunegaran memulai dengan silsilah Mangkunegara I atau Pangeran Sambernyawa.
 
Sebagai suatu komparasi terhadap pertemuan pertemuan Kultur diatas dapat dikemukakan disini suatu perbedaan perbedaan yang menandakan bahwa kultur [[Belanda]] mengalir dan di[[Jawa]]kan,maksudnya sebagian yang merupakan kecocokan dan ketepatan bagi manusia [[Jawa]] kultur baru bukanlah sesuatu yang buruk.
Tiga dinasti itu pada upacara dan acara keprotocular-an memiliki partner para Residen yang bertugas di wilayah Kerajaan masing masing.
 
'''21. PersainganJawa Dan rivalitas dinastiSurakarta'''
 
Usai bermufakat di Giyanti, Surakarta tampil dengan gaya [[Jawa]] yang banyak mengadopsi dan menjinakkan style barat menjadi [[Jawa]] dan dipakai sebagai kepemilikannya.Segalam macam inovasi dan terobosan dalam perjumpaannya dengan kultur barat diolah dan di[[Jawa]]kan seturut dengan pangkat dan jabatannya.
Tiga dinasti yang merupakan hasil dari dua perjanjian diatas di dalam kehidupan politik dan lapangan kebudayaan untuk tahun tahun awal berdirinya dinasti sampai jaman Napoleon di jawa, ketiga nya berlomba untuk mencitrakan dan menghasilkan berbagai kreasi baru dalam lapangan politik-ekonomi-kebudayaan-keamanan secara berbeda beda.
 
Lingkungan Kasunanan meski mengambil terhadap yang baru tetapi cengkeraman terhadap yang lama tetap tidak tergoyahkan sehingga dalam beberapa hal pengambilan yang baru tidak melulu totalitas atau mengganti. Disamping Kasunanan di Surakarta terdapat juga Mangkunegaran yang terbuka terhadap ide ide baru sampai kemudian seluruh hal yang dikatakan baru yaitu Kultur barat dirombak dan dijadikan [[Jawa]].
Rivalitas antar dinasti diawalnya memang seperti apa yang menjadi pemikiran Soekarno bahwa rasa sentimen yang berlebihan membutakan keharusan untuk bersatu menuju persatuan. Dalam pada itu menjadi tepat pula bila teori darwin yang menyatakan bahwa yang unggul yang menguasai dan mengatur.Keunggulan ini dicapai melalui kekuatan dalam segala lini yang dapat mengatasi segala macam konflik.
 
'''2. Jawa Yogyakarta'''
 
Kasultanan Yogyakarta dalam menghadapi jaman baru pasca permufakatan di Giyanti seolah olah membendung kultur kultur baru yang masuk tetapi beberapa yang menjadikan kebanggaan dan spirit diadopsinya juga kedalam ke[[Jawa]]annya semisal model berpakaian dan pengguntingan rambut menjadi pendek (walaupun masih ada pula yang tetap membiarkan rambutnya panjang).
Paku Alaman di Yogyakarta condong meniru gaya Surakarta untuk melakukan adopsi adopsi baru yang kemudian sebagai pembentukan pribadi [[Jawa]] melahirkan keberbedaan dengan Kasultanan dalam wujud luar.
 
'''3. Tiga serangkai dinasti pendahulu'''