Injil Barnabas: Perbedaan antara revisi
[revisi tidak terperiksa] | [revisi tidak terperiksa] |
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 107:
Karya ini memuat sebuah polemik yang panjang melawan doktrin [[predestinasi]] (pasal 164), dan mendukung ajaran [[pembenaran oleh iman]]; bahwa tujuan kekal jiwa ke [[surga]] atau [[neraka]] tidak ditetapkan sebelumnya oleh [[karunia ilahi|karunia]] Allah (seperti dalam [[Calvinisme]]), ataupun penghakiman Allah, dalam belas kasih-Nya, terhadap iman orang-orang percaya di muka bumi (seperti dalam Islam ortodoks). Sebaliknya dinyatakan bahwa mereka yang dihukum pada [[penghakiman terakhir]], tetapi yang kemudian menjawab dalam iman, yang memeprlihatkan penyesalan yang sungguh-sungguh, dan yang membuat pilihan bebas untuk diberkati, pada akhirnya akan memperoleh perdamaian (pasal 137). Hanya mereka yang tetap sombong akan terhalang dari pertobatan yang sungguh-sungguh dan karenanya akan tetap tinggal di dalam neraka.
Keyakinan [[Pelagianisme|Pelagian]] yang sangat radikal ini pada abad ke-16 ditemukan di antara tradisi-tradisi Protestan anti-Trinitarian di kemudian hari yang disebut sebagai [[Unitarianisme]]. Beberapa tokoh anti-Trinitarian abad ke-16 berusaha mempertemukan agama Kristen, Islam dan Yudaisme; bedasarkan argumen-argumen yang mirip sekali dengan apa yang diajukan dalam Injil Barnabas, dengan mengatakan bahwa bila perdamaian tetap tidak terpecahkan hingga akhir zaman, maka agama manapun dari ketiga agama ini dapat menjadi jalan yang sahih untuk masuk ke surga bagi para pemeluknya. [[Michael Servetus]] atau Miguel de Servet dari Spanyol, menolak rumusan Kristen ortodoks tentang [[Tritunggal]] (membuktikan bahwa satu-satunya rujukan yang eksplisit terhadap Tritunggal dalam Perjanjian Baru sebagai interpolasi di kemudian hari); dan berharap dengan demikian dapat menjembatani perbedaan doktriner antara agama Kristen dan Islam. Pada 1553 ia dihukum mati di [[Geneva]] di bawah kekuasaan [[Yohanes Calvin]], tetapi ajaran-ajarannya tetap sangat berpengaruh di antara para pelarian Protestan Italia. Pada akhir abad ke-16 banyak anti-Trinitarian, yang dianiaya baik oleh kaum Calvinis maupun oleh Inkuisisi, mencari perlindungan di [[Sejarah Transylvania|Transylvania]]; yang saat itu berada di bawah perlindungan Turki dan memiliki hubungan yang erat dengan Istanbul. (Christopher J. Burchill:''The Heidelberg Antitrinitarians'' Bibliotheca Dissidentium: vol XI, Baden-Baden 1989,308p).
Termasuk dalam pasal 145 adalah "Buku kecil [[Elia]]"; yang memberikan pengajaran tentang kehidupan yang benar berupa spiritualitas [[Asetisisme|asketik]] dan [[pertapa]]. Dalam 47 pasal berikutnya, Yesus dicatat mengembangkan sebuah tema bahwa para [[nabi]] dari zaman purbakala, khususnya [[Obaja]], [[Hagai]] dan [[Hosea]], adalah para pertapa suci yang mengikuti aturan-aturan keagamaan ini; dan mengkontraskan para pengikut mereka – yang disebut sebagai "orang-orang Farisi sejati" – dengan "[[Farisi|Farisi-Farisi]] palsu" yang hidup di dunia, dan yang merupakan lawan-lawan utamanya.. Para "Farisi sejati" ini dilaporkan berkumpul di [[Gunung Karmel]]. Hal ini cocok dengan ajaran [[Ordo Karmelit]] abad pertengahan, yang hidup sebagai kongregasi pertama di gunung Karmel pada [[abad ke-13]]; tetapi yang mengklaim (tanpa bukti) sebagai keturunan langsung Elia dan para nabi [[Perjanjian Lama]]. Pada [[1291]] bangsa [[Mamluk]] masuk ke [[Suriah]] memaksa para biarawan di Karmel untuk meninggalkan biara mereka, tetapi ketika menyebar di seluruh Eropa Barat mereka mendirikan kongregasi Karmelit Barat – khususnya di Italia – dan telah meninggalkan kehidupan pertapa dan idealisme asketik, dan sebaliknya mengambil kehidupan biara dan misi dari para [[Ordo Mendikan]] lainnya. Sebagian peneliti menganggap bahwa kontroversi-kontroversi yang muncul pada abad ke-14 hingga ke-16 dapat ditemukan tercermin dalam teks Injil Barnabas.
|