Babad Arya Tabanan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 266:
Jika memakai '''dresta kuno''', yang seharusnya menjadi Raja berikutnya adalah '''Putra dari Ida Cokorda Ngurah Rai Perang''', yang tinggal di '''Puri Dangin Tabanan''',
namun atas pertimbangan tertentu, Belanda kemudian tidak memakai '''dresta (aturan) kuno''' tersebut.
Dalam rangka memilih Kepala Pemerintahaan di Tabanan, Belanda juga mencari dan menerima saran-saran dari beberapa Puri / Jero yang sebelumnya ada dalam struktur kerajaan, tentang bagaimana tatacara memilih seorang raja di Tabanan sebelumnya. Setelah mempertimbangkannya, pada tanggal 8 Juli 1929, diputuskan sebagai Kepala / Bestuurder Pemerintahan Tabanan dipilih '''I Gusti Ngurah Ketut''', putra I Gusti Ngurah Putu ( putra Sirarya Ngurah Agung Tabanan, Raja Tabanan ke XX ) dari Puri Mecutan, dengan gelar Cokorda. [[Berkas:Foto041.jpg|thumb|250px|Pura Batur Kawitan Ida Betara Arya Kenceng di Puri Agung Tabanan]]
Selanjutnya Beliau membangun kembali puri beserta Pura Batur Kawitan Betara Arya Kenceng ( Piodalan hari Wrespati/Kamis Umanis Dungulan ) di area bekas letak Puri Agung Tabanan yang telah dihancurkan Belanda. Karena adanya keterbatasan saat itu, luas area yang digunakan dan jumlah bangunan adat yang didirikan tidak seperti yang semula.
 
Pada tanggal 1 Juli 1938 Tabanan menjadi Daerah Swapraja, Kepala Daerah Swapraja tetap dijabat oleh I Gusti Ngurah Ketut ( dari Puri Mecutan Tabanan ), kemudian Beliau dilantik / disumpah di Pura Besakih pada Hari Raya Galungan tanggal 29 Juli 1938 dan '''Mabiseka Ratu bergelar Cokorda Ngurah Ketut''', dilihat dari urutan Raja Tabanan, beliau adalah Raja Tabanan ke XXII 1938 s/d 1947.