Marga Simalungun: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membatalkan revisi 3772172 oleh BlackKnight (Bicara)
k ←Suntingan 110.138.116.228 (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh Alphajet
Baris 184:
 
Kekhasan Sumatera Timur menjelang Indonesia merdeka tahun 1945 adalah adanya perbedaan-perbedaan kelas antara bangsawan dan rakyat jelata. Dalam masyarakat Simalungun, perbedaan kelas tersebut adalah seperti golongan parbapaan (bangsawan), partongah (pedagang), paruma (petani) dan jabolon (budak). Keadaan yang sama ada pada rakyat Melayu Sumatera Timur terutama antara Sulthan dan rakyat.Sebagai negera yang bari terbentuk, nasionalisme rakyat Indonesia masih mengental dan dapat dipahami apabila masih menaruh dendam terhadap feodalisme yang sebelumnya merupakan kaki tangan kolonial. Oleh karena itu, situasi rakyat yang masih baru merdeka, kemudian disulut dengan provokasi orang lain (organisasi) tak pelak lagi apabila kecemburuan sosial dapat berujuk revolusi massa yang menelan ongkos sosial yang tinggi. Termasuk punahnya sebuah peradapan di Sumatera Timur (Simalungun dan Melayu), dimana raja dan kerabatnya beserta istananya musnah selama-lamanya. Keadaan seperti ini berlanjut hingga memasuki tahun 1946 sehingga mendorong kebencian masyarakat terhadap golongan elit. Sejalan dengan itu, berkembangnya pemahaman politik pada waktu itu, turut pula menyulut keprihatinan terhadap perbedaan kelas yang didorong oleh keinginan untuk menghapuskan sistem feodalisme di Sumatera Timur.Demikianlah hingga akhirnya terjadi peristiwa berdarah yang meluluhlantakkan feodalisme di Sumatera Timur terutama pada rakyat Simalungun dan Melayu. Pada peristiwa tersebut empat dari tujuh kerajaan Simalungun yaitu Tanoh Jawa, Panai, Raya dan Silimakuta pada periode ketiga ini musnah dibakar. Sementara Silau, Purba dan Siantar luput dari serangan kebringasan massa. Raja dan kerabatnya banyak dibunuh. Peristiwa ini menelan banyak korban nyawa, harta dan benda. Kejadian yang sama juga menimpa kesultanan Melayu dimana empat kesultanan besarnya Langkat, Deli, Serdang serta Asahan dibakar dan lebih dari 90 sultan dan kerabatnya tewas dibunuh (Reid, 1980)Riwayat swapraja Simalungun telah berlalu setelah terjadinya revolusi sosial pada tahun 1946. Revolusi itu tidak saja menamatkan kerajaan tapi juga seluruh kerabat perangkat kerajaan dan keluraga raja yang mendapatkan hak istimewa dari pemerintah kolonial, sehingga telah meningkatkan kecemburuan sosial dari rakyat terhadap raja. Revolusi terjadi setelah rakyat diorganisir dan diagitasi oleh organisasi dan partai revolusioner di Simalungun. Sejak saat itu sistem kerajaan tradisional Simalungun menemui riwayatnya. Dalam arti lain, lenyapnya atau runtuhnya zaman keemasan monarhi itu telah pula menandai berakhirnya peradapan besar rumah bolon. ( Suntingan dari Erond Damanik )
 
 
 
 
 
Dari Nagur ke Revolusi Sosial Renungan Sejarah Bangsa Simalungun Menyikapi Pentas Pemilu 2004 dan Suksesi Bupati Simalungun 2005
 
Oleh : Juandaha Raya Purba Dasuha
 
Pengantar Ungkapan Simalungun mengatakan, “Ulang Lupa Bona!” Soekarno pernah berkata, “Jasmerah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!” Sejarah memang suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, tanpa mengenal sejarah masa lampau, sulit melangkah ke masa depan. Demikian ungkapan orang-orang arif menyinggung perlunya sejarah sebagai guru dalam proses kehidupan manusia. .................
 
Di Bawah Kolonialisme Belanda Sesudah masuknya kolonialisme Belanda dan dimasukkannya daerah kerajaan-kerajaan Simalungun ke dalam tatanan adminitrasi pemerintahan Hindia Nederland melalui penandatanganan Perjanjian Pendek (Korte Verklaring) tahun 1907, resmilah nama Simalungun dipakai dalam surat-meyurat dan adminitrasi kolonial. Melalui Staatsblad No. 531 tahun 1906, nama Simalungun dikukuhkan sebagai nama resmi dalam Afdeeling Simeloengoen en Karolanden yang berpusat di Saribudolook dan kemudian berpindah ke Pematangsiantar dengan V.C.J Westenberg sebagai asisten residen yang pertama.
 
Resistensi dan Oposisi Simalungun atas Kolonialisme Masuknya Simalungun ke dalam wilayah kerajaan Hindia Nederland bukan tanpa resistensi dan oposisi. Raja-raja Simalungun bersama dengan rakyatnya bangkit berkali-kali menentang Belanda. Mulai dari “serangan fajar” Tuan Raimbang Sinaga tuan Dolog Panribuan yang menunggang-langgangkan pasukan Controleur Kroesen dan Baron de Raet di Aek Buluh di pagi hari tanggal 11 September 1891, sampai Tuan Rondahaim (1897-1891) di Raya yang karena perlawanannya yang cukup keras digelari pejabat kolonial Tichelman sebagai Napoleon van Bataks. Raja Siantar Tuan Sang Na Ualuh Damanik beserta dengan iparnya raja Panei Tuan Djontama Purba Dasuha ikut bahu-membahu mengobarkan perang diplomasi/politik melawan ambisi kolonialisme Belanda yang ingin memecah belah dan memisahkan sebagian wilayah Simalungun ke daerah sultan Deli yang merupakan sahabat terdekat Belanda. Raja Sang Na Ualuh yang dicap keras kepala dan Felle op Mohammedan (Islam yang Keras) oleh Belanda dengan tuduhan yang dicari-cari segera diasingkan ke Bengkalis pada 24 April 1906. Sementara itu iparnya raja Panei Tuan Djontama Poerba Dasoeha yang meprotes tindakan Belanda segera berangkat menghadap residen ke Medan pada 1901 dan meminta Belanda mengembalikan wilayah Kerajaan Panei : Dolog Batu Nanggar, Badjalinggei dan Dolog Merawan ke Panei yang dialihkan Belanda ke daerah kesultanan Deli melalui Padang Badagei, menerima perlakuan yang tidak baik. Begitu bertemu residen, ia ditahan dan meninggal dalam penjara. Sampai sekarang, tidak diketahui di mana kuburnya.
 
Politik Pecah-Belah Kolonialisme Belanda kemudian memecah belah Simalungun dengan mengadakan poses pembodohan atas Simalungun dengan menumbuh-suburkan praktek perjudian, Candu diberikan dengan dalih apresiasi kolonial untuk kesetiaan raja-raja pada aturan kolonialisme Belanda. Padahal sesungguhnya, Belanda berniat jahat; untuk menghancurkan Simalungun dengan program pembodohan atas golongan pemimpin elit-politik halak Simalungun. Akibatnya raja-raja lebih asyik menghayati kehidupannya sendiri dan kurang peduli dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak yang sengaja diarahkan Belanda untuk kepentingan ekonomi kapitalisnya. Munculnya perkebunan-perkebunan swasta dan pemerintah sejak 1910 di saat Simalungun secara resmi dicanangkan sebagai bagian dari Daerah Perkebunan Sumatera Timur (Cultuurgebied Oostkust van Sumatra) [yang sahamnya sebagian besar dimiliki pengusaha perkebunan (ondernemingers) asing dari Eropa] dalam kenyataannya sedikit saja menyisakan keuntungannya bagi pembangunan dan kemajuan rakyat Simalungun dan itu pun hanya dinikmati raja-raja bersama orang-orang besar kerajaannya. Akibatnya makin bertumbuh dan melebar jurang pemisah yang nyaris tak terjembatani antara raja-raja dan elit politik Simalungun di satu pihak dan rakyat (paruma ni harajaan) di pihak yang lain. Alienasi bangsawan dan elit politik Simalungun dari rakyatnya makin hari makin melebar dan berbalik arah menghunjam kekuasaan “kaum feodal” dan sempurnanya berhasil menjungkalkan kekuasaan kaum feodal yang konon “pro Belanda” dalam aksi Revolusi Sosial tahun 1946.
 
Imigran Batak Toba dan Tobaisasi Masuknya imigran Batak Toba dari Tapanuli atas inisiatif dan dukungan finansial dan payung hukum Kolonial Belanda dan lambaga zending Jerman (RMG) yang secara spontan dan simultan “menjarah” tanah subur Simalungun Bawah, makin menyempurnakan proses marginalisasi orang Simalungun yang sudah dimulai pasca pasifikasi kolonial 1907. Dampaknya banyak orang Simalungun yang kurang agresif dan “garang” ketimbang imigran Batak Toba itu terpaksa harus mengalah dan mundur ke pedalaman di Simalungun Atas. Dengan arogannya pendatang Batak Toba itu yang merasa dirinya lebih tinggi derajadnya ketimbang raja-raja Simalungun dengan alasan bernada semangat “triumfalistik” produk kolonial dan zending merasakan kalau raja-raja Simalungun yang menjadi zelfbestuur (penguasa swapraja) nota bene sipelebegu dan Silom (Islam) tidak patut memerintah mereka yang lebih superior dan beradab. Dengan alasan itu pula, mereka terang-terangan memaksa Belanda menempatkan pemimpin tersendiri untuk orang Batak Toba seperti halnya orang China dan Timur Asing yang bermigrasi ke Simalungun. Karena itu Belanda atas nama kepentingan politik Hindia Nederland segera pula memenuhi permintaannya dan mengangkat bekas pegawai raja Purba bernama Guru Andreas Simangunsong sebagai “jaihutan” (raja kecil buat orang Toba) pada 1917 untuk memimpin mereka. Sikap “tak tau diri” pendatang orang Toba ini, sangat menggusarkan perasan raja-raja Simalungun. Dengan suara bulat kaum aristokrat menyuarakan protes mereka atas pengangkangan kaum imigran ini atas realitas politik posisi raja-raja Simalungun yang diakui secara de jure dan de facto oleh Belanda sebagai zelfbestuurende landschappen di Onderafdeeling Simeloengoen. Protes mereka atas “previlege” yang diterapkan Belanda atas kaum pendatang dari Tapanuli ini akhirnya mendapat respon dari Asistent Resident Ter Haar, sehingga pada tahun 1920 jabatan itu dihapus dan banyak pegawai-pegawai Batak Toba yang kemudian diberhentikan pemerintah Belanda atas desakan raja-raja dan digantikan pejabat-pejabat orang Simalungun. Ini rupanya menimbulkan perasaan tidak puas dari pihak orang Batak Toba. Dengan pewartaan yang mereka buat di surat-surat kabar lokal, mereka menyuarakan protes dan mengerahkan banyak massa di Tapanuli mendemo keputusan “rasialis” Belanda di Tano Timur.
 
Perjuangan Pdt. J. Wismar Saragih dan Tokoh-tokoh Simalungun Akan tetapi proses Tobaisasi terus dipertahankan di Simalungun, khususnya dalam kegiatan gerejawi. Orang Simalungun yang sudah beragam Kristen dimasukkan ke HKBP dan memaksa mereka untuk memakai bahasa dan adat Toba, sehingga menimbulkan perlawnaan dari pendeta Simalungun pertama Pdt. J. Wismar Saragih. Bersama dengan kawan-kawannya seperjuangan, mereka meretas kebuntuan perjuangan orang Simalungun dengan mendirikan Lembaga Bahasa dan kebudayaan Simalungun yang mereka sebut Comite Na Ra Marpodah Simaloengoen pada tahun 1928. Diterbitkan juga banyak buku yang mengupas berbagai topik dan akar penyebab ketertinggalan suku bangsa Simalungun dan sekalian mengarahkan orang Simalungun ke arah kemajuan (social progress) di segala bidang, seperti pemerintahan, pertanian, rumahtangga dan keluarga maupun kehidupan religius orang Simalungun. Pdt. J. Wismar, Djaoedin Saragih, Guru Djason Saragih dan kawan-kawan dengan tanpa pamrih dan jemu-jemunya berani bersikap menerobos arogansi Gereja Batak Toba yang mengecilkan peranan orang Simalungun dalam partisipasi aktifnya di HKBP. Sukses Pdt. J. Wismar dicatat dengan pengakuan HKBP atas kemandirian Gereja Simalungun dalam HKBP Simalungun (1952) setelah sebelumnya menjadi Distrik Simalungun tahun 1940 dan GKPS sejak 1 September 1963. Perjuangan itu tercapai dengan kerjasama yang kompak antara pejabat-pejabat Gereja Simalungun dengan pejabat-pejabat pemerintah yang kebetulan warga Simalungun, seperti Tuan Madja Purba, Tuan Djariaman Damanik, Haji Ulakma Sinaga, T.S. Mardjans Saragih dan lain-lain.
 
Revolusi Sosial Puncak kebencian rakyat Simalungun produk proses alienasi bertahun-tahun yang dilakukan kolonial Belanda dan provokasi aktif dari pihak-pihak di luar Simalungun yang punya beragam kepentingan dan akses politik di Simalungun pecah dengan serangkaian aksi vandalisme dan barbarisme yang disebut Revolusi Sosial pada tanggal 3 Maret 1946-1947. Kaum bangsawan (parbapaan, partongah dan partuanan) dan elit-politik Simalungun dituduh publik sebagai antek kolonial dan cenderung pendukung separatisme, yang “halal” untuk dilenyapkan dari permukaan bumi. Satu persatu raja-raja dan golongan bangsawan serta intelektual Simalungun diciduk kalau bukan diculik dari istananya dan dibunuh dengan sadis di tempat-tempat umum yang dapat disalksikan oleh rakyat banyak untuk mendemonstrasikan pembalasan dendam kaum marginal atas kaum feodal selama kejayaannya. Penjarahan atas harta benda milik kerajaan, pemerkosaan dan pembunhan marak di mana-mana di seluruh Sumatera Timur, banyak istana raja-raja dan sultan serta sibayak yang dibakar dan keluargannya dicerai-beraikan oleh perusuh. “Pameran” atas keberhasilan kaum “proletar” menumbangkan kaum “borjuis” diperankan di seluruh Sumatera Tiimur (Simalungun, Melayu dan Karo). Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Poerba Dasoeha beserta sanak saudaranya dibunuh dengan sadis di Sibuttuon, pemangku raja Raya Tuan Djaoelan Kadoek Saragih Garingging diciduk paksa dari keramaian pesta di Manak Raya dan disembelih di jembatan Bah Huta Iling di perbatasan Kerajaan Panei dan Raya. Raja Silimakuta Tuan Padiraja Girsang yang jelas-jelas pro Republik tidak luput dari pembunuhan, demikian pula dengan Tuan Mogang Purba Pakpak raja Purba. Deretan korban revolusi makin panjang, tuan Dologsaribu Tuan Djademan Saragih Garingging harus menerima nasib yang sama seperti tondong-nya raja Panei. Sementara itu, pada April 1947 pembunuhan masih berlanjut, orang-orang yang mengaku nasionalis dan pro Republik menyeret Tuan Hormajawa Sinaga anak tuan Dolog Panribuan dari rumahnya dan mayatnya setelah dibunuh konon dicincang dan dicampur-baurkan dengan daging kerbau untuk santapan laskar rakyat yang berpesta pora merayakan kemenangan orang “kecil” atas orang-orang “besar” kerajaan. Ya, sekali lagi atas nama demokrasi, orang membungkam suara halus hati nurani dan mengabaikan nilai-nilai agama dengan tanpa perasaan bersalah melakukan serangkaian tindakan pembunuhan bahkan kanibalisme demi sesuatu yang dinamakan cita-cita dan ideologi.
 
Menyikapi “semaraknya” Revolusi Sosial itu ada pakar yang “sedikit mentoleransinya” dengan menyebutnya sebagai tindakan “sadis” yang “terpaksa” dilakukan para barisan sakit hati dan korban-korban arogansi kekuasaan raja-raja dan golongan elit Sumatera Timur [baca: Simalungun] yang konon dimanja oleh Belanda selama masa kolonial. Siapa pelaku Revolusi? Ada yang menyebut pelakunya adalah sekelompok laskar rakyat yang kurang berpendidikan yang teragitasi dan terprovokasi slogan-slogan menggugat pemarginalisasian kaum feodal atas kelompok rakyat kerajaan yang terkondisi untuk miskin dan terbelakang dari para “petualang-petualang” politik yang konon dialamatkan kepada organisasi politik yang namanya PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan arahan Bupati Urbanus Pardede dan eksekutor lapangan Komandan Barisan Harimau Liar (BHL) yang dilatih Inoue seorang Jepang, yakni Anggaraim Elias Saragih Turnip anak partuanan Tigaras di wilayah Kerajaan Panei.
.............................