Hatta Rajasa: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Stephensuleeman (bicara | kontrib)
k Suntingan 222.124.61.196 (Bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh Andri.h
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 3:
'''Ir. M. Hatta Rajasa''' (lahir di [[Palembang]], [[18 Desember]] [[1953]]) adalah Menteri Perhubungan [[Indonesia]] saat ini. Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai [[Menteri Riset dan Teknologi]] dalam [[Kabinet Gotong Royong]] ([[2001]]-[[2004]]).
 
<!--
Ia pengusaha dan CEO sukses yang kemudian
berkonsentrasi jadi politisi. Semua perusahaannya
dijual setelah masuk partai. Penganut pluralisme dalam
politik ini berobsesi menjadi politisi negarawan yang
mendahulukan kepentingan bangsa. Terlatih bekerja
keras, jujur, mandiri dan bekerjasama sejak kecil.
Sekjen Partai Amanat Nasional dan Menristek Kabinet
Gotong-Royong ini dipercaya kembali memimpin
Departemen Perhubungan dalam Kabinet Indonesia
Bersatu sebagai Menteri Perhubungan.
 
 
Pada saat menjabat Menristek, ia antara lain berhasil
mengangkat nama bangsa, manakala terpilih menjadi
Presiden Ke-46 Konfrensi IAEA (The International
Atomic Energy Agency).
 
Ada tiga persoalan besar yang menjadi perhatian pria
berambut perak kelahiran Palembang, 18 Desember 1953
ini, melihat kondisi bangsa dalam beberapa tahun
terakhir ini. Pertama, meningkatnya secara tajam
kemiskinan di Indonesia dari 17 juta menjadi 40 juta
jiwa. Kemiskinan ini, sebagai akibat kemiskinan
struktural maupun kemiskinan karena gelombang resesi.
 
Kemiskinan ini telah mengakibatkan ketidakberdayaan
masyarakat di berbagai bidang kehidupan, terutama
bidang kesehatan. Nutrisinya sangat rendah, tentu akan
menghasilkan generasi lemah. Berakibat kepada sumber
daya manusia yang tidak tangguh pada generasi
berikutnya. Ini sungguh memprihatinkan. Maka, ia
sangat serius tentang hal ini.
 
Kedua, menurunnya semangat toleransi dan terlalu
mengedepankan sikap-sikap keakuan. Apakah itu keakuan
dalam konteks hukum, konteks agama, atau dalam konteks
kelompok. Semangat kebersamaan jauh menurun, yang
berakibat terdesaknya kelompok masyarakat miskin yang
tidak berdaya.
 
Ketiga, hal yang paling klasik, yakni masih ganasnya
korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga, kita
membutuhkan sebuah resep. Resep yang mampu
membangkitkan kembali (revitalisasi) semangat
kebersamaan dan nasionalime bangsa ini.
 
Ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya. “Tetapi jika
Tuhan memberikan kesempatan untuk meminta apa saja dan
pasti dikabulkan-Nya, saya pasti tidak akan meminta
supaya saya berkuasa, tetapi saya akan meminta agar
bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, terbebas
dari kemiskinan dan kebodohan. Itu yang pasti saya
minta. Hanya satu itu saja,” kata Menteri Riset dan
Teknologi (Menristek) Kabinet Gotong Royong ini dalam
percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, di ruang
tamu kantornya, Rabu 04/12/02.
 
Anak kedua dari 12 bersaudara lulusan Institut
Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Perminyakan
ini, telah terlatih untuk bekerja keras, jujur,
mandiri dan bekerjasama sejak kecil. Ia berasal dari
keluarga pamong. Ayahnya seorang pamong. Kakeknya juga
pamong di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan.
Ketika masih lajang, ayahnya seorang tentara yang
berjuang di tanah Jawa. Namaun, sesudah menikah
berhenti dari tentara, beralih jadi pegawai negeri
sipil.
 
Sebagai anak yang berasal dari keluarga sederhana,
ayahnya pegawai negeri yang bekerja keras dan jujur,
ia telah terbiasa hidup apa adanya, jujur dan
berdisiplin. Orang tuanya memang mendidiknya dengan
disiplin yang tinggi.
 
Setelah ia tamat SD, ayahnya menjadi Asisten Wedana
(Camat) di daerah Muarakuang. Di kecamatan itu belum
ada SMP. Sehingga ia dititipkan kepada pamannya di
Palembang. Jarak antara Palembang dengan kecamatan
itu, kira-kira seratus kilometer. Tapi jika berangkat
siang hari dari Palembang menggunakan motor baru akan
sampai larut malam, karena jalan jelek sekali.
 
Di situ ia mulai mengenal arti sebuah kehidupan. Di
situ juga perkembangan kemampuan emosionalnya banyak
dipengaruhi oleh lingkungan. Yakni setiap orang itu
haruslah saling menolong, saling memberi dan mau
berkorban bagi orang lain. Di situ ia sudah menyadari
bahwa kesuksesan seseorang bukan semata-mata karena
kemampuan dirinya sendiri, tapi 60% adalah karena
kerjasama orang lain, jasa orang lain, terutama
ibu-bapanya, keluarga, teman-teman kerabat. Juga
berkat doa orang tua.
 
Pandangan ini, yakni semangat toleransi dan menghargai
orang lain, sangat dijiwainya sejak kecil. Sampai saat
ini, pandangan ini tetap mempengaruhi hidupnya.
Karena, sejak tamat SD, ia sudah harus hidup dengan
keluarga orang lain. Itu berarti ia harus belajar tahu
diri sebagai orang yang dititipkan. Harus bekerja.
Pagi-pagi ia harus bangun untuk melakukan tugas-tugas
di rumah pamannya, antara lain mengisi bak mandi
dengan pompa. Setengah enam ia sudah mengayuh sepeda
ke sekolah.
 
Ia melakukan itu sampai tamat SMA di Palembang. Dari
sejak tamat SD, ia sudah berpisah dengan orang tua,
hanya bertemu sekali-sekali. Sampai ia menyelesaikan
kuliah di ITB. Pada masa ini, sekolah dan berpisah
dengan orang tua, dirasakannya sebagai periode
pendewasaan intelektual. Aspek emosional dan
rasionalnya dibentuk dalam dua periode itu, yakni
ketika SMP-SMA di Sumatera Selatan dan ketika kuliah
di ITB.
 
Ketika di ITB, ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan,
sebagai Waka Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB
dan Senator Mahasiswa ITB. Selain itu, semasa kuliah,
ia juga sempat menjadi aktivis Masjid Salman Bandung.
Setamat dari ITB jurusan perminyakan, sebenarnya ia
ingin menjadi dosen, tapi tidak kesampaian. Mungkin
karena ketika mahasiswa, ia seorang aktifis dan suka
memberontak terhadap pemerintah saat itu.
 
Ketika itu, sebenarnya ia diterima bekerja di beberapa
tempat dengan gaji yang lebih besar. Tapi ia tolak. Ia
lebih ingin mandiri dengan membuat perusahaan yang
bergerak di bidang perminyakan sesuai pendidikannya.
 
Lalu ia bersama teman-temannya merintis usaha itu
sampai memiliki beberapa badan usaha yang berkerjasama
dengan perusahaan asing dan Petamina. Sejak tahun 1982
sampai 2000 ia menjabat Presiden Direktur Arthindo.
Sebelumnya, ia menjabat Wakil Manager teknis PT. Meta
Epsi, perusahaan pengeboran minyak. Tapi, begitu ia
memutuskan bergabung dengan partai politik, semua
kegiatan usaha itu dihentikan, semua dijual. Ia masuk
Partai Amanat Nasional (PAN). Setelah masuk partai,
benar-benar ia berhenti total dari usaha, tidak lagi
memiliki usaha dan tak mau berusaha.
 
Ia benar-benar konsentrasi di satu bidang. “Karena itu
sifat saya. Kalau saya berusaha, saya tidak mau
bercampur dengan kegiatan lain. Begitu juga ketika
masuk partai politik, saya konsentrasi dan juga tidak
mau mencampur-baurkannya dengan usaha yang lain,” kata
Sekretaris Jenderal DPP PAN ini.
 
Sebelum masuk PAN, ia tidak pernah berpolitik. Karena
tidak ada kesempatan sesuai iklim politik pada zaman
orba. Padahal ketika mahasiswa, ia menyenangi bidang
tersebut. Sehingga ketika Amien Rais menggerakan
reformasi, ia pun sudah mulai aktif. Saat itu, ia
menjadi ketua I Alumni ITB cabang Jakarta. Di situ ia
sudah mulai aktif ikut gerakan reformasi, sampai
ketika PAN dideklerasikan 23 Agustus 1998, ia pun ikut
bergabung.
 
Di PAN, pada mulanya ia menjabat Ketua Departemen
Sumber Daya Alam dan Enerji. Kemudian, setelah kongres
I, ia terpilih menjadi sekjen. Pada Pemilu 1999, ia
pun terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dari PAN, dari wilayah pemilihan Bandung. Di lembaga
legislatif itu, ia terpilih menjadi ketua Fraksi
Reformasi DPR.
 
Ketika di Senayan itu, ia benar-benar konsentrasi. Itu
memang sudah sifatnya. Kiprahnya ketika permulaan masa
reformasi tergolong sangat luar biasa. Pada masa
transisi dari pemerintahan Habibie ke Gus Dur dan
kemudian ke pemerintahan Megawati, ia sebagai ketua
Fraksi Reformasi, berperan banyak dalam kancah
perpolitikan nasional. Sehingga pada saat itu,
wartawan DPR/MPR memilihnya sebagai salah satu dari 10
tokoh DPR terbaik.
 
Pada Pemilu 1999, ia adalah ketua Pemilu PAN. Ketika
konggres PAN di Jokjakarta, ia sibuk menjadi ketua
panitia pelaksana. Pada waktu itu, di PAN ada dua kubu
yang saling bertarikan. Ia mengambil posisi berada di
tengah saja. Sebab ia termasuk orang yang tidak
menginginkan adanya perubahaan asas partai PAN.
 
Ia ingin PAN tetap berada di tengah, tidak terseret ke
kanan atau ke kiri sesuai dengan platformnya, partai
plural, lintas agama, dan lintas budaya. Maka, tak
heran jika pada waktu itu, saat pemilihan formatur, ia
mendapat suara terbanyak. Formatur dalam kongres itu,
kemudian memilih Amien Rais tetap sebagai ketua umum
dan ia menjadi Sekjen.
 
Sebelum kongres, nama DR. Faisal Basri (Sekjen PAN)
dan AM. Fatwa disebut bersaing kuat untuk menduduki
posisi Sekjen itu. Tetapi, ketika kongres digelar,
muncul enam calon lagi, termasuk Hatta Rajasa.
Pemilihan Sekjen PAN ini berlangsung ketat di Ballroom
Hotel Sheraton Mustika dari pukul 16.00-21.30 WIB.
Hatta Rajasa berhasil mengungguli tujuh saingannya
dengan perolehan 555 suara. Di belakangnya AM. Fatwa
547 suara, Ir. Armin Aziz 424 suara, Prof. DR. M.
Askin 386 suara, Faisal Basri 352 suara, Patrialis
Akbar 330 suara, AR. Iskandar 288 suara, dan H.
Suwardi 285 suara.
 
Kemenangannya tidak terlepas dari peran penting yang
dimainkannya dalam kongres yang hampir deadlock karena
pro-kontra perlunya PAN memasukkan kata iman dan taqwa
dalam AD/ART. Beberapa DPW mengancam keluar dari PAN
jika asas iman dan taqwa dicantumkan dalam AD/ART.
Sebaliknya ancaman juga datang dari DPW lainnya, bila
asas itu tidak dimasukkan ke dalam AD/ ART. Dalam
situasi dilematis itu, ia berhasil menyelematkan
kongres itu dari ancaman deadlock. Dengan mengambil
posisi di tengah, ia melakukan loby. Ia pun menggagas
sebuah pertemuan (loby) termasuk dengan Amien Rais,
Sabtu sore 12 Februari 2000. Dari pertemuan itu lahir
pemecahan yakni dibentuknya panitia ad- hoc
beranggotakan pakar-pakar independen untuk memutuskan
perlu tidaknya perubahan asas PAN.
 
Secara eksternal, ia pun mampu melakukan loby dan
kerjasama dengan partai-partai lain. Bahkan
belakangan, ia yang menggagas pertemuan antara
sekjen-sekjen partai politik, untuk mempersiapkan
pembahasan materi rancangan undang-undang. Pada
pertemuan-pertemuan itu banyak permasalahan yang dapat
diselesaikan.
 
Namun yang namanya partai poltik, secara intern ada
saja gejolak dengan berbagai permasalahannya.
Contohnya, ketika diadakannya konggres PAN di Bali,
ada usaha-usaha untuk melengserkannya. Karena mungkin
ia dinilai terlalu moderat, di tengah dan penganut
pluralisme, serta berbagai macam alasan lainnya.
Tetapi banyak pengurus PAN dari daerah tetap
mendukungnya dengan kuat. Sehingga ia tetap sebagai
Sekjen.
 
Dari situ, ia melihat bahwa PAN justeru besar apabila
memang lebih moderat dan mempertahankan pluralisme.
Pada kongres sebelumnya, ketika ia terpilih menjadi
sekjen, ia yang mengusulkan Bara Hasibuan, nonmuslim,
menjadi fungsionaris partai, yakni sebagai salah satu
Wakil Sekjen. Maka ketika Bara Hasibuan bersama 15
fungsionaris PAN lainnya, kemudian mengundurkan diri
tanpa sepengetahuannya, ia sangat kecewa.
 
Dalam partai, ia juga melihat prinsip “The right man
on the right place” mutlak juga diperhatikan. Sehingga
kadang-kadang orang memandangnya seperti berseberangan
dengan kelompok yang lain yang tidak menginginkan
pluralisme. Sementara, ia sendiri menganggapnya
biasa-biasa saja. Sebab ia bekerja sesuai dengan asas
partai yaitu sebagai partai plural.
 
***
Pada permulaan reformasi, sebagai masa transisi,
anggota-anggota dewan terpilih dengan sistem Pemilu
yang baru. Mereka lebih independen dan tidak dapat
di-recall oleh partainya sendiri. Pada kondisi itu,
saat menjadi anggota DPR, ia merasa teruji untuk
mengartikulasikan hak individunya sebagai wakil rakyat
tidak tergantung dengan fraksi dan partainya semata.
 
Ia mampu menempatkan diri dan menjaga keseimbangan,
secara individu sebagai wakil konstituen sekaligus
sebagai anggota fraksi. Ia sangat memahami bahwa
fraksi adalah perpanjangan tangan dari partai politik,
maka harus melakukan komunikasi yang intens untuk
membawa suara partainya. Akan tetapi, pada saat
bersamaan, ia juga tidak kehilangan jati diri sebagai
seorang anggota dewan, yang harus bertanggungjawab
secara individu kepada konstituen yang memilihnya.
 
Di masa transisi itu, ia sangat yakin, bahwa tidak
mungkin sebuah partai dapat menyelesaikan persoalannya
sendiri. Oleh karena itu semuanya harus diselesaikan
dengan loby dan musyawarah lintas fraksi. Maka ia pun
aktif menggalang komunikasi politik lintas partai.
Antara lain, ketika itu, ia aktif mendirikan panitia
enam partai yang membicarakan tata-tertib dan
kemungkinan-kemungkinan deadlock-nya sidang umum MPR.
 
Pada waktu itu terdapat dua arus kekuatan yang
bergejolak luar biasa, antara kekuatan BJ Habibie dan
Megawati Sukarnoputri. Lalu, Amien Rais menggagas
poros tengah. Dalam konstalasi politik demikian panas
ketika itu, Hatta pun aktif melakukan berbagai loby.
Akhirnya Gus Dur yang terpilih.
 
Apalagi dalam proses peralihan kepemimpinan dari Gus
Dur ke Megawati Sukarnoputri, ia lebih menunjukkan
kemampuan politiknya dalam menelorkan solusi-solusi
terbaik pada saat yang tepat.
 
Pemerintahan Gus Dur saat itu sangat labil, terjadi
inkonsistensi, kabinet yang dibentuk dalam beberapa
bulan kemudian dicopot. Setiap hari Jumat muncul
pernyataan-pernyataan yang kontroversial yang
mengakibatkan suasana politik memanas.
 
Hal tersebut sudah dimulai pada sidang tahunan MPR
Agustus 2000. Waktu itu MPR telah membuat suatu draft
yang isinya agar wakil presiden (Ibu Megawati) diberi
wewenang lebih dalam menjalankan pemerintahan.
Sedangkan presiden berfungsi sebagai kepala negara.
Namun kemudian rancangan itu kembali mentah.
 
Apalagi ketika itu muncul kasus buloggate. Fraksi
Reformasi ikut menggagas kasus ini diangkat hingga
sampai ke memorandum. Akhirnya, keluar memorandum
satu, dua dan tiga kepada presiden. Upaya ini didukung
oleh berbagai fraksi melalui lobi-lobi lintas partai.
Waktu itu ia dan fungsionaris lintas partai mengadakan
pertemuan, hampir setiap hari di rumah Arifin
Panigoro. Terakhir ketua-ketua fraksi bertemu di Hotel
Indonesia menyatakan sikap bersama. Ketua Fraksi
TNI/POLRI pun saat itu ikut bergabung.
 
Sikap bersama itu dapat terjadi, karena memang saat
itu telah terjadi instabilitas politik dalam
pemerintahan Gus Dur. Seperti, ketika beliau
mengijinkan bendera Papua dikibarkan. Jika itu
dibiarkan, mungkin Irian Jaya sudah lepas dari
Indonesia.
 
Namun semua yang terjadi dalam dunia politik tidak
pernah dilibatkan dalam kehidupan pribadi atau menjadi
sebuah sentimen pribadi. Ia pun bukan tipe politisi
yang suka berteriak dengan pendapat-pendapat yang
kedengarannya menghentakkan, tapi tanpa solusi.
 
Baginya dalam berpolitik ada dua hal penting yang
perlu diperhatikan. Sikap konsisten yang disertai
tingkat moralitas yang tinggi dan menjaga etika. Boleh
berbeda pendapat tapi jangan menghujat. Ia memang
termasuk tipe orang yang tidak suka menghujat. Jika
ada perbedaan pendapat, ia dengan santun dan terbuka
menyampaikan bahwa ia mempunyai pendapat yang berbeda.
Tapi jika pendapat orang lain memang lebih benar, ia
pun akan mengikuti pendapat itu. Sebaliknya, jika
pendapatnya yang benar, yang lain juga seharusnya
mengakui. Tanpa perlu saling menghujat.
 
Jadi, menurutnya, persoalan politik dapat diselesaikan
dengan baik-baik tanpa harus menyakiti perasaan orang.
Tetapi jika dalam berpolitik sudah ada bibit-bibit
suka dan tidak suka, maka persoalan apapun tidak dapat
diselesaikan. Ia berpandangan persoalan dapat
diselesaikan dengan nyaman, aman dan elegan, jika ada
sikap saling menghargai.
 
Etika berpolitik elegan seperti ini dengan baik
dipraktekkannya. Pada masa pemerintahan Gus Dur, ia
benar-benar mengritik pemerintahan Gus Dur dengan
tajam. Namun tidak pernah ia menghujat. Gus Dur tetap
ia hormati sebagai presiden yang sah. Pendirian ini,
di berbagai forum dan rapat ia kedepankan.
 
Menurutnya, di Indonesia banyak persoalan besar yang
sebenarnya sudah dapat diselesaikan tanpa
mengakibatkan konflik. Satu di antaranya proses
demokratisasi yang luar biasa. Kebebasan berbicara,
berserikat dan mendirikan partai sudah kita
selesaikan. Sementara di banyak negara lain persoalan
ini belum selesai.
 
Namun, menurutnya, hal ini harus dibarengi dengan
pemahaman-pemahaman oleh partai politik dengan
melakukan internalisasi demokrasi melalui tiga hal.
Yaitu, pertama, secepat mungkin menyusun sebuah proses
rekruitmen yang sehat. Karena jika partai politik
tidak dapat melakukan tugas ini dengan benar maka yang
merasakan kerugian tersebut adalah bangsa ini.
 
Misalnya jika kita perhatikan wakil rakyat yang ada di
kota kabupaten dan daerah tingkat I, yang mulai
dikritik oleh masyarakat, ini adalah tanda bahwa
partai politik belum dapat melaksanakan rekruitmen
yang sehat. Jadi hal ini harus cepat diselesaikan.
Tidak ada pilihan lain, karena partai politik adalah
ujung tombak demokrasi, yang akan membangun
pemerintahan dan suprastruktur di republik ini. Jika
hal ini tidak dilaksanakan, tujuan kita untuk mencapai
demokrasi modern yang menghasilkan good government
atau pemerintahan yang sehat akan terhambat.
 
Kedua adalah bagaimana di antara partai politik
menciptakan suasana berkompetisi yang tidak
menimbulkan konflik, yang tentu diatur melalui
undang-undang dan peraturan partai politik.
 
Ketiga adalah bagaimana partai-partai politik
menyelesaikan persolan-persoalan mengenai transparansi
keuangannya, serta adanya peraturan yang mengartur
bagaimana partai-partai politik dapat ikut dalam
Pemilu.
 
Ia sendiri adalah orang yang mendukung dibentuknya
aturan yang jelas agar setiap orang memiliki kebebasan
yang seluas-luasnya dalam membentuk partai politik
tanpa dipersulit. Sebab hal itu adalah hak dasar. Jika
seseorang kehilangan haknya, ia juga kehilangan
kemanusiaannya. Ia dikatakan manusia karena memiliki
kebebasan. Jadi jika ia kehilangan hak dalam berkumpul
dan berserikat, hilang jugalah kemanusiannya.
 
Tapi harus ada aturan yang jelas. Aturan itu harus
disepakati bersama dan tidak dapat diubah-ubah. Sebab
jika mudah berubah, malah akan menjadi sangat rawan
bagi terjadinya konflik. Sebagai pembanding bisa lihat
di luar negeri yang aturannnya jelas. Sehingga partai
politiknya sehat, dan berpengaruh pada keadaan bangsa
tersebut.
 
Ia sangat sedih jika banyak tokoh-tokoh non-partai,
yang sebenarnya dapat menjadi tokoh partai, berada di
luar partai lalu hanya dapat mengkritisi dan menutup
diri. Sehingga seakan-akan hanya dirinya saja yang
dapat mewakili rakyat. Padahal semua tahu, partai
politik adalah ujung tombak demokrasi. Jadi membangun
demokrasi harus dengan cara memperkuat partai politik
dengan dukungan ke arah yang lebih baik. Atau
mendirikan partai politik. Walaupun di sisi lain kita
juga harus mempuyai masyarakat sipil yang kuat untuk
mengarahkan gerak partai politik.
 
Sebagai orang partai politik yang duduk dalam kabinet,
ia pun menjalankan peran secara optimal tanpa
terjadinya kemungkinan loyalitas ganda. Perihal
masalah loyalitas ganda ini, telah ia ungkapkan dalam
beberapa tulisan di beberapa majalah dan buku.
Menurutnya, untuk dapat membedakan antara seorang
negarawan dengan seorang politisi adalah kemampuannya
membedakan kapan ia harus berbicara atas kepentingan
bangsa atau kepentingan partai. Jika hal ini dapat
dibedakan maka sudah tidak ada masalah. Ia sendiri
dengan jujur mengatakan bahwa ingin partainya besar.
“Tapi saya lebih menginginkan bangsa ini menjadi
bangsa yang besar,” kata Menristek ini. (Lebih lanjut
klik: Wawancara dengan Hatta Rajasa).
 
Pengangkatannya menjadi Menristek, tidak pernah
diperkirakan. Namun ia tahu kalau Amien Rais
mencalonkannya sebagai salah satu menteri di kabinet
pemerintahan Megawati. Tapi bukan Menristek. Namun,
secara pribadi, ia sama sekali tidak pernah mengira
akan menduduki jabatan menteri. Ia hanya berpegang
pada prinsip tetap bekerja konsentrasi dan selalu
serius dalam setiap bidang yang sedang digumuli.
 
Ketika itu ia dihubungi oleh Presiden Megawati,
sekitar jam 24:15 wib. Ia diminta untuk menjadi
Menristek. Ia sempat kaget juga. Karena tahu, bahwa ia
bukan seorang profesor, bukan seorang peneliti.
Walaupun ia punya wawasan ke depan. Lalu ia jawab,
“Saya siap!” Ia pun kemudian melaksanakan tugas dengan
serius dan penuh tanggungjawab.
 
Ketika sidang kabinet pertama, Presiden Megawati
mengingatkan agar setiap kebijaksanaan yang dibuat
oleh kabinet gotong-royong diterjemahkan bagi
kepentingan perekonomian masyarakat. Lalu, sebagai
Menristek, ia pun menemukan dan merumuskan strategi
yang mampu mendukung perekonomian rakyat yang
berkaitan dengan IPTEK yaitu pangan, bioteknologi dan
energi.
 
Kemudian, alhamdulilah, segera pula terbentuk
undang-undang IPTEK. Dengan undang-undang itu, dapat
lebih jelas ke mana IPTEK bergerak. Menurutnya, IPTEK
adalah merupakan backbond (tulang punggung)
perkekonomian. Tidak ada negara di dunia ini yang
dapat maju tanpa ilmu pasti. Sementara ilmu pasti ada
dari penelitian. Penelitian yang menghasilkan inovasi
yang berorientasi kepada pertumbuhan dan pencapaian.
Itulah yang dilakukan di kementerian Ristek. “Memang
kita membutuhkan teknologi-teknologi yang besar, namun
jika masyarakatnya masih dalam kelaparan dan
kekurangan, pasti ada yang salah,” katanya.
 
Ia pun telah meletakkan tujuan yang hendak dicapai
Kementerian Ristek pada rel yang benar sesuai dengan
kebutuhan bangsa ini. Integritasnya dalam mengurusi
kementerian ini tidak hanya diakui di dalam negeri,
tetapi juga di luar negeri. Terbukti dari terpilihnya
dia secara aklamasi sebagai President of The 46th
General Conference of The International Atomic Energy
Agency (IAEA), yang berlangsung 16-20 September 2002
lalu di Vienna, Austria.
 
Konfrensi badan atom internasional itu dihadiri
delegasi dari 143 negara. Inilah pertama kali putera
Indonesia mendapat kepercayaan memimpin sidang dalam
konfrensi IAEA. Selama seminggu penuh ia memimpin
jalannya sidang, yang menelorkan 23 resolusi. Dua
resolusi diantaranya harus diselesaikan dengan cara
voting, yakni pertama tentang perdamaian timur tengah
dan kedua tentang pelucutan senjata nuklir Irak.
 
Pangalamannya di Senayan digunakannya dengan efektif
pada konfrensi itu. Ia berhasil membangun
jaringan-jaringan dialog serta lobi-lobi. Ia melobi
setiap delegasi. Perwakilan dari negara-negara Eropa
ia dengarkan pendapatnya. Kemudian ia melobi juga
perwakilan Israel serta dari negara-negara Arab.
Kemudian ia temukan dan tawarkan solusinya. Sidang pun
berjalan lancar. Biasanya, pada 10 tahun terakhir,
rapat hari terakhir baru selesai sampai pagi. Tapi,
kali ini, saat ia memimpin, sidang dapat selesai jam 6
sore lewat 10 menit. Konfrensi yang dianggap paling
sukses.
 
Mengapa Indonesia yang terpilih? Mungkin karena
Indonesia adalah merupakan sahabat bagi bangsa-bangsa
Arab termasuk Irak, juga dipandang sebagai sahabat
bagi negara-negara Eropa. Sehingga baik negara Arab
maupun Eropa merasa aman jika mendukung Indonesia.
Tapi, yang lebih utama lagi, pastilah pertimbangan
integritas dan kemampuan pribadi Hatta Rajasa sendiri.
Sebab, sebelum kepergiannya menghadiri pertemuan itu,
ia dihubungi oleh duta besar Amerika, memberitahukan
bahwa duta besar Amerika Serikat di Wina ingin
berbicara dengannya. Mereka pun banyak berbicara
tentang berbagai persoalan dunia ke depan.
 
Kemudian faktor lain yang menyebabkan Indonesia
terpilih adalah bahwa Indonesia sejak zaman
pemerintahan Soekarno sudah mempuyai konsep dan telah
meletakan pondasi yang kuat dalam pengembangan
tehnologi nuklir. Pusat pengembangan tenaga nuklir
yang ada di Bandung itu dibangun pada masa Bung Karno
sekitar tahun 1963-1964.
 
Menurutnya, Indonesia sebagai negara besar berpenduduk
sekitar 227 juta, dan pada tahun 2020 akan menjadi
sekitar 300 juta, tidak mungkin memenuhi kebutuhan
energinya dengan mengadalkan sumber energi fosil
(minyak dan fosil). Maka, ia berpendapat pada tahun
2015 Indonesia sudah harus membangun pembangkit tenaga
nuklir.
 
Ditambahkan, dengan pengetahuan teknologi nuklir,
Indonesia bisa memainkan peranan yang singnifikan
dalam pergaulan internasional. “Bangsa Indonesia
terlalu besar untuk diremehkan orang. Jadi harus mampu
bangkit dalam percaturan internasional dan memberikan
pemikiran-pemikiran yang konstruktif. Kita tidak bisa
dilecehkan,” kata suami Oktiniwati Ulfa Dariah ini.
 
Ia merasa sangat tersinggung dengan pernyataan Perdana
Menteri Australia, John Howard yang menyatakan bahwa
mereka ingin kembali ke konsep negara unilateral
ketimbang multilareral. Ini merupakan sesuatu yang
tidak bisa diterima. “Kalau saya masih menjadi anggota
DPR, saya akan teriak keras. Tidak sepantasnya ia
berbicara demikian.”
 
Sebab menurutnya, sikap seperti itu adalah berarti
kita sudah tidak dihormati lagi. Maka kita harus
mengembalikan pamor bangsa ini. Seperti ketika Bung
Karno membangun bangsa ini, sehingga bisa disegani
oleh bangsa-bangsa lain. Namun, demikian, ia yakin
bangsa kita masih tetap diperhitungkan oleh bangsa
lain.
 
Nama:
Ir. M. Hatta Rajasa
Lahir:
Palembang, 18 Desember 1953
Agama:
Islam
Isteri:
Drg. Oktiniwati Ulfa Dariah Rajasa,
Anak:
Reza, Aliya, Azimah dan Rasyid
-->
==Pendidikan==
*Insinyur Perminyakan [[Institut Teknologi Bandung]] (ITB)
Baris 592 ⟶ 14:
*1980-1983: Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi
*1977-1978: Teknisi Lapangan PT. Bina Patra Jaya
 
<!--
{{kotak mulai}}
Kegiatan Internasional:
{{kotak suksesi|jabatan=[[Menteri Negara Riset dan Teknologi]]|pendahulu=[[AS Hikam]]|pengganti=[[Kusmayanto Kadiman]]|tahun=2000}}
September 2002, Presiden ke 46 konferensi IAEA di
{{kotak selesai}}
Vienna, Austria
Juni 2002, Mengikuti lawantan dengan Presiden RI ke
Italia, Inggris, Austria, Republik Czech dan Slovakia
Mei 2002, Mengikuti pertemuan G-15 dalam bidang IPTEK,
Caracas, Venezuela
April 2002, Menghadiri Pertemuan tahunan Pemimpin
Pemerintahan ke 5 dari Microsoft di Seattle, USA
Maret 2002, Mengikuti Lawatan dengan President RI ke
India, China, Korea Selatan dan Korea Utara
November 2001, Menghadiri pertemuan ke 2 Forum Dialog
dan kerjasama Asia Bidang Nuklir (FNCA), Tokyo
September 2001, Mengikuti Pertemuan ke 6 Negara-negara
ASEAN Bidang IPTEK di Brunei Darussalam
September 2000, Anggota delegasi DPR dalam lawatan
kerja ke Jerman
September 2000, Ketua Delegasi "Pertemuan Partai
Politik di Asia", di Philippina
September 1997, Anggota Delegasi Indonesia dalam
pertemuan APEC, Canada.
-->
 
{{indo-bio-stub}}