Michael Verhoeks: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-jaman +zaman) |
k Bot: Penggantian teks otomatis (-personil +personel) |
||
Baris 8:
Sesudah kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia (1945) kepemimpinan Msgr. Verhoeks CM di Vikariat Surabaya mendapat tantangan hebat berhubung dengan periode yang disebut zaman agresi militer Belanda. Pada waktu itu, wilayah Mojokerto ke timur sampai Surabaya dikuasai oleh tentara kolonial Belanda; sementara Jombang ke barat (sampai Madiun) berada dalam kekuasaan Tentara Republik Indonesia. Dari sendirinya Vikaris Surabaya, Msgr. Verhoeks CM, mengalami kesulitan untuk melakukan kunjungan ke wilayah "barat". Karena situasi politis yang gawat, "wilayah" kevikariatannya" seakan terbelah antara timur (Mojokerto dan Surabaya) dan barat (Jombang-Madiun). Karena itu, Romo Dwidjosoesastro CM, yang adalah Romo Jawa pertama dari CM dan baru pulang dari Belanda diangkatnya menjadi semacam "wakil" atau "pro-Vikaris Apostolik" yang menangani wilayah "barat".<ref>Bdk. Piet Boonekamp CM., "Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya", dalam H. Muskens, ''Sejarah Gereja Katolik Indonesia'', Jilid 3b, Ende-Flores 1974, hlm. 949-999.</ref> Dalam konteks inilah, Almarhum Romo J. Haryanto CM (Administrator Apostolik Keuskupan Surabaya 2005-2008), salah satu seminaris pertama Keuskupan Surabaya, mengisahkan bahwa ketika dirinya bersama sekitar delapan kawannya dibawa oleh Romo Dwijosoesastro CM tahun 1948 ke Jalan Kepanjen 9, Surabaya untuk masuk "seminari", ia dan kawan-kawannya dari Madiun dan Kediri harus melewati "perbatasan" wilayah (demarkasi) untuk masuk ke Surabaya, momen penyeberangan ini diingatnya sebagai yang menegangkan pada waktu itu.
Dan, "kedatangan mendadak" sekitar delapan siswa pertama itulah yang dipandang sebagai "awal" pendirian seminari menengah di Keuskupan Surabaya. Romo Karl Prent CM menulis demikian: "Awalnya [pendirian seminari] memang cukup berpetualang. Kami menulis 1948: Hari-hari yang kacau selama aksi
Msgr. Verhoeks CM dikenal oleh para romo misionaris lain sebagai seorang pemimpin yang sabar. Ia suka bersepeda. Ia bahkan dikenal sebagai "uskup yang bersepeda".<ref>Lih. "Mgr. Michael Verhoeks CM: Vikaris Apostolik Surabaya" (tanpa penulis, terj.), dalam ''Missiefront'' Mei 1947. Agak janggal untuk membaca laporan tentang pengangkatan Mgr. Verhoeks yang terjadi tahun 1942, tetapi baru ditulis dalam publikasi majalah misi tahun 1947. Halnya menjadi jelas ketika mengingat bahwa mulai tahun 1942-1946 dunia dilanda perang, sehingga jurnal, majalah, katalog tidak bisa diterbitkan. Lih. Armada Riyanto CM, ''80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia'', CM Provinsi Indonesia, Surabaya, 2003, hlm. 121-123.</ref> Tahbisannya sebagai Vikaris Apostolik dilaksanakan tidak dalam upacara yang ramai, sebab pada waktu itu perang sedang berlangsung. Dan, tidak lama kemudian Uskup Verhoeks CM dibawa ke Interniran oleh Jepang. Uskup Verhoeks CM selama beberapa saat pernah tinggal di paroki Ketabang (Kristus Raja) di Jalan Residen Sudirman, yang ketika itu pernah hendak dimaksudkan sebagai keuskupan. Karena tahbisannya Karena kedatangannya ke Indonesia langsung menjadi Uskup, ia memiliki keterbatasan dalam berbahasa Jawa. Jika menurut Romo Karl Prent CM, pendirian seminari diasalkan pada kedatangan delapan pemuda yang diantar oleh Romo Dwidjosoesastro CM tersebut, maka yang menandai kepemimpinan Uskup Verhoeks CM adalah berdirinya seminari menengah St. [[Vincentius a Paulo]], meskipun dia tidak bisa disebut sebagai pendirinya. Setelah di Jalan Kepanjen 9, seminari itu pindah ke Jalan Dinoyo, Surabaya, sebelum akhirnya pindah ke Garum, Blitar.<ref>''Ibid.''</ref>
|