Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
hasil terjemahan
mengurangi pranala merah
Baris 39:
| death_date = {{Death date and age|df=yes|1963|07|22|1896|11|25}}
| death_place = [[Steyl]], [[Belanda]]
| buried = [[Taman Makam Pahlawan GiritunggalGiri Tunggal]]
| nationality = Indonesia
| religion = Katolik
Baris 60:
| other =
}}
[[Mgr.]] '''Albertus Soegijapranata''', [[Society of Jesus|SJ]] ([[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]]: '''Albertus Sugiyapranata''', juga dikenal dengan tulisan gaya [[bahasa Jawa|Jawa]] '''Albertus Sugiyopranoto'''; 25 November 1896 – 22 Juli 1963), lebih dikenal dengan nama lahir '''Soegija''', merupakan Vikar Apostolik [[Semarang]], lalu [[uskup agung]]. Dia merupakan [[uskup]] [[orang pribumi|pribumi]] Indonesia pertama dan dikenang untuk pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".
 
Soegija dilahirkan di [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]], oleh seorang [[''abdi dalem]]'' dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota [[Yogyakarta]] saat Soegija masih kecil, dan di kota itulah dia mulai pendidikannya. Karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]]. Di Xaverius Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; keputusan ini akhirnya direstui keluarga Soegija, yang juga bisa mendukung pilihannya untuk menjadi seorang romo. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di [[seminari]] di Muntilan sebelum berangkat ke [[Belanda]] pada tahun 1919. Dia menjadi [[novisiat]] dengan Serikat Yesus selama dua tahun di [[Grave]]; dia juga menyelesaikan yuniorat di Grave pada tahun. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]], dia dikirimkan kembali ke Muntilan sebagai guru; dia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 di kembali ke Belanda untuk belajar teologi di [[Maastricht]]; di Maastricht dia [[penahbisan|ditahbiskan]] oleh Uskup [[Roermond]], Laurentius Schrijnen, pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah ini Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor.
 
Soegijapranata mulai keimamannya sebagai vikar paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta pusat, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St Yoseph di Bintaran dibuka pada bulan April 1934. Tahun berikutnya tugasnya ditambah lagi dengan [[Gereja Ganjuran|paroki di Ganjuran]], [[Kabupaten Bantul|Bantul]]. Dalam periode ini dia berusaha untuk meningkatakn rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata [[konsekrasi|dikonsekrasikan]] oleh Vikar Apostolik Batavia Petrus Willekens sebagai vikar apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Biarpun jumlah orang Katolik meningkat setelah dia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. [[Kekaisaran Jepang]] menduduki nusantara Hindia Belanda pada awal tahun 1942, dan selama [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|periode pendudukan]] banyak gereja diambilalihkan dan banyak pastor, baik yang keturunan Eropa maupun pribumi, ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa menentang beberapa kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan melayani orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
 
Setelah Presiden [[Soekarno]] [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|memproklamasi kemerdekaan Indonesia]], Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu dalam penyelesaian [[Pertempuran Lima Hari]], yang terjadi antara pihak Jepang dan Indonesia, dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim orang untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintahan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata berpindah ke Yogyakarta. Selama [[Revolusi Nasional Indonesia|revolusi nasional]] Soegijapranata bergerak untuk meningkatkan tingkat pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode paska-revolusi di menulis banyak mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik; dia juga menjadi perantara dengan beberapa faksi politik. Pada tanggal 3 Januari 1961 dia diangkat sebagai uskup agung, saat [[Tahta Suci]] mendirikan enam provinsi eklesiastik di nusantara Indonesia. Soegijapranata menjadi anggota Komisi Persiapan Sentral dan bergabung dengan sesi pertama dari [[Konsili Vatikan II]]. Dia meninggal pada tahun 1963 di [[Steyl]], Belanda, tidak lama setelah dipilihnya [[Paus Paulus VI]]. Setelah kematiannya jenazah Soegijapranata diterbangkan kembali ke Indonesia, di mana dia dijadikan seorang [[PahlawanDaftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional]] dan dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan GiritunggalGiri Tunggal]], Semarang.
 
Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik yang Katolik maupun bukan. Berbagai biografi tentang dia sudah ditulis oleh berbagai penulis, baik yang Katolik maupun bukan, dan pada tahun 2012 sebuah film [[biopik]] fiksi garapan [[Garin Nugroho]], yang diberi judul ''[[Soegija]]'', diluncurkan. [[Universitas Katolik Soegijapranata]], sebuah universitas besar di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.
 
==Kehidupan awal==
Soegija dilahirkan pada tanggal 25 November 1896 di [[Surakarta]]. Dia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang ''[[abdi dalem]]'' di [[Susuhunan|Susuhunan Surakarta]], dan ibu Soepiah. Keluarga tersebut merupakan keluarga Muslim [[abangan]], dan kakek Soegija, Soepa, seorang [[kyai]].{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}}{{sfn|Gonggong|2012|p=10}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} Namanya Soegija diambil dari kata ''sugih'' dalam [[bahasa Jawa]], yang berarti "kaya".{{sfn|Gonggong|2012|p=11}} Keluarga itu lalu berpindah ke Ngabean, [[Yogyakarta]]. Di sana, Karijosoedarmo bertugas sebagai ''abdi dalem'' di [[Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat]] untuk Sultan [[Hamengkubuwono VII]], sementara istrinya menjadi pedagang ikan;{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} keluarga Soegija miskin, dan sering kurang makan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=13}} Soegija anak yang berani, suka berkelahi, pintar bermain [[sepak bola]], dan dikenal karena kecerdasannya sejak kecil.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Saat masih kecil, Soegija [[saum|berpuasa]] bersama ayahnya, sesuai hukum Islam.{{sfn|Gonggong|2012|p=11}}
 
Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah ''Angka Loro'' di wilayah Kraton. Di sana, dia belajar membaca dan menulis. Dia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat [[Pakualaman]]. Pada tahun ketiga dia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.{{sfn|Subanar|2003|p=27}} Di luar sekolah dia belajar [[gamelan]] dan [[tembang|bertembang]] bersama orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} Sekitar tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan sebuah sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]], 30 kilometer ke barat laut dari Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.{{sfn|Subanar|2003|pp=28–29}}
Baris 81:
Tahun berikutnya Soegija minta agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik; menurut dia, ini agar dia bisa menggunakan fasilitas sekolah dengan sepenuhnya. Gurunya, Pr. Mertens, menyatakan bahwa Soegija memerlukan izin orang tua sebelum dia bisa bergabung; biarpun orang tuanya tidak merestui, Soegija masih diizinkan mengikuti pelajaran. Soegija menjadi tertarik dengan soal [[Tritunggal]], dan meminta keterangan dari beberapa guru. Van Lith mengutip karya-karya [[Thomas Aquinas]], sementara Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya [[Agustinus dari Hippo]]; Mertens menyatakan bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab pengetahuan manusia terbatas.{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} Soegija, yang menjadi semakin tertarik, minta agar [[baptis|dibaptis]]; dia mengutip cerita Kristus dan Para Dokter untuk menunjukkan mengapa dia tidak memerlukan restu orang tua. Para romo menyetujui pembaptisan itu, dan Soegija dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910; dia mengambil nama baptis Albertus,{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} berdasarkan nama [[Albertus Magnus]].{{sfn|Subanar|2003|p=91}} Saat liburan Natal, Soegija menceritakan hal ini kepada keluarganya. Biarpun ayah dan ibunya bisa menerima, dan bahkan mungkin merestui,{{efn|Adik perempuan dari Soegija konon belajar di sekolah Katolik di Muntilan saat meninggal. Ini dianggap Subanar sebagai bukti bahwa keluarga Soegija dapat merestui perpindahan agama itu {{harv|Subanar|2003|p=41}}.}} keluarga luas Soegija tidak mau berurusan dengannya lagi.{{sfn|Subanar|2003|p=41}}
 
Soegija terus melanjutkan pelajarannya di Xaverius. Menurut Pr. G. Budi Subanar, seorang dosen [[ilmu teologi]] di [[Universitas Sanata Dharma]], dalam periode ini salah satu guru mengajarkan Perintah Keempat dari [[Sepuluh Perintah Allah]] dengan pengertian bahwa seseorang tidak boleh hanya menghormati ayah dan ibu kandung, melainkan semua nenek moyangnya; ini memberi pengertian [[nastionalisnasionalis]] kepada para siswa.{{sfn|Subanar|2003|p=44}} Pada kesempatan lain, Xaverius dikunjungi seorang misionaris [[Kapusin]] – yang secara fisik jauh berbeda dari para guru Jesuit – membuat Soegija mempertimbangkan menjadi seorang pastor, sebuah gagasan yang diterima orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=46–48}} Pada tahun 1915 Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di sana selama satu tahun. Pada tahun 1916 di masuk di [[seminari]] Xaverius; ada dua anak pribumi lain yang masuk seminari tahun itu. Soegija lulus pada tahun 1919, setelah mempelajari [[bahasa Perancis]], [[bahasa Latin|Latin]], [[bahasa Yunani|Yunani]], dan [[sastra]].{{sfn|Subanar|2003|pp=52–53}}
 
==Jalan menuju kepastoran==
[[File:Velp Rijksmonument 514139 Mariendaal (Bronckhorst) keuken.JPG|thumb|left|Soegija menyelesaikan periode novisiat di Mariëndaal, di [[Grave]], [[Belanda]].]]
Pada tahun 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke [[Uden]], Belanda, untuk meneruskan pelajaran mereka; mereka berangkat dari [[Tanjung Priok]] di [[Jakarta|Batavia]]. Di Uden Soegija menghabiskan satu tahun untuk lebih mendalami bahasa Latin dan Yunani, yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia Belanda. Dia dan rekan kelasnya juga harus mengadaptasi dengan budaya Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=61–64}} Pada tanggal 27 September 1920 Soegija mulai periode [[novisiat]] untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya mulai pada tahun berikutnya.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}} Selama menjalani novisiatnya di Mariëndaal di [[Grave]], Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi. Dia menyelesaikan novisiat pada tanggal 22 September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, suci, dan patut.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}}
 
Setelah bergabungan dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Mariëndaal sebagai yuniorat. Mulai pada tahun 1923 dia belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]].{{sfn|Subanar|2003|p=69}} Selama ini dia lebih mendalami pengajaran Thomas Aquinas. Dia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11 Agustus 1923 dia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Dia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di [[Amsterdam]] pada tahun 1924, untuk majalah [[bahasa Jawa|berbahasa Jawa]] ''Swaratama''; ada pula tulisan yang dimuat dalam ''St. Claverbond, Berichten uit Java''.{{sfn|Subanar|2003|pp=70–71}} Soegija lulus dari Berchmann pada tahun 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|p=69}}
Baris 91:
Soegija tiba di Muntilan pada bulan September 1926{{sfn|Subanar|2003|p=75}} dan menjadi guru agama, bahasa Jawa, dan aljabar di Kolese Xaverius. Tidak banyak diketahui tentang masa Soegija menjadi guru di Muntilan.{{sfn|Subanar|2003|p=77}} Menurut catatan dari sekolah, gaya mengajar Soegija berdasarkan gaya van Lith, yaitu dengan menjelaskan konsep agama berdasarkan istilah yang ada dalam tradisi Jawa.{{sfn|Subanar|2003|p=79}} Soegija juga mengawasi kegiatan gamelan{{sfn|Subanar|2003|p=81}} dan berkebun.{{sfn|Moeryantini|1975|p=17}} Selama di Xaverius, Soegija menjadi redaktur ''Swaratama'', yang cenderung dibaca alumni Xaverius. Sebagai redaktur di menulis resensi mengenai berbagai topik, termasuk serangan terhadap paham [[komunisme]] dan pembahasan kemiskinan.{{sfn|Subanar|2003|pp=82–86}}
 
Setelah dua tahun di Xaverius, pada bulan Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda dan belajar teologi di [[Maastricht]]. Dia juga bepergian saat belajar. Pada tanggal 3 Desember 1929 dia dan empat Yesuit keturunan Asia lain mengikuti Yesuit Jenderal [[Wlodzimierz Ledóchowski]] dalam sebuah pertemuan dengan [[Paus Pius XI]] di [[Vatikan]]; paus itu menyatakan bahwa para Yesuit Asia itu akan menjadi "tulang punggung" untuk agama Katolik dalam negeri mereka sendiri.{{sfn|Subanar|2003|pp=87–88}} Soegija dijadikan seorang [[diaken]] pada bulan Mei 1931;{{sfn|Moeryantini|1975|p=17}} dia lalu [[tahbis|ditahbiskan]] oleh Uskup [[Roermond]] Laurentius Schrijnen pada tanggal 15 Agustus 1931, saat masih menjadi siswa teologi.{{efn|Pastor keturunan Jawa pertama ditahbiskan pada tahun 1927 {{harv|Gonggong|2012|p=17}}. Seorang Yesuit keturunan Jawa lain, Reksatmadja, ditahbiskan bersama Soegija {{harv|Subanar|2003|p=90}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=89}} Setelah ditahbiskan, Soegija menambahkan kata ''{{lang|jv|pranata}}'', yang artinya "doa" atau "harapan", di belakang namanya.{{sfn|Gonggong|2012|p=22}} Dia menyelesaikan pejaran teologi pada tahun 1932, dan pada tahun 1933 menjalani masa [[tersiat]] di [[Drongen]], [[Belgia]].{{sfn|Subanar|2003|p=96}} Tahun itu dia menulis sebuah otobiografi, berjudul ''La Conversione di un Giavanese'' (''Konversi Seorang Jawa''); karya tersebut diterbitkan dalam bahasa Italia, Belanda, dan Spanyol.{{sfn|Subanar|2003|p=99}}
 
==Menjadi pastor==
Baris 106:
Soegijapranata pergi ke Semarang pada tanggal 30 September 1940 dan [[konsekrasi|dikonsekrasi]] Willekens pada tanggal 6 Oktober di [[Katedral Semarang|Gereja Rosario Suci]] di Randusari, yang menjadi tempat jabatannya.{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}}{{sfn|Moeryantini|1975|p=22}} Upacara itu diikuti berbagai tokoh politik serta sultan, dari Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta, serta klerus dari [[Malang]] dan [[Lampung]];{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}} dengan konsekrasi ini Soegijapranata menjadi uskup pribumi pertama.{{efn|Yang kedua, seorang keturunan Timor bernama [[Gabriel Manek]], dikonsekrasi pada tahun 1951 sebagai Vikar Apolistik Larantuka {{harv|Aritonang|Steenbrink|2008|p=269}}.}}{{sfn|Gonggong|2012|p=3}} Tindakan pertama Soegijapranata sebagai uskup ialah mengeluarkan sebuah surat pastoral bersama Willekens yang menceritakan sejarah sehingga Soegijapranata bisa ditentukan sebagai uskup, termasuk surat ''Maximum Illud'' yang dibuat [[Paus Benediktus XV]]{{efn|Surat pastoral tersebut menyatakan perlunya untuk lebih banyak romo dari bangsa setempat {{harvnb|Subanar|2003|pp=131–132}}.}} serta usaha [[Paus Pius XI]] dan [[Paus Pius XII]] untuk menahbiskan lebih banyak pastor dan uskup dari suku asli di seluruh dunia.{{sfn|Subanar|2003|pp=131–132}}{{sfn|Subanar|2005|p=41}} Soegijapranata lalu mulai menentukan hirarki Gereja di Jawa Tengah, termasuk mendirikan paroki baru.{{sfn|Subanar|2005|p=42}}
 
Dalam wilayah yang dipimpin Soegijapranata terdapat 84 pastor (73 orang Eropa, 11 orang pribumi), 137 [[bruder]] (103 orang Eropa, 34 orang pribumi), dan 330 [[biarawati]] (251 orang Eropa, 79 orang pribumi).{{sfn|Gonggong|2012|p=36}} Vikariat ini memuat daerah Semarang, Yogyakarta, Surakarta, [[Kudus]], [[Magelang]], [[Salatiga]], [[Kabupaten Pati|Pati]], dan [[Ambarawa]]. Keadaan geografisnya juga berbeda-beda, termasuk wilayah [[Dataran Kedu]] yang subur hingga daerah [[GunungPegunungan Sewu]] yang kering. Sebagian besar penduduknya orang Jawa.{{sfn|Subanar|2005|pp=44–45}} Ada lebih dari 15.000 orang Katolik pribumi di wilayah tersebut pada tahun 1940, dengan jumlah orang Katolik Eropa yang hampir sama; jumlah orang Katolik pribumi meningkat dengan cepat,{{sfn|Subanar|2005|p=49}} sehingga ada lebih dari 30,000 pada tahun 1942.{{sfn|Subanar|2005|p=61}} Ada pula sejumlah organisasi Katolik, yang sebagian besarnya bergerak di bidang pendidikan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=11}}
 
===Kedudukan Jepang===
[[File:Gedangan presbytery.JPG|thumb|Pastoran di Gedangan, yang Soegijapranata melindungi dari [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pasukan Jepang]] pada tahun 1942]]
Setelah [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Jepang memasuki Nusantara]] pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan kolonial, pada tanggal 9 March 1942 Guberner-Jenderal [[Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan pemimpin [[KNIL]] Jenderal [[Hein ter Poorten]] menyerah. Ini membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi kualitas hidup orang non-Jepang.{{sfn|Adi|2011|pp=18–24}} Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis bahwa "di mana-mana ada kebakaran ... Tidak ada tentara, tidak ada police, tidak ada pegawai. Di jalanan pun terdapat berbagai bangkai kendaraan yang terbakar ... Untung masih ada beberapa pegawai kejaksaan dan beberapa tokoh Katolik yang tidak pergi. Mereka bekerja dengan mengatasnamakan diri dari instansiyang berwenang untuk mengatur kota agar tercipta suasana ''rust en order'', tertib dan damai."{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}}
 
Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar orang Belanda), baik orang awam maupun klerus.{{efn|{{harvtxt|Subanar|2003|pp=155–163}} mencatat 109 Yesuit, 61 anggota [[Fratrum Immaculatae Conceptionis]], dan 21 biarawati dalam Orda Carolus Borromeus yang ditahan selama periode pendudukan Jepang. Sebanyak dua belas pastor ditahbiskan dalam kurung waktu yang sama.}} Pemerintah juga menentukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan missa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}} Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. Dia pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=135}} Saat penuasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebagai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja tersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan tempat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat dia tinggal,{{sfn|Gonggong|2012|p=49}} serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tidak disita.{{sfn|Subanar|2003|p=139}} Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan milik Gereja disita;{{sfn|Subanar|2005|p=59}} begitu pula uang Gereja.{{sfn|Subanar|2005|p=67}}
Baris 131:
Setelah tidak berhasilnya [[Perjanjian Linggajati]], yang dimaksud untuk menghentikan perang antara Indonesia dan Belanda, serta [[Agresi Militer Belanda I|serangan besar Belanda terhadap Indonesia]] pada tanggal 21&nbsp;Juli 1947, Soegijapranata, melalui sebuah pidato di [[Radio Republik Indonesia]], menyatakan bahwa orang-orang Katolik akan bekerja sama dengan pejuang Indonesia.{{sfn|Gonggong|2012|p=82}} Soegijapranata juga banyak menulis kepada [[Tahta Suci]], yang menanggapi surat-surat Soegijapranata dengan mengirim Georges<!---Marie-Joseph-Hubert-Ghislain--> de Jonghe d'Ardoye sebagai duta ke Indonesia; ini membuka jalur diplomasi antara Vatikan dan Indonesia. D'Ardoye tiba di wilayah Republik pada bulan Desember 1947 dan bertemu dengan Presiden [[Soekarno]];{{sfn|Subanar|2005|p=79}} Soegijapranata di kemudian hari menjadi teman presiden.{{sfn|Prior|2011|p=69}}
 
Setelah [[Agresi Militer Belanda&nbsp;II]], di mana Belanda menduduki ibukota di Yogyakarta pada tanggal 19&nbsp;Desember 1948, Soegijapranata menyatakan bahwa perayaan [[Hari Natal]] tidak boleh mewah, sebab rakyat sedang sengsara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=88–89}} Selama Belanda menguasai Yogyakarta Soegijapranata dapat mengirim beberapa tulisannya ke luar negeri; tulisan ini, yang dimuat di majalah ''Commonweal'', mendetail kehidupan sehari-hari orang Indonesia di bahwa kekuasaan Belanda dan menggugat agar masyarakat internasional mengutuk Belanda.{{sfn|Gonggong|2012|pp=90–92}} Soegijapranata juga berpendapat bahwa blokade Belanda terhadap Indonesia tidak hanya mencekik ekonomi Indonesia, tetapi juga meningkatkan kekuasaan orang-orang Komunis.{{sfn|Aritonang|Steenbrink|2008|p=193}} Ketika Belanda mulai mengundurkan diri setelah [[Serangan Umum 1&nbsp;Maret 1949]], Soegijapranata mulai berusaha agar orang Katolik diwakili dalam pemerintah. Bersama [[I. J. Kasimo]], dia menyiapkan Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia, yang diadakan dari tanggal 7 sampai 12 Desember. Kongres ini berakhir dengan disatukannya berbagai partai Katolik sebagai [[Partai Katolik (Indonesia)|Partai Katolik Indonesia]]. Soegijapranata dan Kasimo terus mengkonsolidasikan Partai Katolik setelah akhirnya perang revolusi.{{sfn|Gonggong|2012|pp=106–108}}
 
===Pasca-revolusi===
Baris 144:
 
==Uskup Agung Semarang dan kematian==
[[File:Grave of Soegijapranata.JPG|thumb|Makam Soegijapranata di GiritunggalGiri Tunggal]]
Pada akhir dasawarsa 50-an, KWI sering mengadakan pertemuan untuk membahas perlunya hirarki Katolik Roma di Indonesia yang daulat. Pembahasan ini, yang diadakan setahun sekali, membahas soal administrasi serta kepastoran, termasuk penerjemahan lagu rohani ke dalam [[daftar bahasa di Indonesia|bahasa daerah]]. Pada tahun 1959 Kardinal [[Grégoire-Pierre Agagianian]] mengunjungi Indonesia untuk memeriksa persiapan Gereja. Pada bulan Mei 1960, KWI secara resmi mengajukan permohonan untuk dibentuknya Gereja Katolik Indonesia yang daulat; surat permohonan ini dibalasi [[Paus Yohanes&nbsp;XXIII]], dalam surat bertanggal 20&nbsp;Maret 1961, yang membagi nusantara Indonesia menjadi enam provinsi eklsiastik, yaitu dua di pulau [[Jawa]], satu di [[Sumatera]], satu di [[Flores]], satu di [[Sulawesi]] dan [[Kepulauan Maluku|Maluku]], dan satu di [[Kalimantan]]. Semarang menjadi pusat provinsi Semarang, dan Soegijapranata menjadi [[uskup agung]].{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} Dia diangkat pada tanggal 3&nbsp;Januari 1961.{{sfn|Moeryantini|1975|p=11}}
 
Saat ini terjadi, Soegijapranata sedang di Eropa untuk [[Konsili Vatikan&nbsp;II]], mulai dengan sesi persiapan, termasuk sebagai anggota Komisi Persiapan Sentral;{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} di komisi tersebut Soegijapranata merupakan salah satu dari enam uskup dan uskup agung dari Asia.{{sfn|Cahill|1999|p=51}} Soegijapranata mengikuti sesi pertama Konsili, di mana dia menunjukkan keprihatinan akan keadaan kepastoran{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} dan mohon agar sistem Gereja dimodernisasi.{{sfn|Cahill|1999|p=195}} Dia lalu kembali ke Indonesia, tetapi dalam kesehatan yang kurang baik.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}
Baris 151:
Setelah dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi pada tahun 1963, Soegijapranata dilarang menjalani tugasnya. [[Justinus Darmojuwono]], seorang mantan tahanan Jepang dan [[vikaris jenderal]] Semarang sejak tanggal 1&nbsp;Agustus 1962, menjalani tugas uskup. Pada tanggal 30&nbsp;Mei 1963 Soegijapranata meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa, di mana dia menghadiri pemilihan [[Paus Paulus&nbsp;VI]]. Dia lalu pergi ke [[Nijmegen]], di mana dia dirawat di Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29&nbsp;Juni hingga 6&nbsp;Juli; perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal pada tanggal 22&nbsp;Juli 1963 di sebuah susteran di [[Steyl]], Belanda; dia mengalami [[serangan jantung]] tidak lama sebelum meninggal.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}}
 
Karena Sukarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal [[Bernardus Johannes Alfrink]].{{sfn|Gonggong|2012|p=124}} Soegijapranata dinyatakan seorang [[Daftar Pahlawanpahlawan Nasionalnasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]] pada tanggal 26&nbsp;July 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Pesawat yang membawa Soegijapranata tiba di [[BandaBandar Udara Kemayoran]] di Jakarta pada tanggal 28&nbsp;Juli. Pada hari berikutnya jenasahnya diterbangkan ke Semarang dan, pada tanggal 30 Juli dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]].{{sfn|Gonggong|2012|pp=124–125}} Darmojuwono dipilh pada bulan Desember 1963 sebagai uskup agung Semarang yang baru; dia dikonsekrasi pada tanggal 6&nbsp;April 1964 oleh Uskup Agung Ottavio De Liva.{{sfn|Subanar|2005|p=146}}
 
==Warisan==
Soegijapranata dibanggakan oleh orang Jawa beragama Katolik;{{sfn|Prior|2011|p=69}} mereka memuji kekuatannya selama pendudukan Jepang dan revolusi nasional.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Penulis Anhar Gonggong menyatakan bahwa Soegijapranata bukan hanya seorang uskup, melainkan pemimpin Indonesia yang "diuji sebagai pemimpin yang baik dan memang layak dijadikan pahlawan nasional."{{efn|Asli: "''... was tested as a good leader and deserved the hero status.''"}}{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Sejarawan Indonesia Anton Haryono menyatakan bahwa kenaikan Soegijapranata menjadi uskup sangat "monumental", mengingat bahwa dia baru diordinasi sembilan tahun sebelumnya tetapi tetap diangkat, biarpun ada pastor lain yang lebih berpengalaman.{{sfn|Gonggong|2012|p=127}} Henricia Moeryantini, seorang suster dalam Orde Carolus Borromeus, menulis bahwa di bawah Soegijapranata Gereja Katolik menjadi pemain di tingkat nasional, dan bahwa Soegijapranata terlalu peduli akan keperluan masyarakat sehingga tidak bisa menjadi bagaikan orang luar saat revolusi.{{sfn|Moeryantini|1975|p=125}}
 
[[Universitas Katolik Soegijapranata]] di Semarang dinamakan untuk Soegijapranata.{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}}{{sfn|Suara Merdeka 2003, Mengajar Umat}} Ada pula berbagai jalan yang diberi nama Soegijapranata, termasuk di Semarang,{{sfn|Google Maps, Semarang}} [[Malang]],{{sfn|Google Maps, Malang}} dan [[Medan]].{{sfn|Google Maps, Medan}} Makam Soegijapranata di GiritunggalGiri Tunggal sering menjadi tempat ziarah untuk orang Indonesia yang Katolik; mereka sering mengadakan misa di tempat itu.{{sfn|Fiska 2007, Menghormati Pahlawan}}{{sfn|Suara Merdeka 2009, Semarang Metro}}
 
Pada bulan Juni 2012 sutradara [[Garin Nugroho]] mengeluarkan film [[biopik]] tentang Soegijapranata, yang diberi judul ''[[Soegija]]''. Dibintangi [[Nirwan Dewanto]] sebagai Soegijapranata, film ini mengikuti kegiatan Soegijapranata pada dasawarsa 40-an, yang dilatarbelakangi dengan pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan Indonesia. Film ini, yang menelankan biaya [[Rupiah|Rp]] 12&nbsp;miliar,{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}}{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}} dijual lebih dari 100.000 pada hari pertama tayang.{{sfn|Kurniawan and Aziz 2012, Hari Pertama Tayang}} Peluncuran film ini diikuti oleh novelisasi kehidupan Soegijapranata, yang dilakukan secara fiksi, oleh pengarang Katolik [[Ayu Utami]].{{sfn|Raditya 2012, Ayu Utami}}{{sfn|Gonggong|2012|p=140}} Beberapa tulisan biografis yang bukan fiksi, yang ditulis baik oleh orang beragama Katolik maupun tidak, juga diterbitkan dalam kurung waktu itu.{{sfn|Gonggong|2012|p=140}}