Pernyataan [[van Mook]] untuk tidak berunding dengan [[Soekarno]] adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari [[presidensiil]] menjadi [[parlementer]]. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan [[Pihak Sekutu di Perang Dunia II|Sekutu]], tanggal [[14 November]] [[1945]], [[Soekarno]] sebagai kepala [[Kabinet Presidensial|pemerintahan republik]] diganti oleh [[Sutan Sjahrir]] yang seorang [[sosialis]] dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di [[Belanda]].
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari
[[Sistem presidensiil|sistem Presidensiil]] menjadi [[Sistem parlementer|sistem Parlementer]]) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan [[Inggris]] dan [[Belanda]], [[Sutan Sjahrir]] dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
=== Diplomasi Syahrir ===
Ketika Syahrir mengumumkan [[Kabinet Sjahrir I|kabinetnya]], [[15 November]] [[1945]], Letnan [[Gubernur Jendral]] [[van Mook]] mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (''Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen''), [[J.H.A. Logemann]], yang berkantor di [[Den Haag]]: "''Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan''". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio [[BBC]] tanggal [[28 November]] [[1945]], "''Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir''". Tanggal [[6 Maret]] [[1946]] kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah ''[[persona non grata]]''.