Kiras Bangun: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Zemsontarna (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Kiras Bangun''' atau Garamata(si mata merah) adalah pejuang kemerdekaan melawan penjajahan Belanda asal Karo. Lahir di Batu Karang 1852, dari ayah yang beristri tiga Kiras Bangun ersembuyakken(bersaudarakan) 5 orang, 4 orang saudara dan 1 orang saudari. Dari keluarga berdarah bangsawan(masih dalam keluarga raja urung silima kuta) ber-merga Peranginangin dari cabang(sub-)merga Bangun, yang kental dengan tradisi Karo, dimana ayahnya yang juga merupakan tokoh masyarakat dan adat menempa beliau menjadi sosok yang humanis, disiplin, bijaksana, dan berpendirian teguh. Hal ini tampak dari penolakannya yang keras terhadap tawaran-tawaran Belanda yang ingin membuka perkebunan di wilayah Karo yang dalam pemikiran seorang Kiras Bangun ini kelak akan menyengsarakan dan membuat kaum pribumi akan tersingkir dari tanah nenek moyangnya.
 
Seperti lazimnya muda/i Karo yang menjalani pendidikan tradisiona mayan atau ndikar = bela diri, katika = ramal, tambar-tambar ilmu pengobatan, aji-aji = racun, mbayu(tenun dan mengayam khusus untuk kaum wanita), ergendang = musik, agama, adat, tulisen Karo, dan kebijaksanaan lainnya) selain itu, beliau juga berkesempatan untuk mengenyam pendidikan formal yang dijalaninya di Kota Binjai, sehingga pastilah beliau menguasai bahasa Melayu juga tulisen(aksara) Karo, yang ini kemudian nantinya menjadi modal beliau untuk dapat melakukan pendekatan dan meyakinkan untuk mempersatukan pejuang dari lintas wilayah, suku, agama, dan golongan baik di sekitar Sumatera Utara hingga ke Aceh. Walau terlahir dari keluarga pengulu Silima Kuta yang tentunya memiliki hak-hak istimewa diantara masyarakat lainnya, tidak lantas membuat beliau sombong dan sewenang-wenang dalam perangainya seperti lazimnya para kaum aristokrat, sehingga beliau sangat disukai oleh karena kepeduliannya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat yang hendak dirampas baik oleh penguasa-penguasa lokal terkhususnya dari penjajahan kolonial Belanda.
 
Di Karo, adalah sebuah kebiasaan khususnya kaum bapa(bapak) melakukan perjalanan ke kuta-kuta(kampung), hal demikian juga dilakukan oleh Kiras Bangun, namun perjalanan yang lazim beliau lakukan bukan hanya berkaitan dengan menjalin silaturahmi antar keluarga ataupun Merga Silima, melainkan juga berkaitan dengan peran beliau sebagai tokoh adat dan masyarakat yang dimana kala itu sering terjadi peperangan baik antar kesain, kuta, urung, maupun kesebayakan di wilayah-wilayah Karo, sehingga kehadiran beliau adalah sebagai seorang juru damai, dan disamping itu dengan memanasnya situasi di wilayah Karo yang diakibatkan oleh rencana pemerintah kolonial Belanda untuk membukan perkebunannya di dataran tinggi Karo, membuat Kiras Bangun geram dan memanfaatkan saat-saat itu untuk juga menggalang kekuatan untuk melakukan perlawanan.
 
Kepopuleran Kiras Bangun yang terdengar oleh Belanda baik di dataran tinggi hingga ke pasisir, dan ditambah lagi dengan adanya rencana kolonial Belanda untuk membuka perkebunan tambakau di dataran tinggi Karo, dima sebelumnya di tahun 1870 Belanda telah menguasai Sumatera Timur dan telah membuaka perkebunan karet di sekitar Binjai dan Langkat, maka dengan taktik pendekatan melalui utusan yang semerga bernama Nimbang Bangun yang juga masih memiliki pertalian saudara, Belanda menawarkan persahabatan dengan imbalan memakai pengaruh Kiras Bangun di dataran tinggi untuk memperoleh lahan-lahan untuk dijadikan perkebunan tembakau. Namun, sadar hal ini akan menyengsarakan rakyat Karo, maka dengan tegas Kiras Bangun menolak walau selalu ditawari imbalan-imbalan yang menarik dari kolonial Belanda.
 
Tidak lantas menyerah, pihak Belanda berulang kali mengutus Nimbang Bangun dan utusan-utusan lainnya untuk membujuk Kiras Bangun agar mau bersahabat dengan pihak kolonial, namun bukan tergoda, hal ini malah membuat Kiras Bangun semakin keras menolak, apalagi ditahun 1901 kolonial Belanda membuka markasnya di Kabanjahe, hal ini membuat Kiras Bangun menjadi berang dan menumbuhkan kebenciannya terhadap kolonial Belanda. Sehingga, bersama pasukannya beliau mengusir paksa Belanda dari dataran tinggi Karo.
 
Setahun kemudian(1902) Belanda dengan utusanya Guillaume beserta sedadu yang dipersenjatai lengkap yang dimana sebelumnya telah mendapat ijin dari beberapa penguasa urung di dataran tinggi bergerak menuju dataran tinggi Karo. Kiras Bangun menilai hal ini merupakan sebuah penghinaan serta upaya kolonial untuk menguasai Taneh Karo, sembari menggalang kekuatan dan menyusun strategi perang, maka dengan keras beliau meng-ultimatum Belanda agar segera meninggalkan Taneh Karo jika tidak ingin terjadi perlawanan sengit dari rakyat Karo. Peringatan yang disampaikan tidak juga diindahkan oleh pihak Belanda, maka dengan itu pertempuran tidak dapat lagi dielakkan. Sadar akan kemampuan persenjataan dan jumlah musuh lebih kuat(dimana kaum pribumi bayak direkrut menjadi serdadu Belanda), maka Kiras Bangun menggalang kekuatan, salah satunya dengan melakukan pendekatan terhadap urung-urung Karo yang dikenal dengan “pertemuan tiga jeraya” . Dan satu hal yang menakjubkan dalam “pertemuan tiga jeraya” ini, dimana mampu mengumpulkan lebih dari 3000 orang dan tercatat terjadi tiga kali pertemuan. Hal inilah yang semakin membuat pihak kolonial menjadi kewalahan, dimana ini merupakan penggalangan kekuatan tradisional terbesar di Sumatera dan mungkin di nusantara sepanjang sejarah.
 
Patroli-patroli serdadu Belanda semakin gencar dilakukan untuk membasmi perlawanan masyarakat, sehingga menimbulkan pertempuran dimana-mana. Suara tembakan terdengar dimana-mana, korban berjatuhan, hal ini mengiris hati dan menguji mental seorang pemimpin sekelas Kiras Bangun. Walau hati pilu namun sadar akan lebih sakit jika dijajah, dengan motto perjuangan “Namo bisa jadi aras; Aras bisa jadi namo. Hari ini bisa saja kita kalah, tapi besok kita pasti menang!” yang juga penyemangat bagi pasukanya, maka, sampai darah penghabisan perjuangan tetap diterusna, hal ini tergambar dalam supah yang beliau beserta pasukan simbisa/urung-nya ikrarkan