Andjar Asmara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Adi.akbartauhidin (bicara | kontrib)
+
Adi.akbartauhidin (bicara | kontrib)
+
Baris 33:
Setelah menangani pemasaran untuk ''Rentjong Atjeh'' (1940){{sfn|Biran|2009|p=210}} Andjar membuat film pertamanya, ''[[Kartinah]]'', pada tahun 1940.{{sfn|Said|1982|pp=136–137}}{{sfn|Biran|2009|p=213}} Film cinta ini, yang dibintangi Ratna Asmara, dikritik oleh kaum intelektual, yang beranggapan bahwa film tersebut tidak mempunyai nilai pendidikan.{{sfn|Biran|2009|p=266}} Pada tahun 1941 Andjar menggarap ''Noesa Penida'', sebuah film tragedi yang terjadi di [[Bali]], untuk JIF;{{sfn|Biran|2009|p=217, 278}} film ini [[Noesa Penida (film 1988)|didaur ulang pada tahun 1988]].{{sfn|Filmindonesia.or.id, Filmografi}} Dalam film ini Andjar tidak mempunyai peran kreatif yang berarti, sehingga jurnalis [[Eddie Karsito]] menyebutnya sebagai pelatih dialog. Sudut kamera dan tempat rekaman dipilih oleh [[sinematografer]], yang cenderung berperan sebagai [[Produser film|produser]] pula.{{sfn|Karsito|2008|p=23}}
 
Selama [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pendudukan Jepang]] dari tahun 1942 sampai tahun 1945, industri film Hindia-Belanda hampir punah; hanya satu studio yang tetap buka, dan hampir semua film yang dihasilkan merupakan propaganda Jepang yang ditujukan untuk mendukung gagasan [[Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya|Asia Raya]].{{sfn|Biran|2009|pp=334–351}} Andjar tidak terlibat dalam film ini, biarpun tertarik dengan nilai artistik [[film Jepang]].{{sfn|Said|1982|p=35}} IaMeskipun ia menulis cerita pendek selama waktu ini, tiga di antaranya [[Daftar literatur yang diterbitkan Asia Raja|diterbitkan]] oleh koran pro-Jepang ''[[Asia Raja]]'' pada [[1942]],{{sfn|Mahayana|2007|pp=209–215}} ia lebih mengutamakan teater dan membentuk kelompok sandiwara Tjahaya Timoer.{{sfn|Biran|2009|p=329}} Ia juga sering mengunjungi Pusat Kebudayaan (''Keimin Bunka Sidosho'') di [[Jakarta]], tempat [[D. Djajakusuma]] dan [[Usmar Ismail]] diajari soal perfilman. Kedua orang itu kemudian menjadi sutradara terkemuka pada dekade 1950-an.{{efn|Film ''[[Darah dan Doa]]'' karya Usmar Ismail, yang dirilis pada tahun 1950, biasanya disebut sebagai film Indonesia pertama {{harv|Biran|2009|p=45}}, sementara Djajakusuma menjadi terkenal karena unsur budaya lokal dalam filmnya {{harv|Sen|Hill|2000|p=156}}.}}{{sfn|Said|1982|p=34}}
 
Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan Indonesia]], Andjar kembali ke dunia jurnalisme. Ia berpindah ke [[Purwokerto]] dan memimpin harian ''Perdjoeangan Rakjat''.{{sfn|Encyclopedia of Jakarta, Andjar Asmara}} Setelah koran itu tutup,{{sfn|I.N.|1981|p=215}} pada akhir dekade 1940-an ia kembali ke dunia film, bekerja sama dengan Usmar Ismail pada tahun 1948 untuk menggarap ''Djauh di Mata'' untuk [[NICA]].{{sfn|Said|1982|pp=36–37}} Ini disusul dua film lagi, ''[[Anggrek Bulan (film)|Anggrek Bulan]]'' (1948) dan ''Gadis Desa'' (1949); kedua film ini didasarkan pada naskah drama yang sudah ditulis beberapa tahun sebelumnya.{{sfn|Encyclopedia of Jakarta, Andjar Asmara}} Pada tahun 1950 Andjar menerbitkan novelnya semata wayang, ''Noesa Penida'', yang mengkritik [[sistem kasta Bali]] dengan mengikuti cerita cinta dua orang dari berbeda [[kasta]].{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|1995|pp=86–88}} Ia juga menulis dan menerbitkan adaptasi film Indonesia dalam bentuk serial.{{sfn|Filmindonesia.or.id, Abisin Abbas}}