Wikipedia:Bak pasir: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 1:
TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT BUOL
(SEBUAH KAJIAN SEDERHANA DALAM PERSPEKTIF ISLAM)
Oleh: Adnan M.Baralemba, S.Pd. M.Si.)*
ABSTRAK
Masyarakat Buol yang seluruhnya beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Buolmya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Buol ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Buol, terutama warisan “Nikakai”. Di antara tradisi dan budaya ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, keyakinan adanya “Penjaga-Penjaga” di suatu tempat tertentu yang berkedudukan seperti tuhan, tradisi member makan terhadap penjaga-penjaga itu, ziarah ke makam orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu. Setelah dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tuhan yang mereka tuju dalam keyakinan mereka jelas bukan Allah, tetapi dalam bentuk pemujaan-pemujaan roh-roh leluhur, atau yang lainnya. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Buol seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.
PENDAHULUAN
Sebenarnya masyarakat Buol sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Buol hingga akhir-akhir ini tidak ada yang terketuk hatinya untuk menggali, menemukan dan mengembangkan agar dapat memberikan kontribusi terhadap kekayaan budaya nasional di Indonesia. Faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Buol yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya, namun tidak ada upaya untuk memperkenalkannya. Nama Buol juga sebenarnya sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, ini pertanda bahwa Buol adalah suatu nama yang dapat dijadikan jargon atau nama panggilan yang indah bagi masyarakat Buol.
Jika kita perhatikan, ternyata tradisi dan budaya Buol tidak hanya memberikan warna dalam kehidupannya, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktekpraktek keagamaan. Masyarakat Buol yang memiliki tradisi dan budaya yang banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka memiliki keyakinan atau agama Islam.
Baris 12:
Gambaran masyarakat Buol seperti di atas menjadi penting untuk dikaji, terutama terkait dengan praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik tentunya kita perlu memahami ajaran agama kita dengan memadai, sehingga ajaran agama ini dapat menjadi acuan kita dalam berperilaku dalam kehidupan kita. Karena itulah, dalam tulisan yang singkat ini akan diungkap masalah tradisi dan budaya Buol dalam perspektif ajaran Islam. Apakah tradisi dan budaya Buol ini sesuai dengan ajaran Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mengawali uraian tentang masalah ini penting kiranya terlebih dahulu dijelaskan siapa masyarakat Buol itu.
MASYARAKAT BUOL, BUDAYA, dan KEAGAMAANNYA
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyarakat Buol merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Buol dan mendiami Pulau Sulawesi Tengah. Di Buol sendiri selain berkembang masyarakat Buol juga berkembang masyarakat Gorontalo, Toli-Toli, Bugis, dan Manado, dan masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat Buol tidak hanya mendiami Sulawesi Tengah, tetapi kemudian menyebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Bahkan di luar Sulawesi pun banyak ditemukan komunitas Buol. Masyarakat Buol ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lainnya, Artinya masyarakatnya hanya memiliki satu ras bahasa daerah yaitu bahasa Buol. Tidak seperti suku Kaili di mana bahasa ini terdiri dari Kaili Doi, Kaili Tara, Endepu, Kaili Ledo, dan lain sebagainya.
Dengan perkembangan IPTEKS (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) yang semakin gencar seperti sekarang ini, masyarakat Buol tidak tertarik dengan berbagai keunikannya, baik dari segi budaya, agama, tata krama, dan lain sebagainya. Bahkan dengan IPTEKS tersebut sedikit demi sedikit mulai menggerogoti keunikan masyarakat Buol tersebut, terutama dimulai di kalangan generasi mudanya. Di kota-kota seperti Palu atau di kota lain di Sulawesi, banyak ditemukan masyarakat Buol yang tidak menunjukkan jati diri ke-Buol-annya. Mereka lebih senang berpenampilan lebih modern yang tidak terikat oleh berbagai aturan atau tradisi-tradisi yang justeru menghalangi mereka untuk maju.
Baris 34:
Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1995: 347).
Itulah gambaran tentang masyarakat Buol dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Namun sekarang ini keunikan ini justru tidak diperhatikan lagi, pada hal keunikan itu dapat dijadikan sebagai warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.
PENUTUP
Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali menolak tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penetapan hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut ‘urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hokum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Di Indonesia banyak berkembang tradisi di kalangan umat Islam yang terus berlaku hingga sekarang, seperti tradisi lamaran, sumbangan mantenan, peringatan hari-hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka tradisi-tradisi seperti itu dapat dilakukan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka tradisi-tradisi itu harus dikembangkan dengan tujuan sebagai kontribusi kekayaan budaya Indonesia.
Mudah-mudahan tulisan ini menjadi pemicu masyarakat Buol untuk bangkit dalam menggali budaya di daerahnya demi sehingga dapat berkompetisi dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
|