Pesantren: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Muhammad hilal (bicara | kontrib)
Muhammad hilal (bicara | kontrib)
Baris 5:
 
== Sejarah umum ==
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang [[kiai| kyai]] di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya.{{fact}} Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai.{{fact}} Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri.{{fact}} Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.{{fact}} Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.{{fact}} Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan.{{fact}} Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman [[Walisongo]].<ref>Wahab, Rochidin. ''Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia'' (Bandung: Alfabeta,CV, 2004) hal.153,154</ref>
 
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di [[Nusantara]] telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren. Bahkan dalam catatan [[Howard M. Federspiel]]- salah seorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama [[Dayah]] di Aceh) dan Palembang (Sumatera), di Jawa Timur dan di [[Gowa]] (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.<ref>Hielmy, Irfan. ''Wancana Islam'' (ciamis:Pusat Informasi Pesantren,2000), hal. 120</ref>