SEJARAH KOTAKERAJAAN LUWUKBANGGAI
oleh : Haryanto Djalumang
3.1. Sejarah Singkat Kerajaan Banggai
Kota Luwuk dalam rentang sejarah yang panjang, masuk dalam wilayah Kerajaan Banggai, olehnya itu untuk pembahasan Kota Luwuk kita juga memahami sejarah singkat kerajaan Banggai, sebagaimana di bawah ini.
Pada tahun 1580 Raden Cokro dilantik sebagai raja kerajaan Banggai pertama oleh Sultan Ternate Babb Ullah di Ternate, raja ini kemudian dikenal dengan nama Adi Cokro (Adi Soko), Mbumbu Doi Jawa, artinya tuanku raja Adi Cokro Meninggal di tanah Jawa (1590 M).
Raja ke I kerajaan Banggai Adi Cokro (Adi Soko) menikah pertama kali dengan putri dari raja Motindok Ali Saseni, bernama Nuru Sapa melahirkan anak pertama bernama Abu Kasim Raden Sakka , kemudian raja Adi Cokro menikah kedua dengan putri bangsawan (Kastela) Portugis di Ternate bernama Kastilia melahirkan anak keduanya Maulana Frins Mandapar, dan raja Adi Cokro menikah ketiga dengan putri Bokan melahirkan anak perempuan ketiganya Putri Saleh,
Secara efektif administrasi pemerintahan Bupati Pertama DASTING II Banggai BIDIN, baru bekerja pada tanggal 8 Juli 1960. Dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 37 tanggal 13 Desember 1960, DASTING II Banggai masuk dalam wilayah Propinsi Sulawesi Utara-Tengah.
Lahirnya Bupati Bidin sebagai Bupati pertama Daswati II Banggai tidak terlepas dari perjuangan para tokoh politik, yang tergabung dalam Komite XII, anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Poso maupun dari anggota Badan Perjuangan Otonomi Daerah (BPOD) di Luwuk, mereka adalah, Ahmad Mile, Atjo Dg. Matorang, Abd. Azis Sinukun, Dj.N. Agama, A.Momor, M.H.Wauranagahi, T.S.Bullah, Agulu Lagonah, Sulaeman Amir, Usman Hamid, S.P. Makarao, Jusuf Monoarfa, B. Salam, Jan Posumah, TS. Bullah, AL. Lanasir, H.Thalib, Sirajuddin Datu Adam, Abd. Madjid Mang, Djeng Djalumang, dan Abd.Azis Larekeng, serta Ena Musa dan di Jakarta Abd.Djadil Abdullah, Farouk Zaman serta Abd.Kahar Dangka.
Tahun 1960, dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 tanggal 13 Desember 1960 (lembaran Negara Nomor 151) terbentuk Propinsi Sulawesi Utara Tengah, dengan Ibu Kota Manado, Gubernurnya yang pertama, A.A. Baramuli dan kedua F.J. Tumbelaka.
Wilayah DASTING II Banggai berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah Nomor Pem/1/1961, tanggal 4 Pebruari 1961, meliputi 2 (dua) Kewedanaan, yaitu pertama Kewedanaan Banggai berkedudukan di Luwuk, terdiri dari Kecamatan Luwuk ( Distrik Luwuk, Kintom, Batui, Lamala dan Balantak), Kecamatan Pagimana berkedudukan di Pagimana (Distrik Pagimana, Distrik Bunta); kedua, Kewedanaan Banggai Laut, berkedudukan di Banggai, terdiri dari Kecamatan Banggai, terdiri dari Distrik Banggai, Distrik Lo.Bangkurung, Distrik Totikum, dan Kecamatan Kepulauan Peling berkedudukan di Salakan terdiri dari Distrik Tinangkung, Distrik Bulagi, Distrik Buko, Distrik Liang.
Kewedanaan Luwuk di Pimpin oleh Andi Ibrahim dan Hasan Datau (1959-1963), Kepala Kecamatan Luwuk Dance Boerman, dan Kepala Distrik Luwuk Usman Hamid, J.Z. Uda’a, serta Ma’ruf A.Hamid.
Pada Tahun 1964, terbentuk Organisasi Kecamatan Luwuk, Camat Luwuk Pertama Muhtar Tiadja, Z.Uda’a, Husin Abusama, Muslim Panreli, Laelatu Djanun, Mahyudin Djude, Amuri Lantak, Sulaeman Larau, Iskandar K. Djawa, Amdjar Unus, Zulkifli Mang, Dahlan Asagaf, Arifin Lagona (Plt), Suharto Mahiwa, Alfian Djibran, Junaedi Sibay, dan Isnaeni Larekeng serta Sopian Datu Adam (3013).
3.3. Sejarah Masyarakat Keleke
Masyarakat Keleke - Mangkin Piala terletak di Pegunung “W” tepatnya di Desa Keles, Lumpoknya, Pinampong, dan Desa Tontouan serta Tandos pernah ada wilayah persekutuan, bernama “Keleke” (1700-1900 M), dipimpin oleh se orang dengan gelar “mianu tutui Sulaa”. Mianu tutui, artinya yang benar, yang utama, merupakan gelar tertinggi wilayah kelompok Keleke yang terdiri dari Keles dan Mangkin Piala.
Keleke, yang berarti, “sukar dilihat dari jauh”, atau “luaran”, wilayahnya terletak di lembah Gunug “W” dan mempunyai pusat Pemerintahan, namanya “Pahosan.” Keleke, juga berasal dari kata “kele”, yang berarti ‘nenek”, jadi Keleke berarti “nenek-nenek”, karena wilayah ini dipimpin oleh seorang nenek yang sabar, tangguh dan ulet serta amanah, kele Sulaa, dan kele Sulu, kele Bai’un serta warga masyarakatnya mayoritas kaum wanita.
Bangsa Keleke, pada awalnya dipimpin oleh mianututui Bosanyo Sula (1700-1770 M), wilayahnya masih disekitar Keles dan Mangkin Piala, setelah dipimpin anaknya, mianututui Bosanyo Sulu (1770-1810 M), wilayah Keleke meluas dan membentuk perkampungan baru.
Wilayah mianu Keleke (1770-1900 M), terdiri dari :
1. mianu Pinampong
2. mianu Mangkin Piala
3. mianu Tombang
4. mianu Lumpoknyo
5. mianu Tandos.
Ibu Kota Pemerintahan Keleke, “Pahyosan”, terletak antara Pegunungan Paka dan Pongoti, yang sekarang dijuluki Pegunungan We (W). Di bawah kaki Gunung W terdapat hamparan yang luas, memanjang ke tepi pantai, yang mereka namakan LUWOK (teluk).
Di hamparan tepi pantai Luwok, masyarakat Keleke membuat perkebunan sambil mencari ikan di tepi laut (1700-1860 M). Lama ke lamaan, perkebunan di Luwok semakin ramai didatangi para saudagar dari Bugis, Makassar, Buton, Raha, Gorontalo, Cina, Portugis, Spanyol, Belanda, Arab, Turki, dan lain sebagainya.
Di tepi pantai Luwok, mengalir Sungai Keleke, dimana sungai ini merupakan jalan utama masyarakat Keleke ke pantai Luwok.
Gelar pemimpin di Masyarakat Hukum Keleke (1700-1891), adalah sebagai berikut :
1. Mianututui (yang nyata-yang utama)
2. Bosanyo (yang besar)
3. Daka’nyo (yang besar, tapi di bawah bosanyo)
4. Tonggol (kepala Suku yang memerintah)
5. Langkai-langkai (orang-orang yang dituakan dalam masyarakat
6. Mianu Kopian (orang yang baik, pembawa damai dalam masyarakat).
Mianututui SULAA (1700-1770 M ), yang pertama kali membentuk perseketuan Keleke, Kele Sula sebagai pembesar pertama Keleke adalah keturunan Mangkin Piala, berasal dari batang malondo, anak-anaknya yang perempuan adalah kele Sulu, dan kele Bai’un serta kele Puha Mereka juga dikenal dengan julukan keturunan mianu keleke.
Mianututui Sula dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh seorang talenga yang bernama talenga Ohi Buanan Sampu’un atau yang dikenal dengan julukan talenga Janggo Pute (1700-1770 M), dari Mangkin Piala.
Penyebaran agama Islam di wilayah Keleke, sudah dimulai ketika Bosanyo Keleke berkuasa di pedalaman Gunung “W” Payosan, Keles, Tontoan, Tandos, Lumpoknya, dan Pinampong serta Mankin Piala, di bawah oleh guru agama dari Lolantang (1665). Hal ini ditandai dengan adanya kuburan tua di Payosan yang terukir dengan Bahasa Arab.
Adalah Imam DJALIYS, yang memperkenalkan ajaran Agama Islam di Keleke, ia masuk ke wilayah ini pada tahun 1735 M, dan mulai mengajarkan akidah Islam, dengan cara mengajarkan, pertama, membai’ait masyarakat Keleke masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat, kedua, mengajarkan tata cara ibadah Sholat, ketiga, mengajarkan tata cara menghitan secara Islam, keempat mengajarkan tata cara baca Al Qur’an, kelima mengajarkan tata cara memandikan mayit secara Islam, ke enam, mengajarkan tata cara pernikahan secara Islam ke tujuh, mengajarkan tata cara mengatur Pemerintahan secara Islam.
Imam Djaliys adalah cicit dari ratu Mapaang adik kandung dari raja Tompotika mianututui La Logani. Ratu Mapaang, diselamatkan oleh Panglima Perang Sultan Ternate Raden Cokro (1560), kemudian di bawah ke Lampa, Banggai dan diberikan kehormatan sebagai Paubabasal dan gelar Lipuadino. Ratu Mapaang menikah di Lolantang, dengan putra Puadino Lolantang (1585), dari pernikahan ini, melahirkan cicitnya bernama Djaliys. Kemudian, cicit putra Puadino bernama Imam Djaliys, diberikan kekuasaan memegang dua belas Kebasalonan Lolantang, termasuk Keleke, dan masuk dalam wilayah Kerajaan Banggai.
Imam Djaliys menikah dengan mianututui Bosanyo Keleke SULAA (1740), melahirkan anak-anaknya, yang kemudian diberi nama :
1. Sulu (P)
2. Bai’un (P)
3. Dahalan (L)
4. Laiti (L)
5. Puha (P)
Imam Djaliys, karena jabatannya sebagai Kepala Pemerintahan 12 (dua belas) Kabasalonan Lolantang, maka tugasnya bukan hanya di Keleke, tetapi beliau juga mempunyai amanah mengajarkan, membina dan berda’wah di kedua belas Kabasalonan itu.
Sepeninggal Imam Djaliys, mianututui Bosanyo Keleke Sulaa menikah kedua dengan se orang bangsawan Bugis yang datang ke Keleke, yaitu Dg. Ponik (1760 M). Dari pernikahan ini, melahirkan 2 (dua) anak kembar yang kemudian diberi nama, pertama Daud dan kedua Iki.
Setelah melahirkan anak-anaknya, Dg. Ponik meninggalkan Keleke, kembali ke Bone, Bugis. Tiga tahun kemudian, Dg. Ponik datang ke Keleke untuk melihat dan mengambil anak-anaknya untuk di bawah ke Bone, tetapi anak-anaknya tersebut disembunyikan, walhasil, Dg. Ponik kembali lagi ke kampung halamannya.
Kepemimpinan Masyarakat Hukum Keleke yang kedua di pimpin oleh Mianututui Bosanyo SULU (1775-1820 M).
Setelah dewasa, kai Daud dinikahkan dengan saudara tirinya Mianututui Bosanyo Sulu (1815 M) melahirkan anak-anaknya :
1. Siti (P)
2. Na’ima (P)
3. Sanang (P)
4. Lahanang (L)
5. Nendo (P)
6. Hamin (P)
Kele Siti Daud, tidak menikah dan tidak mempunyai keturunan, Kele Na’ima menikah dengan H.Nasir (Lambangan) di Soho, mempunyai anak-anak Juharia H.Nasir kawin dengan kai Umas (Ibu Kandung Murad U Nasir), Umura kawin dengan Sapia Ahmad di Soho, Alviah kawin dengan Himran (Ibu dan ayah kandung Arsad Himran), Muhammad kawin dengan anak Kapitan Laparege Laborahima Togian. Una-Una, Madjid kawin dengan putri keluarga Zaman (Lambangan), Haeria kawin dengan Lagona, Mansyur kawin dengan putri Bungawon, dan Rukiah tidak menikah.
Kele Sanang Daud kawin dengan Dg.Bado asal Goa, tidak mempunyai keturunan. Kai Lahanang menikah di Unjulan dan Biak, anak-anaknya antara lain, Samudin, dan Naharia.
Kele Nendo Daud menikah dengan bangsawan Pakistan Delwarkhan melahirkan putra bernama Anwar Delwarkhan dan putrinya Quraisya Delwarkan; Anwar menikah dengan Yusti Abbas di Bandung dan Quraisya menikah dengan Moh.Syarif (Ipoh) di Soho.
Kele Hamin Daud menikah dengan Dg.Sangkala Bundu Adele (putra dari Goa, keponakan Dg. Adele), melahirkan anaknya Hania dan Kamaria. Hania menikah dengan Djen Djalumang, (ibu dan ayah kandung penulis), Kamaria menikah dengan Saini Adam asal Gorontalo. Kele Hamin menikah kedua dengan Ibrahim Borahima (Kaili Donggala) melahirkan anaknya, Ece dan Adnan.
Saudara Kembar Daud, kele IKI menikah dengan kai DAYANUN di Mangkin Piala, melahirkan keturunan Tatu Dayanun, Pisang Dayanun, dan lainnya di Mangkin Piala, Keles, Simpoung, Jole, Dongkalan dan Soho, yang cucuk dan cicitnya menyebar di pelosok negeri ini.
Kepemimpinan Masyarakat Hukum Keleke ketiga, dipimpin oleh Mianututui Bosanyo BAI’UN (1820-1845 M). Dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh Tonggol Daud dan Tonggol Tumai Sahada.
Mianututui kele Bai’un menikah dengan kai Ahmad (1810 M) di Keleke melahirkan anak-anaknya sebagai berikut:
1. Djalud
2. Memo
3. Pinsan
4. Lino
5. Sampele
6. Kinii
7. Taguali
Anak pertama kai Djalud Ahmad setelah dewasa menikah dengan Simaa di Keleke, melahirkan anak-anaknya, pertama Sadali setelah dewasa Sadali menikah dengan Pisang Dayanun, melahirkan anak-anaknya pertama kele Mea menikah dengan Ismail Djamaluddin melahirkan anak-anaknya Salma, Hanapia, Sulaeman, Sabran, Sarbiah dan Nabawiyah serta Alwiyah, kedua kai Maladjo menikah dengan Mardia Enot melahirkan anak-anaknya Talha, Muhtar, Sanusi, Hurdin, Utari, Asma dan Fatma, ketiga kai Kaloso menikah dengan Wiya Musu melahirkan anak-anaknya Dahlan, Rohayati. Anak kai Djalud kedua adalah Ising, setelah dewasa kele Ising dinikahkan dengan Habib Ahmad Al Hasni, melahirkan anak-anaknya Abdul Kadir, Ibrahim dan Fatma. Anak kai Djalud ketiga adalah Moya, setelah dewasa dinikahkan dengan kai Makuraga, melahirkan anak-anaknya Abdul Latif, Saoda, Sunusi, dan Abd.Djabar. Anak kai Djalud keempat adalah Hebu, setelah dewasa dinikahkan dengan Saileng melahirkan anak-anaknya Maherniga, Nanang, Suud, Hamid, Ismail dan Muzna. Anak kelima kai Djalud adalah Mandi, yang mempunyai anak-anak Niba dan Dayoh.
Anak kedua kai Memo Ahmad setelah dewasa menikah dengan kele Saima di Kelele melahirkan anak-anaknya pertama Kasumba, setelah dewasa kele Kasumba menikah (I) dengan Nurdin melahirkan anaknya Yudia, kemudian setelah dewasa kele Yudia menikah dengan Ali Sahi melahirkan anak-anaknya Wahib, Aisa, Zulkarnaen, Azis, Aspia dan Rani; kele Kasumba menikah (II) dengan kai Pagatang melahirkan anak-anaknya Hawa, setelah dewasa kele Hj.Hawa menikah dengan H.Dg.Tjatjo, melahirkan anak-anaknya Baharia, Zulaiha, Baharudin, Tajuddin, Djono, Ati, Syarifudin dan Tini. Anak kai Memo kedua adalah kele Tandjak, setelah dewasa kele Tandjak (H.Nur) menikah dengan kai Dukong melahirkan anak-anaknya Aropa, Djanib, Madjid, Nuruwiyah, Nuridjah dan Djumar. Anak ketiga kai Memo Ahmad adalah Tasi, setelah dewasa kele Tasi (Hj.Arawiyah) menikah dengan kai Enot melahirkan anak-anaknya Djamila, Maryam, Mantasia menikah dengan Salehe Djalumang, melahirkan anak-anaknya Usman dan Syarif. Anak kai Memo Ahmad ketiga adalah Ipang, setelah dewasa kai Ipang (H.Nurdin) Ahmad menikah pertama dengan kele Besek, melahirkan Djahariah, menikah dengan kai Samang melahirkan anak-anaknya Yusira, Kamaruddin, Manuria, Sairang dan Arsad; kai Ipang Ahmad menikah kedua dengan kele Hapi melahirkan anaknya Alawiyah, menikah dengan Hasan Datu Adam melahirkan ana-anaknya Alfia, Usman, Sri Rahmi, Hikmawati, Adi Amran, Iriani, Rahmad, Lili Ernawati dan Budi. Anak kai Memo Ahmad ke lima adalah Todjong, seteleh dewasa kele Todjong menikah dengan kai Naida melahirkan anak-anaknya Yusuf, Harun, Hapid, Dula dan Muzna.
Anak ketika kai Pinsan Ahmad, setelah dewasa menikah dengan kele Saipi melahirkan anaknya pertama Sandili, setelah dewasa menikah dengan kele Iki melahirkan ana-anaknya Syamsudin, Hasyim, Harun, Nuraini, dan Muzakir, kedua Buna Ahmad menikah dengan Ngowa Mang melahirkan anaknya Djuhuriah dan Nuraini, ketiga Ali Ahmad menikah dengan Hadidjah Makmur melahirkan anak-anaknya Zainudin, Darmawati, Syaiful, Ilham, Hijrawati, Rasuna dan Ichsanuddin.
Anak keempat kele Lino Ahmad menikah pertama dengan kai Dalia melahirkan anak-anaknya, Latiang, menikah kedua dengan kai Taila melahirkan anak-anaknya Minyak, Ta’alek, Iki, Satanggi, Nenong, Toling menikah di Soho dengan Tatu Sibay melahirkan anak-anaknya Tika Sibay, Djar’un Sibay dan Asri Sibay, serta undeng.
Anak kelima kele Sampele Ahmad menikah dengan kai Bobung melahirkan ana-anaknya pertama Lolon, menikah dengan Kude melaharkan anaknya Telei, Mahasa, Alasa, Hapipa dan Sapiah menikah dengan Umura H.Nasir. kedua Lembasang menikah dengan kele Iki, melahirkan anaknya Ma’lum, Ridwan, Fatimah menikah dengan Lating Laiti dan Haoriah menikah dengan Harun K.Lubis. Anak berikutnya kele sampele Ahmad, H.Taher, Bidok, Geno, Walana, Sina dan Pelelan.
Anak keenam kele Kinii Ahmad menikah dengan kai Bukaka, melahirkan anak-anaknya Haimu, Hakimu dan Moni.
Anak ketujuh kai Taguali Ahmad menikah dengan kele Kensi melahirkan anaknya pertama Kima menikah dengan Basilang melahirkan anaknya Sia, Mukaram, dan Saleh, kedua Nanti menikah dengan Syak melahirkan anaknya Daipa, Hadoya, Kadaria, dan Sapia, ketiga Poma menikah dengan pertama Moyom kedua Satanggai dan ketiga Nana melahirkan anaknya Maad, menikah pertama dengan Mundjia Datu Adam melahirkan Rumaiyah dan Syamsurizal, Maad menikah kedua dengan Rosni al Bugis melahirkan anaknya Irpan. Saudara kandung Maad Poma yaitu Samaria menikah dengan Asri Sibay (adik Kandung Djarun Sibay) melahirkan anaknya Sahraen Sibay dan Zainudin Sibay. Anak kai Taguli ke empat kai Sani menikah dengan kele Malawa melahirkan anak-anaknya Zaman, Zamin, Nuriati, Nuridjah, Rohani dan Karim.
Putra Imam Djaliys, kai Dahalan, menikah dengan putri Keleke, melahirkan keturunan Dahalan di Keleke, antara lain kai Tatu, kai Mabulang, kai Masang, kai Talla, di Soho, Dongkalan, Biak, salah satu cicit-buyutnya, Marwan T.Dahalan.
Kepemimpinan Masyarakat Hukum Keleke ke empat, dipimpin oleh Mianututui Bosanyo LAITI (Tumai Sandakan) (1845-1855 M). Dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh Tonggol Kikian dan Tonggol Tumai Sahada, di Mangkin piala.
Putra Imam Djaliys, kai LAITI (Tumai Sandakan) menikah dengan putri dari Una-Una, Pasokan bernama kele Djiman melahirkan anak-anaknya sebagai berikut :
1. Malabang (L)
2. Djalumang (L)
3. Djaitang (L)
4. Opa (P)
5. Sapi/Djapi (L)
6. Sulapi (P)
7. Bebek (L)
8. Madeng (L)
Kai Malabang Laiti, setelah dewasa menikah di Asam Jawa-Soho melahirkan anaknya Tiliang, menikah di Dongkalan melahirkan anaknya Dayah, anak keduanya Lating menikah dengan Fatimah Lembang Sampele Ahmad, kai Malabang menikah di Nambo, melahirkan anak ketiga Mangedang, keempat Sohora dan kelima Rahim.
Kai Djalumang Laiti, menikah di Bowu, Dongkalan dengan kele Minyak Sapeo, melahirkan anak-anaknya Sapiah, menikah dengan Djaenang Sinukun melahirkan anaknya Thalib dan Djib, Salehe menikah dengan Maryama dan Mantasia Enot Tasi Ahmad melahirkan anaknya Usman dan Syarif, Djen menikah pertama dengan Sapiah Hajim (Bangga-Balantak) melahirkan anaknya Din, Ade dan Wahida, menikah kedua dengan Hania Daud (cicit kai Daud Keleke) di Soho melahirkan anaknya Djan, Maspa, Haryanto (penulis), Bahrin, Basri, Sukri, Fatma dan Hamzah, Lina menikah dengan Gaos Sandagang (Nambo) tidak ada keturunan, Deha menikah dengan Sanusi M.Ahmad melahirkan anaknya Nato dan Wana, Kahar menikah dengan Haya Nasir melahirkan anaknya Tung, Yati, dan Raden tidak menikah.
Kai Djaitang Laiti menikah di Simpong dengan kele Ngelop melahirkan anaknya bernama Saniang, kele Saniang menikah dengan kai Sadjo Matorang melahirkan Rusnia dan Rusnia dinikahkan dengan Dahlan Asagaf.
Kele Opa Laiti menikah pertama dengan kai Noni Dayanun di Simpong melahirkan anak-anaknya antara lain Azis Dayanun (ayah kandung Haris Dayanun), menikah kedua dengan putra Gorontalo Lakatu, melahirkan anaknya antara lain Tu’u.
Kai Sapi/Djapik Laiti, menikah di Nambo melahirkan anak-anak dan cucuknya, antara lain Murad Laiti.
Kele Sulapi Laiti, menikah di Simpong melahirkan anak-anknya, antara lain, Ani dan Bia
Kai Bebek Laiti, menikah di Simpong melahirkan anaknya, pertama mama Diman, kedua Arsad Laiti menikah di Simpoung melahirkan anak-anaknya antara lain Dakdin laiti, dan anak ketiga kai Bebek, Yonung Laiti di Maahas.
Kai Madeng menikah dengan kele Madina Budjang di Kintom melahirkan anak-anaknya, Sena, menikah dengan Pasman melahirkan anaknya antara lain Bahtiar Pasman dan Mida menikah dengan Madi Djafar melahirkan anaknya antara lain Udji dan Bambang.
Putri Imam Djaliys, kele Puha menikah pertama di Asam Jawa melahirkan anaknya antara lain, Anahan, dan Nonsi, kai Anahan menikah di Soho melahirkan anaknya antara lain Dake. Kele Puha menikah kedua di Asam Jawa melahirkan anak-anaknya antara lain Iki menikah dengan Lengkas melahirkan anak-anaknya Pon, Taha, dan lain sebagainya.
Cucu Imam Djaliys, kai Mabulang, setelah dewasa dinikahkan dengan putri Keleke, melahirkan putranya bernama Mabuhain. Setelah dewasa, putranya ini menikah lagi di Keleke, melahirkan anak bernama Hamos dan Haliang. Setelah dewasa, kai Hamos menikah di Jole, dan kele Haliang menikah dengan kai Siradjuddin Datu Adam di Asam Jawa-Soho.
Kepemimpinan Masyarakat Hukum Keleke ke lima, dipimpin oleh Bosanyo MABULANG (1855-1870 M), Dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh Tonggol Talla dan Tonggol Djafili.
Kepemimpinan Masyarakat Hukum Keleke ke enam, dipimpin oleh Bosanyo MABUHAIN (1870-1900 M). Dalam menjalankan tugasnya, dibantu oleh Tonggol Talla dan Tonggol Djafili. Bosanyo Mabuhain merupakan pemimpin Keleke terakhir di pedelaman, karena pada tahun 1901, masyarakat Keleke di pindahkan ke Luwuk, dan membentuk Kampung Asam Jawa (asrama Kodim sekarang).
Talenga Keleke :
Tepatnya di perkampungan Subulon dan Papilon (Asrama Polres dan Persibal sekarang), hidup se orang pemuda, sudah berumah tangga, yang tegar, keras, pemberani, namanya, Poma (1880 M), cucuk kai Ahmad.
Ketika, pasukan Tobelo berlabu di pantai Luwuk, pemuda POMA sudah mempersiapkan untuk menghadapi satu pasukan kapal Tobelo lengkap dengan persenjataannya. Sebelum ia menghadapi pasukan Tobelo, ia kemudian berfikir, “kalau saya tidak mengamankan anak-istri saya, maka ketika saya mati, anak dan istri saya akan dibantai oleh Tobelo”, alkisah, kemudian Talenga Poma membunuh anak-anak dan istrinya, setelah itu, ia berhadapan dengan pasukan Tobelo, dengan kekuatan yang luar biasa, dan kemampuan perang sendiri, alhasil, Poma dapat menghancurkan seluruh pasukan Tobelo tanpa bekas. Setelah perang usai, ia kemudian termenung, dan sedih, betapa tidak, yang tadinya ia berfikir akan kalah perang dengan pasukan Tobelo, ternyata diluar dugaannya, bahwa ia memenangkan pertarungan itu. Merasa ia sendiri, dan tidak ada lagi istri dan anak-anaknya, maka ia mengambil keputusan untuk mengikuti jejak istri dan anak-anaknya, dengan ia mengayunkan parang kelehernya, dan kemudian Talenga Poma meninggal dunia menyusul anak-anak dan istrinya.
Tandos merupakan bagian dari wilayah Keleke, pada zamannya pernah ada se orang pahlawan yang berjuang melawan serangan pasukan Tobelo, yaitu talenga Tandos bernama Banggi (1885 M), asal-usulnya dari Kamumu bergelar mian matangkas atau julukan populernya Loinang matangkas, keturunan dari Inetes, Lingketeng. Talenga Banggi sangat disegani oleh pasukan Tobelo, karena mereka dapat dihancurkan oleh Banggai.
Di Tombang pernah ada seorang ahli perang dengan senjata sumpit, yaitu bernama Kandepo dan Bausun (1889 M), mereka sangat disegani tentara Tobelo, karena senjata perangnya dapat menghancurkan tentara musuh. Talenga Kandepo di akhir hayatnya memberi nasihat kepada anak-anaknya “tidak ada yang saya berikan kepada anak-anakku, saya tidak mempunyai harta kekayaan, yang ada padaku, kalau diberi kepada orang ia tidak akan menerimanya dan kalau saya buang orang tidak akan memungutnya, hartaku hanyalah Dua Kalimah Syahadah.” Inilah harta kekayaanku yang saya amanatkan kepada anak-anakkku dan cucuk-cucukku untuk dipegang teguh sampai akhir hayat nanti. Talenga Kandepo dikuburkan di Kampung Tombang yang nerdekatan dengan Desa Poh.
Di antara perkampungan Tandos dan Lumpoknyo, juga terdapat dusun bernama Tanai. Kisahnya sebagai berikut, pada saat terjadi perang pasukan Tobelo dengan pasukan raja Banggai Agama, salah se orang pasukan Tobelo membelot, dan lari ke Tandos, ia kemudian menjadi warga Tandos dan kawin di negeri ini. Karena sudah menjadi warga dan sudah mempunyai keturunan di Tandos, maka iapun mempuyai tanggung jawab mempertahankan negeri Keleke dari serangan Tobelo. Suatu ketika, pasukan Tobelo masuk ke Tandos, melalui pantai Luwok, melihat pasukan yang begitu banyak, maka ia tampil bersama anaknya Jampangi, menghadang serangan musu di Tanai. Musuh pasukan Tobelo hancur, dan kembali ke pesisir pantai Luwok, talengan Tanai dan anaknya meninggal dalam pertempuran itu, oleh warga Tandos dan Lumpoknyo belia diberi gelar Talenga Tumai Sahada (1890 M).
Di Kilongan juga terdapat se orang pahlawan yang disebut talenga BONGON (1890 M), yang pernah menghancurkan sebuah armada Tobelo tanpa tersisakan, dan perahu musuh terkubur di lautan. Siasat perangnya sebagai berikut, ketika pasukan musu mendekati pantai, talenga Bongon menyimpan alat perangnya yang bernama SONDI didalam pasir – sehingga terlihat oleh musuh tidak bersenjata, tetapi talenga Bongon mondar-mandir disekitar senjatanya yang tertimbun pasir, dan setelah musu mendarat, ia mengambil senjatanya Sondi, merusak perahu secara total, dan melayani musunya satu persatu, musu itu tidak ada yang lolos dan terkubur di situ, inilah asal-usul nama lokasi Lamunan yang terletak di desa Biak.
Pejuang dari wilayah Keleke lainnya, misalnya pertama Tumai Sauna, asal Keles (anaknya bernama Sauna, keterunanannya sebagian besar tinggal di Soho, Dongkalan, Bantayan dan Hunduhon), kedua Tumai Labulang, asal Mangkin Piala (anaknya bernama Labulang, keturunannya sebagian besar tinggal di Dongkalan, Soho, Bantayan, Hunduhon, Biak dan Jole serta Simpoung). Mereka melakuan perlawanan terhadap pasukan Tobelo dan Ternate yang masuk ke wilayah Keleke di masa raja Banggai H. Abd. Azis, serta melawah kolonialisme Belanda, pada awal tahun 1900 M.
Tumai Sauna, dalam perang melawan pasukan Tobelo (1898 M), menyusun perang sebagai berikut, wilayah pertahanannya di Keles, dan wilayah perang di Papilon (Soho, sekarang), pada saat pasukan Tobelo mendarat di Luwok (teluk), ia sudah mempersiapkan bangko (parang) yang sudah di asa ber bulan-bulan, tumai Sauna, dengan gerakan terbang membabat habis satu armada pasukan Tobelo, dengan teriakan dan semboyannya terkenal “kendati” (perang hidup atau mati), sehingga wilayah ini terkenal dengan nama “kandati” (sekarang Soho Masjid Al Hikmah, Polres, rumah Kapolres, rumah sakit tua).
Tumai Labulang, dalam perang menghadapi pasukan Tobelo (1895 M), dengan pertahan di Mangkin Piala (Tontouan), dan perang terjadi di wilayah Bowu, Mangkio. Tumai Labulang melakukan perlawanan dengan senjata parang dan sumpit, pasukan Tobelo tidak dapat masuk ke wilayah Maangkin Piala, karena perlawanan phisik yang dilakukan tumai Saunan, dan Tobelo kembali, mundur dengan sisa pasukannya.
Perlawanan talenga mianu Keleke dilakukan oleh individu, per orangan, tetapi oleh pihak musuh di lihat sangat “banyak”, karena bantuan leluhur untuk menjaga wilayah ini dari serangan musuh. Dalam sejarah peperangan pasukan Tobelo di Keleke, tidak pernah menang dan sampai ke pedelapan mianu Keleke, mangkin piala, Lumpoknyo, Tandos, Tombang dan Keles serta Tontouan.
Tradisi Masyarakat Keleke:
Sebelum ajaran, Islam Masuk, pada awal tahun 1600 M. Masyarakat Keleke menganut kepercayaan “gaib”, di tepi Luwok (teluk), masuk ke kebun bakau (sekarang Lalong), terdapat sebuah bangunan tua, namanya Gusali Bungin. Bangunan ini, mengisahkan sebuah cerita seorang Srikandi bernama Bungalim, oleh masyarakat Keleke mempercainyai sebagai sosok “gaib” yang menjadi penjaga negeri ini dari serangan musuh. “Ia mempunyai kesaktian luar biasa, dan karenya negeri ini aman sentosa”, ungkap Moh.Syafrin Abdullah, tokoh adat Lolantang di Soho pada penulis.
Setiap tahun masyarakat Keleke pergi ke Luwok (teluk) untuk berdo’a ditempat ini, kusali Bungin. Kusali ini, mengishkan sebuah cerita bahwa, apabila tidak dilakukan upacara do’a di Bungin, maka setiap tahun Luwok (teluk) selalu mengambil “tumbal”. Cerita lain, kusali Bungin di Luwok, setiap tahunnya banyak dikunjungi anak-anak, seperti adanya magnet, daya tarik.
Di sebelah kusali Bungin, juga terdapat “Kota Tua” yang bernama Tambun. Kota ini tersusun oleh batu-batuan peninggalan zaman Majapahit, terletak di Tanjung. Cerita lain mengisahkan bahwa, kusali Bungin, kota tua Tambun dan Keleke mempunyai hubungan erat dengan kerajaan “Tompotika.”
Dalam perjalan miannu Keleke, mereka selalu menggunakan bahasa Saluan yang bersifat khusus, atau disebut bahasa Hohoo, misalnya kalau masuk didalam hutan menyebut nama parang= bangko harus di sebut dengan bahasa asli emmban, demikian juga kalau mengucapkan garam = timuson di dalam hutan menyebut an Te tee, demikin pula kalau kita menyebut nama macis = solo, di dalam hutan menyebut Pootinding, dan kalaau kita menyebut tembakau= tigo maka di dalam hutan menyebut luumut. Bahasa saluan Keleke yang sudah masuk wilayah pantai atau perkampungan di tepi pantai mereka mempergunakan bahasa saluan se hari-harinya, yaitu bahasa Laala.
Masyarakat Keleke, dalam kehidupannya, bertetangga dengan masyarakat mianu ineters, Lingketeng. Dalam kehidupan mianu inetes Lingketeng, kalau seseorang meninggal, sebelum dikuburkan diwajibkan untuk mencari tumbal warga lain di luar inetes Lingketeng. Tumbal manusia ini dikuburkan bersama-sama dengan warga inetes Lingketeng yang meninggal. Walhasil, Daka’nyo Inetes memerintahkan warganya untuk mencari tumbal warga di tempat lain, warga tersebut tiba di wilayah Keleke, dan terjadilah perang di wilayah Keleke, akhirnya warga inetes tersebut kalah, dan kemudian ditangkap, diikat disebuah kayu besar, warga inetes tersebut di intoregasi apa maksud dan tujuannya masuk ke wilayah Keleke, ia menjelaskan sebagaimana tersebut atas. Mengetahui maksud dan tujuannya masuk ke wilayah Keleke, warga inetes ini digaruk sekujur tubuhnya, dan dicabuti bulu-bulu badannya, kemudian di lepas oleh warga Keleke, dan sebelum dikembalikan ke inetes, Daka’nyo Keleke berpesan “jangan mengulangi perbuatan yang tidak baik itu, dan jangan masuk ke wilayah Keleke dengan membawah permusuhan, sampaikan berita ini kepada Daka’nyo inetes Lingketeng,” warga inetes inipun kembali ke Lingketeng. Sesampai di inetes Lingketeng, ia menceritakan kejadian yang di alami ketika masuk ke wilayah Keleke, ia berkata “boli minsob hi hunian minu Keleke, aha manjo utus ise ka utus daka mahan kalibosi (jangan masuk di wilayah orang Keleke, mereka banyak sekali, saudara yang kecil dan saudara yang besar saling kasih sayang)” mendengar kejadian yang dialami warganya, kemudian Daka’nyo Inetes Lingketeng memerantahkan warganya untuk tidak mencari tumbal lagi ke negeri orang lain, dan Daka’nyo Inetes membangun kerjasma dengan Daka’nyo Keleke, mereka selalu bertukar hasil bumi, misalnya lilin dan kaukus.
Peristiwa warga inetes Lingketeng masuk ke wilayah Keleke tersebut diatas, terjadi pada tahun 1778 M. Dimana minututui Daka’nyo Mabulang memimpin Keleke, memberi kesan bahwa, masyarakat Keleke telah bersikap maju dalam mengambil keputusan hukum warga, dengan tidak memvonis secara “mati”, tetapi di cari sebab-musabab masuknya ke wilayah Keleke, dan diberi pendidikan “pidana badan” atas perbuatannya memasuki wilayah Keleke. Melepas kembali warga inetes kembali ke Lingketeng untuk menyampaikan pesan-pesan “perdamaian” dan pesan-pesan “pendidikan”, agar perbuatan itu jangan di ulang kembali di wilayah Keleke, membuat Daka’nyo Inetes Lingketeng mianututui Daka’nyo Tongkoi, kemudian bersikap “toleran” dan membangun kerjasama yang baik dengan masyarakat Keleke, suatu keputusn “demokrasi” yang bijak telah lahir ratusan tahun di pedelaman mianu tutui Keleke dan mianu tutui Loinang Inetes, Lingketeng.
3.4. Kampung Asam Jawa
Keturunan persekutuan Keleke, mengembangkan wilayahnya ke pesisir pantai yang mereka namakan Luwok (teluk), pengembangan wilayah ini merupakan sebuah “sikap dan niat” warga Keleke untuk lebih berkomunikasi dengan masyarakat lain yang lebih terbuka, serta untuk membangun negeri Luwok yang demokrasi dan bersahaja, dengan tetap menjujung tinggi nilai-nilai budaya leluhurnya.
Ibu Kota Keleke Pahyosan kemudian dipindahkan serta dikembangkan ke arah pemukiman di tepi pantai Luwok, kampung Asam Jawa (asrama Kodim sekarang), dan berubah namanya menjadi Asam Jawa (1901), pelabuhannya bernama Luwok.
Pemindahan Keleke ke tepi pantai Luwok, menjadi Kampung Asam Jawa, dibawah pimpinan Kepala Kampung Toansi Pauh (1901), dibantu oleh perangkat adat Keleke, kai Mabulang, kai Mabuhain, kai Anahan, kai Talla, kai Masang, kai Djafili, kai Daud, kai Tatu Sibay, kai Lengkas serta masyarakat Keleke itu sendiri.
Pemindahan ibu Kota Keleke dari Pahosan ke Asam Jawa (Luwok), pertama, untuk mempermudah komunikasi dengan masyarakat sesama etnis Saluan Keleke dengan etnis lain yang datang di Keleke Luwok, kedua, mempermudah pengaturan pembayaran “huhuk“ (pajak) kepada pemerintah kerajaan Banggai di Banggai, dan ketiga, memperluas wilayah Keleke ke arah Luwok (teluk), ungkap Djar’un Sibay, tokoh dan sesepuh masyarakat adat Luwok pada penulis.
Di wilayah Asam Jawa, Luwok dibangun perkampungan baru sebagai dusun, dengan batas-batasnya adalah sebagai berikut; Mangkio, dan Pepelon Subuhon (Bagian Barat); Kolopisok, Dongkalan, Kayu Ketapang (Sebelah Selatan); Sungai Keleke (Sebelah Utara); dan Sungai Keleke (Sebelah Timur).
Kepala Kampung Asam Jawa Toansi Pauh (1901-1926 M)
Wilayah kekuasaan Tandos, Lumpo’nyo, Keles, Boyou dan Tontouwan, wilayah ini dipimpin oleh masing-masing juru tulis. Tandos dipimpin oleh Tiadja, Lumpo’nyo oleh Ndoa, Keles oleh Podung, Boyou oleh Mabing. Sedangkan dusun yang terbentuk di Asam Jawa adalah Pepelon-Subuhon (Asrama Polres-lapangan persibal sekarang), Mangkio, Kolopisok (pertokoan sekarang), Kendati dan Supak serta Bowu.
Wilayah Kampung Asam Jawa di Luwok (1901-1926), telah menjadi pusat perdagangan, antar sesama etnis Saluan, Balantak, Banggai dan sesama etnis dari luar, seperti Bugis, Makassar, Banjar, Gorontalo, Jawa, Buton, Cina, Arab, Portugis, Turki, Belanda, Jepang, Filipina dan lain sebagainya, mereka mengenalnya dengan nama “Luwok.”
Keturunan Kele Sulu, kai Ahmad, kai Dahalan, kai Laiti, dan kele Puha, membuat perkampungan baru di Luwok, seperti kai Laiti (tumai sandakan) menurunkan masyarakat Mangkinpiala di Hanga-Hanga dan di Tontouan, serta Simpoung dan Jole, mereka adalah kai Dayanun, kai Malabang, kai Djalumang, kai Djaitang, kele Mangedang, kai Sapik/Japi, kele Sulapa, kai Madeng Laiti, dan kai Dayanun, kai Sahada, kai Kubin, kai Molintas, kai Katib, kai Budahu, kai Hipan serta yang lainnya.
Kai Djalud Ahmad, kai Memo Ahmad, kai Pinsan Ahmad dan keturunannya membangun Mangkio, Supak, Bowu dan Dongkalan, demikian pula anak-anak dan cucuk-cucuk kai Lino Ahmad, kai Sampele Ahmad dan kele Kinii Ahmad, serta kele Taguali Ahmad, membangun perkampungan Asam Jawa dan Soho, mereka adalah kai Maladjo Ahmad, kai Kaloso Ahmad, kele Ising Ahmad, kele Moya Ahmad, kai Hebu Ahmad, kele Kasumba Ahmad, kele Tasi Ahmad, kai Ipang Ahmad, kele Todjang Ahmad, kai Sandili Ahmad, kai Buna Ahmad, kai Ali Ahmad, kai Latiang Ahmad, kai Ta’alek Ahmad, kele Toling Ahmad, kele Telei Ahmad, kai Kima Ahmad, kai Yusuf Naida Ahmad, kai Poma Ahmad, dan kai Sinukun, kai Sapeo, kai Ipung Mang, kai Makmur, kai Enot, kai Datu Adam, kai Lamala Lalusu, kai Abdulah H.Kasim, kai Abd.Gani, kai Man Djibran, kai H.Tjatjo, serta yang lainnya.
Keturunan kai Dahalan dan kele Puha , membangun perkampungan Lumpoknyo, Tombang, Tontouan, Hanga-Hanga, Tandos, Keles dan Asam Jawa serta Soho, mereka adalah kai Mabulang, kai Mabuhain, kai Tatu, kai Talla, kai Djafili, kai Anahan, kai Masang, kai Nonsi, kai Aimang, kai Ndoa, kai Lengkas, kai Tatu Sibay dan kai Lagandja, kai Labohari, kai Marsonji, kai Adele, kai Ngadimin, kai Latu Sadalia, kai H.Dahlan, kai H.Nasir, kai Himran, kai Mustafa Mang, kai Kandepo, kai Bausun, kai Molintas, kai Ndja, serta yang lainnya.
Pada saat kerajaan Banggai dipimpin raja H.Abdurrahman, Pemerintahan Hindia Belanda masuk ke wilayah kerajaan Banggai (1906), setelah melakukan perlawanan dengan rakyat kerajaan Banggai bangsa Belanda kemudian menguasai seluruh wilayah kerajaan Banggai (1908), dan pada tahun 1908 kerajaan Banggai lepas dari kesultanan Ternate dan di bawah kekuasaan bangsa Belanda, hal tersebut di tandai dengan bersedianya raja Banggai H.Abdurrahman pada tanggal 1 April 1908 menandatangani Korte Verklaring (Pelakat Pendek) dengan pemerintah Hindia Belanda Kapten A.R. Cherissen di Banggai yang kemudian mendapat status wilayah sebagai Zelfbestuurrende lansdchappen (daerah-daerah yang mempunyai pemerintahan sendiri), yang antara lain isinya, “kerajaan Banggai untuk mengakui kekuasaan Belanda terhadap dirinya dan berjanji akan menaati segenap peraturan yang akan di tetapkan oleh Belanda.”
Dengan berkuasanya Pemerintah Hindia Belanda di wilayah kerajaan Banggai, maka raja Banggai ke-XXX H.Abdurrahman memerintahkan agar Kepala Kampung Toansi Pauh, untuk membantu pemerintahan Hindia Belanda membangun tangsi militer Belanda, tarunggu (penjara), kantor Hindia Belanda, rumah Dokter, rumah sakit, rumah Afdeling Banggai di Luwok, untuk berkantornya, Afdeling Oostkust van Celebes (Pantai Timur Sulawesi), berkedudukan di Luwuk (Staatsblad no. 367, tahun 1907 M).
Pada tahun 1911 M, Hindia Belanda memindahkan Afdeling Pantai Timur Sulawesi ke Bau-bau (Staatsblad no. 605).
Pada Tahun 1924 Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Staatblad Nomor 365, yang isinya daerah kekuasaan Sulawesi Tengah di pusatkan pemerintahannya, yaitu masuk wilayah kekuasaan Keresidenan Manado dan berkedudukan di Manado. Keresidenan Manado terbagi dua wilayah Afdeling, pertama Afdeling Donggala, berkedudukan di Donggala, dengan wilayah-wilayah kekuasaan Onderafdeling Donggala, Onderafdeling Palu, dan Onderafdeling Toli-Toli, dan kedua Afdeling Poso berkedudukan di Poso, dengan wilayah-wilayah kekuasaan Onderafdeling Poso, Onderafdeling Parigi, Onderafdeling Kolonodale, dan Onderafdeling Banggai, berkedudukan di Luwuk.
Kepala Kampung Asam Jawa Toansi Pauh memerintahkan warganya untuk memindahkan perkampungan Asam Jawa (asrama kodim sekarang) ke arah Kandati, dengan cara “ di Soho-sohongi “ (dipercepat), sehingga nama perkampungan baru ini, dikenal dengan nama Soho. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1919 M.
Setelah rampung pemidahan Kampung Asam Jawa ke Soho, Kepala Kampung Asam Jawa Toansi Pauh masih memerintah, sampai tahun 1926.
Dimasa pemerintahan Kepala Kampung Asam Jawa-Soho, Toansi Pauh, di Luwuk (1915-1926) telah terbangun bangunan Pemerintah Hindia Belanda sebagai berikut :
Rumah Kapten Van Beek, Hindia Belanda, Rumah perwira Hindia Belanda, Tangsi Militer Belanda, Tangsi Penjagaan, Rumah Perwira, Gereja Katholik, Rumah Pandeta Belanda, Rumah Kontroleur, Rumah Pemerintah, Kantor Kontroleur, Kantor Raja Bangga, Kantor Pemerintah HB, Rumah Pendeta Baars, Pesanggrahan HB, Rumah Dinas Mayor Ngopa , Penjara (Tarunggu) HB, Rumah Kapitan Laut , Rumah Sakit, Rumah Suster RS, Rumah Dokter Belanda, Sekola Agama Islam
Masjid Al Hikma Soho, Pertokoan, Sumber Air (Bak) Bou dan Air Keleke, Rumah Raja Banggai, Rumah Kepala Kampung Toansi Pauh, Lapangan Tembak, Kuburan (soho), Pasar Tua, Pabuhan Kapal (Luwok), Doane, Kentraan (permandian), Cagar Budaya, Sekolah Rakyat (SDN I) Luwuk.
Kepala Kampung Soho Anahan (1926-1963)
Pada akhir tahun, Desember 1926, para tua-tua adat Keleke - Asam Jawa melaksanakan musyawarah, menentukan nama kampung dan memilih Kepala Kampung, yang hadir tua-tua adat, antara lain, kai Anahan, kai Toansi Pauh, kai Malabang Laiti, kai Lengkas, kai Aimang, kai Talla, kai Djafili, kai Masang, kai Adele, kai Ngadimin, kai Ndoa, kai Tiadja, kai Siradjudin Datu Adam, kai Tatu Sibay, mereka memutuskan nama kampung baru, SOHO dan mengangkat mengukuhkan Kepala Kampung Soho, Anahan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Kampung Soho Anahan di bantu oleh Juru Tulis Massang dan Talla, untuk Lumpoknyo Ndoa, Tandos Tiadja, Tontouan T.Molintas.
Wilayah Kampung Soho tahun 1926-1963, sebelah Utara dari asrama Kodim, atau disebut sungai Keleke, sebelah Timur, berbatasan dengan Kolopisok (pertokoan sampai batas rumah Dg.Palli), Dongkalan, sebelah Barat berbatasan dengan BoWu, dan Mangkio Dongkalan dan sebalah Selatan dengan Selat Peling.
Nama-nama Dusun di Kampung Soho, adalah Kandati (pusat pemerintahan), Subuhun Pepelon (dari pekuburan, asrama Polres, dan Persibal), dan kolopisok (pertokoan), Gusali Bungin (pasar tua) serta Supak (toko Obat Sehat-Alhaerat).
Pemerintah Hindia Belanda telah membangun rumah dan pusat pemerintahannya (1926-1942), di wilayah Kampung Soho, Luwuk adalah sebagai berikut, Rumah KeluargaToansi Pauh, Rumah Keluarga Anahan, Rumah Keluarga kai Ahmad, Rumah Keluarga kai Daud, Rumah Keluarga kai Lengkas, Rumah Keluarga kai Talla, Rumah Keluarga kai Malabang Laiti, Rumah Keluarga kai Tatu Sibay, Rumah Keluarga MS.Madjuki, Rumah Keluarga H.Nasir, Rumah Keluarga H.Dahlan, Rumah Keluarga S. Datu Adam, Rumah Keluarga Adele, Masjid Al Hikmah Soho, Raja Banggai, Kantor Raja Banggai, Rumah Kontroler Belanda, Rumah Pdt.Tumbelaka, Rumah Belanda Dr.Bakker, Rumad Dr. Liem (Anuranta), Kanor Pos, Tarunggu/Penjara, Rumah Legoh, Rumah Sapulete, Rumah K.J. Rorimpandey, Rumah M.H.Wauranagahi, Kantor Kontrole Belanda, Rumah Keluarga Tumbingo, Rumah Keluarga Paad, Pasar Tua, Toko Salim Bakar (Arab), Toko Ali Durmeis (Turki), Toko Tjap Li (Cina), Rumah Belanda Dr.Merlever, Rumah Belanda Dr.Roitselaar, Rumah Dr.Soetarjo, Rumah Go Si Ing, Rumah Teng Giok Sui Nio, Rumah Djaksa Lolong, Rumah Djaksa Ruitensulu, Rumah Keluarga Ponto, Rumah Keluarga D. Kutika, Rumah Keluarga Mantiri, Rumah Keluarga Saharibun, Rumah Keluarga Langendon, Kantor Ken Kanrikan Komia Jepang, Rumah Bunken Kanrikan Sazuki Jepang, Rumah Kai Satsu Sakuda Jepang, Masjid Mutahida Dongkalan, Sekolah Rakyat Luwuk (SDN II), SMP Islam Luwuk, SMA Luwuk, Sekolah GKLB.
Para tokoh Agama Islam di Kampung Soho-Dongkalan, Luwuk, antara lain adalah, Imam Talla, Jibuuna Kamagi, Sandili Ahmad, Imam Marege Adel, Imam Siradjuddin Datu Adam, dan yang lainnya.
Para tokoh Agama Kristen di Kampung Soho-Dongkalan, Luwuk adalah Tumbelaka, Tumakaka, Mantiri, Saharibun, Legoh, Paad, Lolong, D. Kutika, dan Makangiras serta yang lainnya.
Tokoh pendidikan di Kampung Soho-Dongkalan, Luwuk adalah W. Monginsidi, Ngadimin, Ahmad Mile, M.H. Wauranagahi, AL. Legoh, D. Kutika, Driwarsito, Jan Posumah, Jan Walalangi, Djen Djalumang, Kas Ngongo, Husin Latiang, dan yang lainnya.
Kepala Desa Soho Dake Anahan (1964-1978)
Kepala Desa Soho Dake Anahan, dalam menjalankan pemerintahan, dibantu oleh Jurutulis Desa Rusdin Lengkas, dengan pembantu-pembantu adalah, Dachlan Lagandja, Umi Mandapoe, Saadin Lumu dan Umara Djafar.
Pada saat Dake Anahan memerintah Desa Soho, di Luwuk telah terbentuk Desa Dongkalan (1963), Desa Simpong (1963), Desa Bungin (1964), Desa Maahas (1965), Desa Hanga-Hanga (1978), Desa Lumpoknyo (1978), dan Desa Tontouan (1979).
Pada masa pemerintahan Dake Anahan, Soho di mekarkan menjadi Kampung Bungin dengan menyerahkan asset wilayah kepada warga Gorontalo yang diwakili oleh Tumbingo, temei Bakari, temei Ali, temei Taha Monti, temei Ruga dan temei Aisari (J.Hubu), pada tahun 1964.
Kepala Desa Soho Rusdin Lengkas (1978 – 1979)
Kades Soho Rusdin Lengkas dalam menjalankan Pemerintahan Desa Soho dibantu oleh jurutulis Mar’un Mandapoe, dengan pembantunya adalah Dachlan Lagandja, Umi Mandapoe, Saadin Lumu dan Umara Djafar.
Pada saat Kades Soho Rusdin Lengkas, penataan para Imam di wilayah ini sudah semakin baik, yaitu adanya Imam tetap Masjid Al Hikmah Soho .Suratman Hanafi, Khatib Minggu Sarpa, H.Latiang, Hasan Djahun, Marwan T.Dahlan, dan Doja Marsonji.
Taman Pengajian juga telah di buka pada saat Pemerintahan Rusdin Lengkas, yang dipimpin oleh Ustadz Umpang Aimang, sehingga anak-anak di Soho dapat mengerti baca tulis Al Qur’an.
Kepala Desa Soho La Bohari (1979-1981)
Kades Soho La Bohari dalam menjalankan Pemerintahan Desa Soho dibantu oleh jurutulis Mar’un Mandapoe, dengan pembantunya adalah Dachlan Lagandja, Umi Mandapoe, Saadin Lumu dan Umara Djafar.
Kades Soho La Bohari adalah Kades terakhir memimpin wilayah tertua di Kota Luwuk ini, karena pada tahun 1981, Desa Soho naik statusnya menjadi Kelurahan Soho.
Sesuai amanat Peraturan Daerah Kabupaten Banggai, maka Desa Soho menjadi Kelurahan pada tanggal 1 Januari 1981, dengan Lurahnya masing-masing di bawah ini : Lurah Soho, Ibrahim Datu Adam (1980-1984), Lurah Soho, Arifin Masang (1984-1988), Lurah Soho, Rusli Lengkas (1988-1990), Lurah Soho, Rianto Lanipi (1990-1992), Lurah Soho, Djado T.Mabing (1992-1994), Lurah Soho, Burhaman Rauntu (1994-1998), Lurah Soho Rahma Djibran (1998-1999), Lurah Soho Usmar Mangantjo (1999-2000), Lurah Soho, M.Ikhsan Panrely (2000-2002), Lurah Soho Hj.Maspa Djalumang (2002-2007), Lurah Soho Fatimah Boften (2007-2010), Lurah Soho Risnandar Mahiwa (2010-2011), pada masa Lurah Risnandar Mahiwa, Kelurahan Soho dimekarkan menjadi Kelurahan Keleke, dan Lurah Soho (plt) Hj.Ima Rahim (2012) serta Lurah Soho Hj. Sriwahyuningsih (2013).
Luas Kelurahan Soho (sesudah pemekaran), 1,26 Km2, dengan jumlah penduduk 2.474 Jiwa (2010), sedangkan Jumlah penduduk Kelurahan Kelele 2.174 jiwa (2010), dengan luas wilayah 1,04 Km2. Kedua Kelurahan ini masuk dalam wilayah Kota Luwuk, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
3.6. Kampung Dongkalan
Kampung Dongkalan pertama kali terbentuk pada tahun 1925, dengan dimualainya pembangunan perumahan pertama di BoWu dan Supak serta Kolopisok (pertokoan), oleh keluarga besar Ahmad, Sinukun, Sapeo, Enot, Malabang, Djalumang, Makmur, Banggu, Nasir, dan keluarga besar Datu Adam, Mang, Lalusu, Mile, Dj.N. Agama, Djibran, Abd.Gani, Abdulah H.Kasim, Larekeng, Matorang, Gela, dan Dg. Palli, H.Tjatjo, H.Thalib, serta yang lainnya.
Kampung Dongkalan, begitulah sebutan wilayah itu beberapa puluh tahun silam, seiring perkembangan statusnya berubah mulai dari Desa Dongkalan hingga menjadi Kelurahan Luwuk. Belakangan lahir keinginan agar nama Dongkalan tersebut dikembalikan.
Dongkalan diambil dari Nama Buah Bentuknya kecil dan ringan. Pohonya tidak tumbuh secara meninggi, melainkan melebar. Uniknya, pohon yang dijadikan hiasan rumah itu, hanya satu tumbuh pada satu wilayah saja.wargapun terinpirasi sehingga memberi nama kampong Dongkalan.
Kini pohon dan buah tersebut tak dapat dijumpai lagi diwilayah ini, kata Fatma Mang ketika berbincang bincang dengan wartawan dikediamannya belum lama ini.
Ta’Onteng sapaan akrap Fatma Mang (almh), mengaku tak begitu ingat kapan pertama kali Kampung Dongkalan dicetus.
Saya tak ingat lagi, kapan diberinama kampong Dongkalan, tapi yang pasti sebelum diberinama Kelurahan Luwuk, namanya Kampung Dongkalan, kata Ta’Onteng.
Selain Soho dan Simpong, Dongkalan termasuk wilayah tertua dikecamatan Luwuk. sebelum terjadi pemekaran, Dongkalan memiliki cakupan wilayah yang luas. Wilayah yang masuk Dongkalan yakni Kelurahan Baru ( Kini mekar lagi dengan nama Kelurahan Mangkio Baru ).
Berdasarkan historis, penyebutan kampong Dongkalan sudah ada sejak zaman Swapraja Banggai, hingga terbentuknya Kabupaten Banggai berdasarkan Undang-Undang No.29 Thn 1959 tentang pembentukan daerah-daerah Tkt II di Sulawesi.
Ditahun 1979 lahir Undang-Undang No. 5 tentang pemerintahan Desa. Regulasi inilah yang memaksa, ‘ terjadi perubahan dari Kampung Dongkalan menjadi Desa Dongkalan. Tiga Tahun kemudian atau tepatnya 1982, Desa Dongkalan kembali berubah menjadi Kelurahan Luwuk. Ada alasan sehingga memilih Nama Luwuk. Karena diambil dari bahasa Saluan dengan sebutan Luok (teluk).
Haji Kaelo Sinukun adalah kepala Kampung Dongkalan pertama. Dia menjabat selama 16 Tahun, yakni mulai Tahun 1940 sampai dengan 1956. Kepala Kampung Dongkalan berikutnya Ibrahim Nasir, tercatat hanya 4 tahun Ibrahim Nasir menjabat Kepala Kampung Dongkalan. Konronya Datu Adam merupakan Kepala Kampung Dongkalan ke 3. Koronya memimpin mulai 1960 sampai dengan 1974.
Sebelum berubah status menjadi Kelurahan, Kepala Kampung terakhir yang menjabat adalah AS. Datu Adam, sejak tahun 1974 hingga 1981.Sementara Abdi Gunawan Makmur merupakan Lurah Pertama,semenjak berubah status menjadi Kelurahan.
Keinginan mengembalikan Nama Dongkalan, sebenarnya sudah ada sejak Bupati dijabat Makmun Amir. Ada hal yang melatari sehingga opsesi itu muncul. Kalangan penginisiatif beralasan agar tidak melupakan sejarah masa lalu. Namun aspirasi itu mentok, karena ketika itu, keinginan mengembalikan Kampung Dongkalan tidak mendapat respon.
Kami perna menghadap Makmun Amir menyarankan agar mngembalikan Nama Dongkalan Menjadi Kelurahan.Tapi saran itu tidak mendapat tanggapan serius ujar Ta’Onteng.
Mantan anggota Legeslatif peride 1997 sampai 1999 dan periode 2000 samapai 2004 ini mengaku, tidak sedikit nilai sejarah di Kabupaten Banggai mulai meluntur.diantaranya, Wanita yang kini berusia 71 thn ini ( Ta’Onteng ) hilangnya Nama Dongkalan dalam daftar wilayah Kabupaten Banggai, mestinya hal dapat dipertahankan. Sehingga dimasa mendatang, anak cucu mengetahui masa lalu daerah ini.
Dia mencontohkan pada Kelurahan Kaleke yang merupakan hasil pemekaran Kelurahan Soho. Warga yang dominan etnis Saluan diwilayah itu harus berbangga dengan mengusung Nama Kelurahan Kaleke pasalnya, ada nilai Historis tersendiri sehingga memilih nama itu.
Dulunya, Ta’Oteng sedikit berkisa diwilayah itu banyak burung yang suka makan bunga yang memiliki buah manis. Pada saat menikmati makanan, sekelompok binatang jenis unggas itu megeluarkan suara yang sangat ribut. Makanya, warga berinisiatif member nama Kelurahan Kaleke.
Mestinya tak hanya ada Kelurahan Kaleke akan tetapi Kelurahan Dongkalan harus juga ada, ‘ Tandas penggiat pramuka sejak tahun 1963 hingga saat ini.
Tokoh masyarakat, Zainuddin Ahmad, sedikit berkisah tentang Dongkalan. Dulunya didalam wilayah Dongkalan ada yang namanya Supak dan Bou’. Kini penyebutan kedua wilayah itu perlahan mulai terlupakan dari beberapa wilayah yang sudah ada, Dongkalan termasuk ramai. Meski saat itu masih banyak ditemukan jalan setapak. Selain Pohon Dongkalan, wilayah itu juga banyak ditumbuhi pohon pisang. Sehingga ada wilayah yang disebut Kampung Pisang.Begitupun diwilayah tersebut banyak ditemukan Kolam.Olehnya slogan BERAIR terinspirasi dari banyaknya Kolam di Dongkalan.
Zainudin Ahmad juga merupakan Penggagas ‘ Kembalikan Dongkalanku.’ Namun senada dengan Ta’Onteng, Dekan FISIP UNISMUH Luwuk mengaku keinginan itu tidak mendapat lampu hijau. Om Nunut begitu biasa dia disapa berharap pada pemerintah ini segera menyahuti keinginan yang sudah lama terbangun tersebut (Luwuk Pos, 2013).
Luas wilayah Kelurahan Luwuk 2,30 Km2. Dengan jumlah penduduk 8.964 jiwa (2010). Kelurahan Luwuk, masuk dalam wilayah Kota Luwuk, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
3.7. Kampung Simpong
Kampung Simpong lahir bersamaan dengan Kampung Jole, yang diawali dengan pembangunan rumah tempat tinggal dari anak-anak tumai Sandakan (kai Laiti), yaitu kai Djaitang Laiti, kai Madeng Laiti, kai Mangedang Laiti, dan dari anak-anak kai Dayanun, yaitu kai Abd.Rahman Dayanun, kai Pisang Dayanun, kai Tatu Dayanun, kai Noni Dayanun, kai Habo Dayanun, kai Hamid Dayanun, kai De’eng Dayanun, kele Muna Dayanun, kele Halima Dayanun, serta keturunan dari kai Katib Liamin, kai Hipan, kai Budahu, kai Penak, dan lain sebagainya, kejadian ini terjadi pada tahun 1923.
Simpong yang artinya, tempat pertemuan, mulai menjadi Kampung tahun 1926, dibawah pimpinan Kepala Kampung Simpong pertama Ibrahim Dayanun, kemudian pada tahun 1930 Kepala Kampung Simpong Noni Dayanun sampai pada tahun 1942.
Status Simpong dari Kampung ke Desa terjadi pada tahun 1963, yang dipimpin oleh Kepala Desa Simpong pertama Azis Dayanun (putra dari kai Noni Dayanun, ayah kandung Haris Dayanun).
Kemudian pada tahun 1981, Desa Simpong naik lagi statusnya, menjadi Kelurahan, dengan Lurah pertamanya Nur Muhyn, dan kemudian dilanjutkan Lurah Simpong berikutnya adalah masing-masing, Moh.Natsir K.Djawa, Aladin Dayanun, Umar Uloli, Bachtiar Pasman, Farida Karim, Bahrin Tu’u, Marto S. Djaafar, Agus Sandagang, dan Hidayat Dulu (2013).
Jolek termasuk wilayah Simpong, Jole adalah sebuah kampung yang diambil dari sebuah nama tanaman sejenis Padi atau gandum (tanaman ini ada jenisnya semacam jole pulut dan jole biasa ) yang pertama ditanam sebagai bahan makanan juga sebagai batas tanah atau kintal di batasi tumbuhan jole dan sayur lilin (sampioto atau bi’ot) dan banyak tumbuh dilokasi tersebut sehingga disebut Kampung Jole. Awal mulanya dihuni sepuluh Kepala Keluarga, diantaranya, Hukun Dayanun (berlokasi di Pinggiran Sungai Pohon Bokulu jembatan Jole) yang pertama bermukim pindah dari rumahnya pertama dilokasi Masjid Jami Sekarang, kedua Keluarga Mampi (berlokasi di samping rumah hukun dayanun), ketiga, keluarga De’eng Dayanun Ayah dari Bapak Tajudin Dayanun (berlokasi di Rumah Alm Bpk H.Tadjudin Dayanun ), keempat, keluarga Inta Uami (berlokasi di Gudang Toko Harapan Jaya), kelima keluarga L. Kuna (berlokasi di Rumah Sonang Dayanun atau Rumah Orang Cina sekarang), keenam keluarga Katib Liamin (berlokasi di Rumah Toko Sentral Bangunan Sekarang), ketujuh keluarga Tiga bersaudara tante dari Katib Liamin Janab – Kamoning –Tikopo (berlokasi di Rumah Men yang sekarang Toko Elektronik), kedelapan keluarga Sonang Dayanun (berlokasi di Toko Harapan Jaya Sekarang ), kesembilan Keluarga Lamo (berlokasi di Bekas Rumah Bapak Ambeng Sentral Sulawesi Sekarang ) dan kesepuluh keluarga De’eng Dayanun (Babai Wahab) diperkirakan sebelumnya di Thn 1929 sebagai tanda sudah ada perkampungan yaitu lahirnya ibu H.Maesa Kuuna.
Luas wilayah Kelurahan Simpong 2,30 Ha. Dengan jumlah penduduk 11.469 jiwa (2007). Kelurahan Simpong, masuk dalam wilayah Kota Luwuk, Kecamatan Luwuk Selatan (2013), Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
3.8. Kampung Maahas
Kampung ini terbentuk pertama kalinya pada tahun 1930, oleh warga masyarakat dari Kampung Huhak (sub dusun kampung wilayah Keleke di Mangkin Piala), yang pertama kali membangun rumah di Maahas adalah kai Tolomon, kemudian diikuti oleh kai Madeng Laiti, keluarga kai Tatu Lumpeng, dan yang lainnya.
Kampung Maahas (1930), masuk dalam wilayah Kampung Simpong, nanti setelah tahun 1950, terbentuk perkampungan Maahas dengan Kepala Kampung pertamnya Pungga (1950-1960).
Pada tahun 1965, Kampung Maahas naik statusnya menjadi Desa, dengan Kepala Desa pertamanya Gaos E. Ajaka (suami Lina Djalumang).
Pada tahun 1981, Desa Maahas naik lagi statusnya menjadi Kelurahan Maahas, dengan Lurah Pertamnya Abd.Jalal Junus. Masing-masing Lurah Maahas, adalah sebagai berikut, Mukhsin Tuala, Wahidin Nasir, Sutrisno Husain, Rudi K. Bullah, Ernaini Mustatim, Muh. Arif Sahi, Fahri Zaman dan Ramli Muid (2013).
Luas wilayah Kelurahan Maahas 48,59 Ha (2007). Dengan jumlah penduduk 5.462 jiwa (2007). Kelurahan Maahas, masuk dalam wilayah Kota Luwuk, Kecamatan Luwuk Selatan (2013), Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
3.9. Kampung Bungin
Orang Gorontalo yang pertama menginjakkan kakinya di Luwuk adalah Tumbingo (ayah kandung Jusuf Tombingo) dengan Km.Marsose, pada tahun 1911, dan tinggal menetap di wilayah Gusali Bungin Keleke, yang kemudian dikenal dengan nama “pasar tua”, masuk dalam wilayah Kampung Soho.
Pada tahun 1912, warga Gorontalo bertambah lagi dengan kedatangan keluarga Bakari, keluarga Ali, keluarga Taha Monti, keluarga Ruga dan keluarga Aisari (J.Hubu), serta yang lainnya.
Kemudian pada tahun 1914, terbentuk pertama kali persekutuan masyarakat Gorontalo di pasar tua, yang dipimpin oleh kepala suku pertama yang bergelar temei Bakari, temei Soadia Suma, temei Taha Monti,dan temei Yuli, temei Aisari (J.Hubu) sampai tahun 1960.
Persekutuan masyarakat Gorontalo di pasar tua, berkembang wilayahnya ke Km. 1 Luwuk, dengan penyerahan wilayah dari Kepala Desa Soho Dake Anahan pada tahun 1964, yang diterama langsung oleh temei Bakari, temei Soadia Suma, temei Taha Monti, temei Yuli, dan temei Aisari (J.Hubu), pada tahun ini pula (1964) terbentuk Desa Bungin (yang diambil dari nama Gusali Bungin Keleke yang terletak dibelakang rumah keluarga Tumbingo, pasar tua), dengan Kepala Kampung Bungin pertama Aisari J.Hubu, kemudian berturut-turut Kepala Desa Bungin berikutnya adalah Nogi Nulingo, Hamad D.Pakaya, dan Moch.Basmi, sampai tahun 1984.
Kelurahan Bungin terbentuk pada tanggal 1 Januari 1981, dengan Lurah masih dijabat oleh M, Basuni (1984), kemudian berturu-turut Lurah Bungin sebagai berikut, Burhanudin Rauntu (plt), Elesi Slem, Hisnu Urusi, Irpan Poma, Liswan Nobiyan, Yasin Urusi, Sitti Nurmasyita, Hisyam Urusi, Kurnia Chandra, dan Hendra Prayudi Urusi (2012-2013).
Pada tahun 2010, Kelurahan Bungin melakukan pemekaran berdasarkan Perda Kabupaten Banggai, menjadi Kelurahan Bungin Timur, masuk dalam wilayah Kota Luwuk, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
Luas wilayah Kelurahan Bungin 4,16 km2. dan jumlah penduduk 3.319 jiwa (2010), kemudian Luas wilayah Kelurahan Bungin Timur 3,84 Km2. dan jumlah penduduknya 2.619 jiwa (2010).
3.10. Kampung Baru
Kampung Baru merupakan pemekaran wilayah Kampung Soho yang diserahkan oleh Kepala Desa Soho Dake Anahan pada tahun 1964, yang diterima langsung oleh Kepala Kampung Baru Lalu Minggu (ayah kandung Minggu Sarpah), dan La Angga Sahata.
Wilayah Kampung Baru, yaitu Dusun BoWu dan Mangkio, namun pada tahun 1940, setelah Kampung Dongkalan terbentuk, Kampung Baru masuk dalam wilayah Kampung Dongkalan, yang kemudian menjadi Kelurahan Luwuk. Kelurahan inilah yang melakukan pemekaran Kampung Baru menjadi Kelurahan Baru pada tahun 1982, dengan Lurah pertamanya La Angga Sahata (1982).
Selanjutnya, Lurah yang memimpin Kampung Baru, adalah sebagai berikut, Irpan Poma, Baharuddin Mang, Subhan Lanusi, Jairuddin, Suwitno Abusama, Hisyam Urusi (plt)., Agus Salim, Wahyudin Sangkota, dan Sarifzul T. Lumpeng serta Muh.Ghazli Unus (2010-2013).
Pada tahun 2010, Kelurahan Baru dimekarkan menjadi Kelurahan Mangkio. Luas wilayah Kelurahan Baru 1,74 Km2. dengan jumlah penduduk 3.507 jiwa (2010), sedangkan luas wilayah Kelurahan Mangkio 1,56 Km2. dengan jumlah penduduk 3.207 jiwa (2010).
Kelurahan Baru dan Kelurahan Mangkio masuk dalam wilayah Kota Luwuk, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
3.11. Kampung Hanga-Hanga
Kampung Hanga-Hanga pertama kali diturunkan dari Mangkin Piala, ke kaki Gunung Paka pada tahun 1918, oleh kai Djaitang Laiti dibantu oleh kai Budahu, kai Penak, kai Alena, dan kai Yupo, serta yang lainnya.
Pertama kalinya Kampung Hanga-Hanga (1950), dipimpin oleh Djaitang Laiti, dengan Kepala Jaga Alena dan Penak.
Desa Hanga-Hanga terletak pada ketinggian 30-60 M dari permukaan laut dengan curah hujan antara 1.500 – 2.000 mm/tahun, topografi, datar, perbukitan serta pegunungan, dengan suhu udara antara 22-32 derajat C.
Kepala Kampung Hanga-Hanga berikutnya adalah Penak, dengan Kepala Jaganya Awas Alena, kemudian Kepala Kampung Yupo (1963-1969), dan dilanjutkan anaknya B.Yupo (1969-1982), tahun 1983 Hanga-Hanga menjadi Desa, dengan Kepala Desanya Lahak Penak, dilanjutkan oleh R. Rawung, dan Nando Patah, sampai tahun 2006.
Pada tahun 2006, Hanga-Hanga naik statusnya dari Desa menjadi Kelurahan, dengan plth. Lurah Hanga-Hanga A.M.I. Lantaki (2006), dilanjutkan oleh Lurah H.Sophansyah Yunan, Lurah Wahyudin Sangkota dan Rivordi Penak (2010-2013).
3.12. Kampung Lumpoknyo
Lumpoknyo, dalam bahasa saluan artinya “besar” (melompo), jika diartikan dengan wilayah, atau tanah pertanian yang subur.
Kampung Lumpoknyo merupakan Dusun dari Kampung Soho sejak dipedalaman (1919), dengan jabatan Kepala Jaga, yang dijabat oleh Tiama dan Ndo’a Laip.
Pada tahun 1953, Kampung Lumpoknyo berdiri sendiri, dengan Kepala Kampung pertama dijabat oleh Bahar Makat (1953-1961), Din Ndo’a (1961-1977), dan Lalu Mabing (1977-1978).
Sejak tahun 1975 masyarakat Lumpoknyo di turunkan ke tepi pantai Luwok, tepatnya di Km 1, bertetangga dengan Kelurahan Bungin.
Kampung Lumpoknyo pada tahun 1978 naik statusnya menjadi Desa, dengan Kepala Desa pertama Din Ndo’a (1978-1986), berikutnya Haludin Sapilun (1986-1988), Mansur Bina (1988-2005), dan Jamaluddin Tiama (2005-sekarang).
Desa Lumpoknyo terletak pada ketinggian 20-30 M dari permukaan laut dengan curah hujan antara 1.500 – 2.000 mm/tahun, topografi, datar, perbukitan serta pegunungan, dengan suhu udara antara 22-32 derajat C.
Luas wilayah Desa Lumpoknyo 30,70 Km2. Dengan jumlah penduduknya 1.136 jiwa (2010). Desa Lumpoknyo masuk dalam wilayah Kota Luwuk, Wilayah Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
3.13. Kampung Tontouan
Kata Tontouan diambil dari sejenis Leba yang pada saat itu berada diperkampungan di daerah pedalaman (Mangkin Piala), yang ditemukan berada disuatu tempat lubang yang cukup besar, yang didiami oleh sejenis binatang lebah yang disebut Tontouan, ini yang kemudian mengilhami lahirnya Kampung Tontouan di Wilayah Kecamatan Luwuk.
Kampung Tontouan pertama kali diturunkan dari Mangkin Piala, ke kaki Gunung Paka oleh pada tahun 1925, oleh kai Sahada, kai Kubin, kai Hipan, kai Budahu, dan kai Molintas (tumai Sauna), serta yang lainnya.
Kampung Tontouan pertama kalinya dipimpin oleh kai Sahada (1927), kemudian dilanjutkan oleh kai Kubin serta kai Hipan, sampai tahun 1978.
Berdasarkan Undang-Undang Nomo 5 Tahun 1979, status Kampung Tontouan berubah menjadi Desa Tontouan, yang dipimpin oleh Kepada Desa M.T. Molintas (1979-1981), kemudian, selanjutnya Kepala Desa Tontouan masing-masing dipimpin oleh Unden Duyang (1981-1985), Undu Molintas (1986-1991), Amran T. Daka (1992-1993), Sahrin Hanabi (1994-1998), Baharullah Arsad (1999-2001), dan Maidin Molintas (2002-sekarang).
Desa Tontouan terletak pada ketinggian 1-300 m dari permukaan Laut, dengan curah Hujan rata-rata 1500 mm – 2000 mm, dengan topografi datar, perbukitan serta pegunungan, dengan suhu udara antara 26-32 derajat C.
Luas wilayah Desa Tontouan kurang lebih 25,60 Km2. Terletak di bagian Barat Kota Luwuk, dengan jumlah penduduk, laki-laki 569 jiwa dan perempuan 666 jiwa, serta jumlah KK sebanyak 278 KK.
Mata pencaharian penduduk Desa Tontouan sebagian besar adalah petani (125 jiwa), tukang (27 jiwa), PNS (58 jiwa), dan Pedagang (26 jiwa). Desa Tontuan masuk dalam wilayah Kota Luwuk, Kecamatan Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
|