Politik Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jayrangkoto (bicara | kontrib)
Afandri (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[Berkas:Pagaruyung.jpg|thumb|220px|right|[[Istana Pagaruyung]], simbol politik tertinggi kerajaan Minangkabau.]]
 
'''Politik Minangkabau''' adalah suatu sistem politik [[Orang Minang|masyarakat Minangkabau]] yang telah berkembang sejak berabad-abad lalu. Sistem ini berlandaskan filosofikepada dua sistem [[demokrasiAdat Minangkabau|adat di Minangkabau]], yakni sistem [[egalitarianismeLareh Koto Piliang|egalitarianKoto Piliang]], danserta [[keadilanLareh sosialBodi Caniago|Bodi Caniago]].<ref>Audrey SistemR. politikKahin, tersebutRebellion telahto berlakuIntegration, dalamWest perpolitikanSumatra [[Orangand Minang|masyarakatthe Minangkabau]]Indonesian sejakPolity berabad1926-abad1998</ref> yangDalam laluperkembangannya, dankedua dianggapsistem olehyang berbagaibertolak pihakbelakang sebagaiini sebuahmelahirkan sistem politik Minangkabau yang modernberlandaskan filosofi [[demokrasi]], [[egalitarianisme|egalitarian]], dan mendahului[[keadilan zamannyasosial]].
 
Di Malaysia, sistem politik dan adat yang menganut sistem Koto Piliang dikenal dengan adat ''Temenggong''. Sedangkan sistem politik dan adat yang menganut sistem Bodi Caniago disebut dengan adat ''Perpatih''. Sistem Perpatih hanya berlaku di [[Negeri Sembilan]] dan bagian utara [[Melaka, Malaysia|Malaka]] saja, sedangkan kerajaan-kerajaan lainnya menganut sistem Temenggong.<ref>Michael G. Peletz, Reason and Passion: Representations of Gender in a Malay Society, Los Angeles, 1996</ref> Di Indonesia, sistem politik Minangkabau yang mengedepankan demokrasi, persamaan hak, dan keadilan sosial itu dirangkum dalam dasar negara [[Pancasila]].<ref>Prosiding Kongres Pancasila IV: Srategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas di Indonesia, Yogyakarta, 2012</ref>
== Pra-kemerdekaan Indonesia ==
 
Jauh sebelum kedatangan kolonialis [[Belanda]], sistem sosial dan politik dalam masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip-prinsip politik yang demokratis, egaliter dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistem ''[[Nagari]]'' yang otonom, dimana suatu kelompok masyarakat yang berhimpun dalam suatu nagari (setingkat kelurahan/desa) dikelola secara bersama oleh sebuah ''triumvirat'' yang disebut ''[[Tigo Tungku Sajarangan]]'' dalam sebuah limbago (lembaga) yang disebut ''[[Kerapatan Adat Nagari]]''.
== Filosofi ==
Filosofi politik orang Minang berakar dari [[Budaya Minangkabau|kebudayaan Minangkabau]] yang telah berkembang sejak berabad-abad lalu. Menurut [[Tambo Minangkabau|tambo Minangkabau]], terdapat dua orang tokoh legendaris yang menyusun sistem adat di Minangkabau, yakni [[Datuk Ketumanggungan]] dan [[Datuk Perpatih Nan Sebatang]]. Datuk Ketumanggungan menyusun sistem adat Koto Piliang yang memiliki filosofi "berjenjang naik bertangga turun" (''bajanjang naiak batanggo turun''). Dalam nagari-nagari yang menganut sistem politik ini dikenal adanya kedudukan penghulu yang bertingkat-tingkat. Dari penghulu andiko, penghulu suku, sampai penghulu pucuk. Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuk nagari yang tertuang dalam filosofi adat "berpucuk bulat berurat tunggang" (''bapucuak bulek, baurek tunggang''). Dalam sistem ini gelar pusaka (penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal.
 
Tokoh legendaris lainnya Datuk Perpatih Nan Sebatang, menyusun sistem adat Bodi Caniago dengan filosofinya "membersit dari bawah" (''mambasuik dari bawah''). Sistem ini merupakan anti-tesis dari konsep Koto Piliang yang hierarkis. Konsep Bodi Caniago lebih mengedepankan konsep berdasarkan musyawarah mufakat. Dalam nagari-nagari yang menerapkan sistem Bodi Caniago, kedudukan semua penghulu memiliki derajat yang sama. Filosofinya "duduk sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi" (''duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi'').<ref>Sangguno Diradjo, Dahler Abdul Madjid, Radjo Mangkuto (Datuk); Mustika Adat Alam Minangkabau‎; Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979</ref>
 
Karena adanya pertentangan dari dua sistem adat dan politik di Minangkabau itu, maka timbulah suatu sintesis politik yang mengambil corak kedua-duanya itu. Sehingga dalam perkembangannya, para politisi Minang bisa menerapkan sistem Koto Piliang yang hierarikis serta sistem Bodi Caniago yang egaliter.
 
Untuk konsep kepemimpinan politik, masyarakat Minangkabau tidak memposisikan pemimpinnya sebagai orang yang luar biasa dan tak terjangkau. Sehingga ketika pemimpin itu tidak amanah atas jabatannya ia bisa disanggah ataupun diganti melalui dewan adat. Hal ini berdasarkan kepada filosofi Minangkabau yang menempatkan pemimpin itu "ditinggikan seranting didahulukan selangkah" (''ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah''). Atau juga berdasarkan kepada filosofi "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah" (''rajo adil rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah'').
 
==Sejarah==
=== Zaman Pra-kemerdekaan Indonesia ===
Jauh sebelum kedatangan kolonialis [[Belanda]], sistem sosial dan politik dalam masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip-prinsip politik yang demokratis, egaliter, dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistem ''[[Nagari]]'' yang otonom, dimana suatu kelompok masyarakat yang berhimpun dalam suatu nagari (setingkat kelurahan/desa) dikelola secara bersama oleh sebuah ''triumvirat'' yang disebut ''[[Tigo Tungku Sajarangan]]'' dalam sebuah limbago (lembaga) yang disebut ''[[Kerapatan Adat Nagari]]''.
 
''Tigo Tungku Sajarangan'' terdiri dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai dan kaum ulama.
Baris 14 ⟶ 26:
*''Kaum Cerdik Pandai'' diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya pengetahuan yang luas, pintar dan pandai, tapi juga tidak memegang posisi dalam struktur adat.
 
Ketiga unsur ini saling berinteraksi, berdialektika, bahkan juga konflikberkonflik dalam suatu sistem politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah diperdebatkan dan dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan lembaga ini bersifat otonom tanpa harus meminta persetujuan dari otoritas politik yang lebih tinggi seperti raja.
 
=== Pasca-kemerdekaanEra Kemerdekaan Indonesia ===
{{Multiple image|direction=horizontal|align=right|image1=TanMalaka DariPendjara ed3.jpg|image2=Mohammad Hatta 1950.jpg|image3=SoetanSjahrir.jpg|width1=100|width2=105|width3=101|footer=[[Tan Malaka]], [[Mohammad Hatta]], dan [[Sutan Sjahrir]]; tiga orang tokoh politik penting Indonesia dari Minangkabau.}}
 
Sistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter merupakan antitesisanti-tesis bagi sistem politik besar lainnya di [[Indonesia]] yang diusung oleh [[budaya Jawa]] yang cenderung [[sentralistik]], [[patron klien]], dan [[Feodalisme|feodalistik]]. Dalam sejarah sejak Indonesia merdeka, kedua sistem politik ini saling berinteraksi, bersaing, dan berdialektika dalam perpolitikan Indonesia dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.
 
Pada awal-awal kemerdekaan, sistem politik [[Budaya Minangkabau|Minangkabau]] yang termanifestasi dalam lakon politik dari tokoh-tokoh politik yang berasal dari Minangkabau, seperti [[Hatta]], [[Syahrir]], [[Natsir]], [[Agus Salim]], dan lain-lain, mendapatkan tempat yang lebih leluasaluas dengan berlakunya [[Sistem parlementer|sistem parlementer]] yang diwarnai dengan beragam partai politik. Bagi sebuah negara yang masih muda, ternyata sistem ini sering menimbulkan kegaduhan politik, sehingga berakibat pada jatuh bangunnya pemerintahan dan seringnya pergantian kabinet.
 
Sistem ini berlaku sampai keluarnya [[Dekrit Presiden]] pada tahun 1959. Sistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh [[Presiden Soekarno]] dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas sampai tahun 1965, dimana akhirnya kekuasaan diambil alih oleh [[Soeharto]]. Selama sekitar 32 tahun selanjutnya, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Barulah pada tahun 1998, dengan adanya reformasi, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, walaupun masih bersifat prosedural atau belum substansial.
Pada awal-awal kemerdekaan, sistem politik [[Budaya Minangkabau|Minangkabau]] yang termanifestasi dalam lakon politik dari tokoh-tokoh politik yang berasal dari Minangkabau, seperti [[Hatta]], [[Syahrir]], [[Natsir]], [[Agus Salim]] dan lain-lain, mendapatkan tempat yang lebih leluasa dengan berlakunya sistem parlementer yang diwarnai dengan beragam partai politik. Bagi sebuah negara yang masih muda, ternyata sistem ini sering menimbulkan kegaduhan politik, sehingga berakibat pada jatuh bangunnya pemerintahan dan seringnya pergantian kabinet.
 
==Referensi==
Sistem ini berlaku sampai keluarnya [[Dekrit Presiden]] pada tahun 1959. Sistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh [[Presiden Soekarno]] dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas sampai tahun 1965, dimana akhirnya kekuasaan diambil alih oleh [[Soeharto]]. Selama sekitar 32 tahun selanjutnya, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Barulah pada tahun 1998, dengan adanya reformasi, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, walaupun masih bersifat prosedural atau belum substansial.
{{reflist}}
 
==Rujukan ==