Jam Gadang selesai dibangun pada tahun [[1926]] sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur [[Fort de Kock]] (sekarang [[kotaKota Bukittinggi]]) pada masa pemerintahan [[Hindia-Belanda]]. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin[[Yazid Rajo Mangkuto Sutan Gigi Ameh|Yazid Rajo Mangkuto]], sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 [[Gulden]], biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau [[markah tanah]] dan juga titik nol [[kotaKota Bukittinggi]].<ref>travel.kompas.com [http://travel.kompas.com/read/2009/03/19/07532046/jam.gadang.gengsi.kota.bukittinggi Jam Gadang Gengsi Kota Bukittinggi].</ref>
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan [[Hindia-Belanda]], [[atap]] pada Jam Gadang berbentuk [[bulat]] dengan [[patung]][[ayam]] jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa [[Pendudukan Jepang di Indonesia|pendudukan Jepang]] diubah menjadi bentuk [[pagoda]]. Terakhir setelah [[Indonesia]] merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat [[Minangkabau]], [[Rumah Gadang]].
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun [[2010]] oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan [[kedutaanKedutaan besar]]Besar [[Belanda]] di [[Jakarta]]. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal [[22 Desember]][[2010]].<ref>www.republika.co.id [http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nusantara/10/12/23/153975-jam-gadang-selesai-diperbaiki Renovasi Jam Gadang].</ref>