Menurut Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang Budaya (1996) Kebaya berasal dari bahasa Arab ‘''Kaba''’ yang berarti ‘pakaian’ dan diperkenalkan lewat bahasa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara. Kata '''Kebaya''' diartikan sebagai jenis pakaian (atasan/''blouse'') pertama yang dipakai wanita Indonesia pada kurun waktu abad ke-15 atau ke-16 Masehi. Argumen Lombard tentu berterima terutama lewat analogi penelusuran lingustik yang toh sampai sekarang kita masih mengenal ‘''Abaya''’ yang berarti tunik panjang khas Arab. Sementara sebagian yang lain percaya '''Kebaya''' ada kaitannya dengan pakaian tunik perempuan pada masa kekasiran Ming di CinaTiongkok, dan pengaruh ini ditularkan setelah imigrasi besar-besaran menyambangi semenanjung Asia Selatan dan Tenggara di abad ke-13 hingga ke-16 Masehi.
Terlepas dari asal usulnya yang Arab, atau Portugis, atau CinaTionghoa, kita mahfum bahwa penyebarannya memang dari arah utara kepulauan Indonesia. Artinya, negara-negara yang terlewati oleh ekspansi ala Arab, Portugis, dan CinaTionghoa bisa jadi memiliki versi kebayanya masing-masing. Dan akhirnya, ''Jawa'' menjadi destinasi penyebaran paling selatan, karena tidak ditemukan jejaknya lagi di kepulauan Pasifik barat atau semenanjung utara Australia.
Kesesuaian selanjutnya bertitik tolak dari pola dan corak. Modifikasi, inovasi, dan kreatifitas membawa angin segar fesyen '''Kebaya''' masa ini. Ia bagaikan lepas tanpa ikatan. ''Putu baru'', ''kebaya tunik pendek'' hingga ''tlisman'' mengemas banyak warna dan permainan motif yang cantik di awal abad ke-19. Kurun abad ke-19 dan masa pergerakan di awal abad 20 adalah kala gemilang bagi '''Kebaya'''. '''Kebaya''' berada di masa yang marak dikenakan masyarakat Indonesia, juga kaum pendatang Eropa dan CinaTiongkok dengan ragam penyesuaiannya. Sebelum dikelas-kelaskan, '''Kebaya''' yang hampir merata dipakai oleh kaum perempuan Indonesia begitu lazimnya hingga kreasi-kreasi khusus dilakukan oleh kaum bangsawan dan dalam istana. ''Kebaya'' bangsawan dan keluarga Kraton terbuat dari sutra, beludru, dan kain tebal berornamen (''brocade''); golongan awam mengenakan bahan katun dan tenun kasar; kaum keturunan Eropa biasanya mengenakan '''Kebaya''' berbahan katun halus dengan aksen ''lace'' (brokat) di pinggirnya; sedangkan untuk perempuan Belanda mengenakan '''Kebaya''' katun dengan potongan yang lebih pendek. Saat itu bahkan banyak orang Eropa dan Belanda sendiri membeli aneka '''Kebaya''' di Nederland. Masa ini '''Kebaya''' mulai disusupi unsur sinkretisme kelas. Ada '''Kebaya''' Keraton dan Bangsawan yang berornamen benang emas (''sulam gim'') dengan bahan beludru. Potongan khusus yang dipakai oleh perempuan kelas atas juga memberi bekas yang nyata seperti halnya ''kebaya Kartini''. Pakem-pakem mulai terbentuk. Pola-pola tertentu dibatasi dalam garis darah biru. '''Kebaya''' mulai dikaplingkan dalam kelas-kelas kasta yang paradoksal.
Periode 1942-1945 adalah yang terburuk dengan catatan paling minim tentang keadaan Indonesia, termasuk fesyennya. Perempuan di masa pendudukan Jepang jatuh di tempat paling rendah sepanjang sejarah. Tanpa kecuali; pribumi, keturunan Eropa, keturunan CinaTionghoa, dan Belanda dijebloskan di penjara dan dipekerjakan dengan keras. '''Kebaya''' dipakai oleh tahanan perempuan Indonesia, sedangkan kemeja dan terusan dikenakan oleh keturunan Eropa dan Belanda. Peraturan tidak tertulis ini, entah bagaimana, berlaku hampir di setiap kamp-kamp tahanan Jepang. Di sini, '''Kebaya''' bersifat pribumi, lainnya koloni. Jangan berfikir tentang inovasi, produksinyapun jatuh mengenaskan. Kenyataannya, pendudukan Jepang di Indonesia juga memutus jalur perdagangan tekstil dan perlengkapan penunjangnya. Banyak rumah produksi '''kebaya''' tutup. Perusahaan kain Batik yang marak di periode itu juga wajib membuat solusi padat karya untuk sekedar bertahan. Solusi yang paling banyak dianut adalah ''merger'' antar beberapa perusahaan kecil yang membuat kain batik, '''kebaya''', dan industri konveksi rumahan. Tapi tidak berdampak banyak bagi perkembangan fesyen masa itu. Perubahan suhu politik terjadi tiap waktu. Perang Dunia ke-II adalah masa-masa kelam bagi fesyen tanah air, bahkan dunia. Kecuali ''Chanel'' dan ''Hugo Boss'' yang memang kekasih fasis kala itu, banyak rumah mode di dunia mengalami kemunduran.
Lagi-lagi faktor politik berkecamuk. Revolusi besar kemerdekaan Indonesia tahun 1945 membawa '''Kebaya''' pada konstelasi nasionalis yang lebih absolut. Dari sekedar tradisional yang pribumi, '''Kebaya''' menjalar menjadi nasionalis dan bernafas kemerdekaan. Para wanita terdidik yang dekat dengan pemerintahan Soekarno saat itu banyak mengenakan aneka '''kebaya''', terutama jenis ''putu baru'' dan ''Kebaya encim'' yang masih ada jejaknya sekarang ini. Sebagian orang menanggapi kondisi ini sebagai masa-masa keemasan '''Kebaya''' sampai tahun 1960-an. Hampir semua wanita, baik itu di kantor, di rumah, di manapun tampil berkebaya. Citra nasional yang dibawa Kebaya begitu kuatnya, tetapi melekat pada kaum aristrokrat tertentu yang berpihak pada Soekarno. India, CinaTiongkok, dan sebagian Asia Tenggara mendominasi pasar tekstil Indonesia. Sentimen Barat pada Soekarno, dan sentimen Soekarno sendiri pada Barat membatasi jalur pertukaran komoditi Eropa dan Indonesia. Yang terlihat adalah aneka corak dan warna-warna '''Kebaya''' yang beragam. Potongan dan pola-pola lama kembali meruak meski masih memegang pakem-pakem yang tercipta dari abad sebelumnya.
|