Tren IT: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k sedikit merapikan |
Okkisafire (bicara | kontrib) Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 4:
'''Tren IT''' (<i> IT Fashion </i>) merupakan kepercayaan yang dibentuk oleh [[akademisi]], [[lingkungan]], [[media]], [[konsultan]], dan [[konsumen]] yang membentuk kepercayaan kolektif bahwa teknik administrasi dalam IT lebih efisien dan mesti menjadi praktek terdepan dalam kegiatan [[administrasi]] [[organisasi]].
Terminologi ''IT fashion'' pertama kali diperkenalkan oleh Abrahamson (1996).<ref name=abrahamson>Abrahamson. F. 1996, "''Management Fashion''". Academy of Management Review Vol 21, No.1. 254-285.</ref> Tren IT muncul saat organisasi muncul menjadi adopter pada tahap antara adopter awal dan adopter terakhir (''late adopter''). Abrahamson memisahkan antara ''setter'' tren dan perusahaan yang target dari para ''setter'' itu sendiri. ''Setters'' diantaranya : perusahaan konsultan, tokoh manajemen, mass media bisnis dan sekolah bisnis. Rangkaian kelompok ini memiliki peran-peran yang berbeda namun memiliki fungsi yang saling membentuk jejaring atas persepsi yang diterima oleh perusahaan atas Tren IT.
==
Dalam proses adopsi teknologi setidaknya ada 3 terminilogi yang dikenal yang mengacu pada : 1. Adopter awal, 2. Adopter tengah, 3. Adopter akhir. Setiap adopter memiliki justifikasi berbeda dalam dasar atau motivasi para cendekiawan menemukan bahwa justifikasi pada tahap adopter awal didasarkan pada pandangan rasionalistik ekonomi. Berdasarkan pada pandangan ini organisasi cenderung bertindak terus berusaha untuk meningkatkan kinerja, mereka kemudian mengenal adanya metode atau teknik terbaru untuk dapat mencapai cara yang lebih efesien untuk mengarahkan mereka kepada tujuan mereka. Metode terbaru tersebut ada pada teknologi terbaru yang mereka buat atau dibuat oleh organisasi lain. Kemudian mereka mulai mengadopsi dan mengimplementasikan teknologi tersebut untuk mengejar aktivitas yang lebih efesien, sistem yang lebih terintegrasi dan peningkatan kinerja yang lebih.
Baris 16:
Dari hal ini dapat dilihat bahwa perusahaan-perusahaan di indonesia memanfaatkan momentum peningkatan reputasi dan melihat adanya kecendrungan standarisasi baru dalam interaksi antar industri sehingga semakin banyak yang ingin menerapkan ERP. Momentum tersebut dapat digolongkan terjadinya Tren IT (<i>IT Fashion</i>).
Adopter terakhir merupakan para kelompok yang dimotivasi dalam penggunaan teknologi karena didorong oleh ingin bertahan dan bertumbuh saat para saingan lain yang semakin banyak mengadopsi dan memperoleh keuntungan dari implementasi teknologi baru tersebut. Para kelompok ini sadar bahwa tanpa ikut dalam arus dimana semakin banyaknya adopsi terjadi maka apabila mereka tidak berinvestasi pada teknologi yang sedang tren tersebut maka cepat atau lambat daya kompetisi mereka akan berkurang di pasar. Cendekiawan menggunakan Teori Institusional dalam menjelaskan fenomena ini. Teori Institusional mengacu pada bagaimana organisasi berusaha menyelaraskan lingkunrang internal mereka baik dalam proses administratif atau proses operasional dengan lingkungan luar untuk memperoleh penerimaan secara sosial dan legitimasi eksternal.<ref
Teori Institusional ini cenderung teori yang bersifat flexible dalam menerangkan perilaku organisasi dalam menanggapi Tren IT. Teori ini dapat juga menjelaskan mengapa terjadinya resistensi perusahaan karena adanya isu internal dalam menanggapi Tren IT. Teori ini membagi tiga aspek yang melatarbelakangi perubahan perilaku aspek tersebut terbagi menjadi tiga: Coercive, Normative dan Mimetic merupakan tiga kunci tekanan yang dapat merubah cara organisasi dalam merespon praktek yang dilakukan oleh organisasi yang lain.<ref
''Coercive'' cenderung sikap yang resisten akan perubahan karena disebabkan isu internal seperti pertimbangan akan investasi yang besar bukan hanya secara finansial namun juga secara organisasional dalam mengadopsi teknologi terbaru. kemudian Normative merupakan tekanan yang disebabkan karena adanya keinginan untuk mengkompabilitaskan kegiatan perusahaan terhadap aturan yang telah ditetapkan oleh pihak eksternal. Dimaggio dan Powell cenderung memandang bahwa Mimetic merupakan aspek yang paling berpengaruh atas keputusan untuk melakukan diskontinyu atas sistem yang sudah usang dan menerapkan sistem yang terbaru. Mimetic isomorphism merupakan tendency perusahaan untuk melakukan pola peniruan atau replikasi atas tindakan dari organisasi-organisasi yang dipersepsikan memiliki legitimasi yang tinggi. Misalnya: Saat perusahaan A menerapkan sistem Just In Time dalam proses manajemen inventorynya dan telah mampu menekan biaya penyimpanan atau efesiensi persediaan hingga 800 Juta Rupiah, maka perusahaan B yang berada pada industri yang tidak berbeda berupaya melakukan replikasi atau ingin meniru aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan A.
==
Selain menggunakan perspektif teori yang dijelaskan pada tulisan diatas. Setidaknya ada dasar teori dan argumen lain yang menjelaskan motivasi yang melatar belakangi adopsi teknologi pada setiap fase. Pertama, organisasi pada fase pertama bukan hanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan efesiensi dari kegiatan operasional maupun administratif namun juga dapat dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan reputasi dan legitimasi kepada <i>stakeholder</i> untuk dipandang secara informasi mereka (organisasi) menerapkan teknologi terbaru pada barisan pertama.<ref
▲Selain menggunakan perspektif teori yang dijelaskan pada tulisan diatas. Setidaknya ada dasar teori dan argumen lain yang menjelaskan motivasi yang melatar belakangi adopsi teknologi pada setiap fase. Pertama, organisasi pada fase pertama bukan hanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan efesiensi dari kegiatan operasional maupun administratif namun juga dapat dilatarbelakangi keinginan untuk meningkatkan reputasi dan legitimasi kepada <i>stakeholder</i> untuk dipandang secara informasi mereka (organisasi) menerapkan teknologi terbaru pada barisan pertama (Formbrun, 1996). Tindakan seperti ini dalam literatur bisnis dikenal dengan aktivitas pensinyalan (<i>signaling activities</i>). untuk menjelaskan fenomena ini, Ping Wang (2010) mencoba untuk memisahkan antara adopter awal yang ingin dikenal secara informasi (<i>Informationally associated in IT Fashion</i>) dan kedua organisasi yang secara internal memiliki motivasi kuat untuk memanfaatkan fitur dari teknologi terbaru tersebut.
Sedangkan bagi adopter fase akhir (<i>late adopters</i>), motivasi mereka bukan hanya dikarenakan faktor external. Mereka melihat bahwa teknologi terbaru adalah sebuah inovasi yang belum dapat diuji secara layak untuk diterapkan dalam organisasi. Mereka tidak yakin bahwa teknologi tersebut mampu memberikan realibilitas dan keuntungan berlipat karena teknologi tersebut perlu waktu untuk dapat diserap dalam praktek industri. Organisasi pada fase ini merupakan tipe organisasi yang konservatif yang "<i>not taken for granted</i>" atas teknologi baru karena teknologi baru tersebut tentunya menjanjikan investasi yang besar namun belum mampu menjanjikan return yang besar bagi organisasi mereka.
==
Dikarenakan tiap fase adopter berhubungan dengan keputusan melanjutkan teknologi lama atau menggantikan teknologi lama dengan teknologi terbaru (diskontinyu). Penelitian (Brent dkk, 2011) lain merangkai variabel yang melatarbelakangi keputusan dalam diskontinyu atas suatu sistem informasi / teknologi. Penelitian Brent:2011 dilakukan dengan metode kualitatif yakni pendekatan yang dilakukan dengan kajian atas penelitian terdahulu kemudian dilakukan konfirmasi atas kenyataan dilapangan. Brent dkk melakukan studi literatur kemudian mewawancarai sedikitnya 21 informan yang mewakili 17 organisasi berbeda dengan 10 industri yang berbeda juga. Pada hasil pembentukan model kajian Brent membagi faktor independen yang mempengaruhi keputusan diskontinyu menjadi dua yakni yang berpengaruh positif atas intensi diskontinyu dan yang berpengaruh negatif atas intensi dikontinyu. Faktor independen yang berpengaruh positif adalah : kinerja sistem yang tidak reliabel (<i>System performance shortcomings</i>), inisiasi organisasi, perubahan lingkungan. Sedangkan faktor negatif atas intensi diskontinyu adalah : Investasi sistem, Lingkup sistem (<i>System Embeddedness</i>) dan tekanan institusional.<ref name=brent>Brent Furneaux dan Michael Wade. 2011. "''An Exploration of Organizational Level Information Systems Discontinuance Intentions''", MIS Quarterly Vol. 35 No. 3 pp. 573-598.</ref>▼
▲Dikarenakan tiap fase adopter berhubungan dengan keputusan melanjutkan teknologi lama atau menggantikan teknologi lama dengan teknologi terbaru (diskontinyu). Penelitian (Brent dkk, 2011) lain merangkai variabel yang melatarbelakangi keputusan dalam diskontinyu atas suatu sistem informasi / teknologi. Penelitian Brent:2011 dilakukan dengan metode kualitatif yakni pendekatan yang dilakukan dengan kajian atas penelitian terdahulu kemudian dilakukan konfirmasi atas kenyataan dilapangan. Brent dkk melakukan studi literatur kemudian mewawancarai sedikitnya 21 informan yang mewakili 17 organisasi berbeda dengan 10 industri yang berbeda juga. Pada hasil pembentukan model kajian Brent membagi faktor independen yang mempengaruhi keputusan diskontinyu menjadi dua yakni yang berpengaruh positif atas intensi diskontinyu dan yang berpengaruh negatif atas intensi dikontinyu. Faktor independen yang berpengaruh positif adalah : kinerja sistem yang tidak reliabel (<i>System performance shortcomings</i>), inisiasi organisasi, perubahan lingkungan. Sedangkan faktor negatif atas intensi diskontinyu adalah : Investasi sistem, Lingkup sistem (<i>System Embeddedness</i>) dan tekanan institusional.
Faktor tersebut merupakan faktor yang secara empiris mampu menjelaskan intensi diskontinyu organisasi sehingga ikut dalam adopsi pada euforia Tren IT atau meneruskan teknologi sistem informasi yang ada.
==Lihat pula==
==
{{reflist}}
|