Budaya Maluku: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: BP2014 |
||
Baris 2:
[[Berkas:Maluku manise.jpg|thumb|lambang maluku|200px|right]]
'''Maluku''' adalah sekelompok pulau yang merupakan bagian dari [[Nusantara]]. <ref name="M Adnan Amal"> Juni, 2010. ''Kepulauan Rempah-rempah
Maluku memiliki beragam [[budaya]] dan [[adat istiadat]] mulai dari [[alat]] [[musik]], [[bahasa]], [[tarian]], hingga [[seni]]
Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo. <ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"> </ref> Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat adat di [[Maluku Barat Daya]] (MBD). <ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"> </ref> Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara. <ref name="Jendela Buku"> {{cite web| url=http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/sejarah-singkat/120-budaya-kalwedo-di-maluku-barat-daya|title= Budaya Kalwedo di Maluku Barat Daya|accessdate= 2 April 2014.01.00|publisher= Unpatti}} </ref> Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan [[Babar]] dan MBD. <ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"></ref> Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, [[adat istiadat]], dan pewacanaan. <ref name="Jendela Buku"> </ref>▼
▲Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo. <ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"> ''Budaya Kalwedo di Maluku Barat Daya''. Balai Pelestarian Nilai Budaya Ambon, 2012 </ref> Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat adat di [[Maluku Barat Daya]] (MBD). <ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"> </ref> Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara. <ref name="Jendela Buku"> {{cite web| url=http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/sejarah-singkat/120-budaya-kalwedo-di-maluku-barat-daya|title= ''Budaya Kalwedo di Maluku Barat Daya''|accessdate= 2 April 2014.01.00|publisher= Unpatti}} </ref> Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan [[Babar]] dan MBD. <ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"></ref> Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, [[adat istiadat]], dan pewacanaan. <ref name="Jendela Buku"> </ref>
==== Nilai Adat Kalwedo ====▼
'''Kalwedo''' merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai [[sosial]] keseharian, dan juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara. <ref name="Jendela Buku"></ref>▼
▲'''Kalwedo''' merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai [[sosial]] keseharian, dan juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara. <ref name="Jendela Buku"> </ref>
Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, dimana mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama.<ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"> </ref> [[Nilai]] Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas [[pulau]] dan [[negeri]], yaitu: ''inanara ama yali'' (saudara perempuan dan laki-laki). <ref name="Jendela Buku"></ref> ''Inanara ama yali'' menggambarkan keutamaan hidup dan [[pusaka]] kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas hati, [[jiwa]], [[pikiran]] dan [[perilaku]].<ref name="Jendela Buku"></ref>
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup ''Niolilieta/hiolilieta/siolilieta'' (hidup berdampingan dengan baik). <ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"></ref> Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam hal potensi alam, sosial, budaya, dan [[ekonomi]] yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD. <ref name="Aholiab Watloly, Fransina Matakena, Dominggus Saiya,Frans Dahoklory"></ref>
'''Hawear''' adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat [[Kepulauan Kei]] secara turun menurun. <ref name="Jacobus W.Mosse, Johannes M.S. Telelepta, F.X. Vincent R. Letsoin"> Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, Hawear di Kepulauan Kei, 2012 </ref> [[Cerita rakyat]], [[lagu rakyat]], dan berbagai dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear. <ref name="Jendela Buku"> {{citeweb |url=http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/senat-universitas/118-hawear-di-kepulauan-kei|title= Hawear di Kepulauan Kei |accessdate= 2 April 2014.19.44 |publisher= Unpatti}} </ref> Sejarah Hawear bermula dari seorang [[gadis]] yang diberikan daun [[kelapa]] kuning (janur kuning) oleh ayahnya. <ref name="Jendela Buku"> </ref> Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang dipakainya. <ref name="Jendela Buku"> </ref> Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang [[raja]] (Raja Ahar Danar). <ref name="Jendela Buku"> </ref> Maksud dari janur [[kuning]] tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan. <ref name="Jendela Buku"> </ref> Janur kuning tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak dikenal dalam perjalanannya. <ref name="Jendela Buku"> </ref> Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai dengan maknanya hingga saat ini.<ref name="Jacobus W.Mosse, Johannes M.S. Telelepta, F.X. Vincent R. Letsoin"> </ref>▼
▲'''Hawear''' adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat [[Kepulauan Kei]] secara turun menurun. <ref name="Jacobus W.Mosse, Johannes M.S. Telelepta, F.X. Vincent R. Letsoin"> ''Hawear di Kepulauan Kei''. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon
'''Batu Pamali''' adalah simbol material adat masyarakat Maluku. <ref name="Bety D.S. Hetharion, Elifas T. Maspaitella, Hendrik H. Herwawan, Effilina Kissiya, Jenny K. Matitaputty, Jaconias Nanlohy."> Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012, Peranan Batu Pamali dalam Kehidupan Masyarakat Adat di Maluku. </ref> Selain [[baileo]], rumah tua, dan ''teung soa'', batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati masyarakat adat Maluku.<ref name="Bety D.S. Hetharion, Elifas T. Maspaitella, Hendrik H. Herwawan, Effilina Kissiya, Jenny K. Matitaputty, Jaconias Nanlohy."> </ref> Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo, sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat. <ref name="Bety D.S. Hetharion, Elifas T. Maspaitella, Hendrik H. Herwawan, Effilina Kissiya, Jenny K. Matitaputty, Jaconias Nanlohy."> </ref> Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap [[soa]]. <ref name="Jendela Buku"> {{cite web| url=http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/senat-universitas/119-peranan-batu-pamali-dalam-kehidupan-masyarakat-adat-di-maluku|title= Peranan Batu Pamali dalam Kehidupan Masyarakat Adat di Maluku| accessdate= 2 April 2014.22.05|publisher= Unpatti}} </ref> Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. <ref name="Bety D.S. Hetharion, Elifas T. Maspaitella, Hendrik H. Herwawan, Effilina Kissiya, Jenny K. Matitaputty, Jaconias Nanlohy."> </ref> Seiring dengan perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali. <ref name="Bety D.S. Hetharion, Elifas T. Maspaitella, Hendrik H. Herwawan, Effilina Kissiya, Jenny K. Matitaputty, Jaconias Nanlohy."> </ref> Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa. <ref name="Bety D.S. Hetharion, Elifas T. Maspaitella, Hendrik H. Herwawan, Effilina Kissiya, Jenny K. Matitaputty, Jaconias Nanlohy."> </ref>▼
Kepulauan [[Tanimbar]] yang sekarang menjadi Kabupaten [[Maluku Tenggara Barat]], memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela. <ref name="Arnold Batkunde"> Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, Jendela Buku, Upacara Fangnea Kidabela, 2012 </ref> Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela. <ref name="Arnold Batkunde"> </ref> Upacara Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak. <ref name="Arnold Batkunde"> </ref>▼
▲'''Batu Pamali''' adalah simbol material adat masyarakat Maluku. <ref name="Bety D.S. Hetharion, Elifas T. Maspaitella, Hendrik H. Herwawan, Effilina Kissiya, Jenny K. Matitaputty, Jaconias Nanlohy."> ''Peranan Batu Pamali dalam Kehidupan Masyarakat Adat di Maluku''. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012
▲Kepulauan [[Tanimbar]] yang sekarang menjadi Kabupaten [[Maluku Tenggara Barat]], memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela. <ref name="Arnold Batkunde"> ''Upacara Fangnea Kidabela''. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, Jendela Buku
=== Makna Upacara Fangnea Kidabela ===
▲==== Makna Upacara Fangnea Kidabela ====
'''Upacara Fangnea Kidabela''' mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi. <ref name="Arnold Batkunde"> </ref> Upacara Fangnea Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial [[Kampung Sulung]] di pulau [[Enus]] yang terletak di [[Selaru]] bagian selatan pulau Yamdena. <ref name="Arnold Batkunde"> </ref> Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara ''Panas Pela'' di [[Ambon]], [[Lease]], dan [[Maluku Tengah]]. <ref name="Arnold Batkunde"> </ref> Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang tetap kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan masyarakat. <ref name="Arnold Batkunde"> </ref>
'''Hibua Lamo''' adalah rumah besar yang dijadikan simbol masyarakat adat di [[Halmahera Utara]], sekaligus simbol Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, [[Maluku Utara]]. <ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"> ''Hibua Lamo dalam Kehidupan Masyarakat Adat Tobelo di Halmahera Utara''. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012 </ref> Di Halmahera Utara terdapat tiga etnis masyarakat yang memiliki rumah adat masing-masing, misalnya rumah adat etnis [[Tobelo]] disebut ''Halu''. <ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"> </ref> Namun Hibua Lamo yang menjadi pemersatu semua etnis. Hibua Lamo adalah konstruksi dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai komunitas Hibua Lamo. <ref name="Jendela buku"> {{cite web| url=http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/senat-universitas/119-peranan-batu-pamali-dalam-kehidupan-masyarakat-adat-di-maluku|title= ''Hibua Lamo dalam Kehidupan Masyarakat Adat Tobelo di Halmahera Utara''| accessdate= 9 April 2014.11.15|publisher= Unpatti}} </ref> Hibua Lamo merupakan konsep bersama yang disebut '''''Nanga Tau Mahirete''''' (rumah kita bersama). <ref name="Jendela buku"> </ref> Orang Tobelo, [[Galela]] dan [[Loloda]] tersegregasi secara geografis, dan terbelenggu dalam tradisi, agama dan kepercayaan yang berbeda. <ref name="Jendela buku"> </ref> Perbedaan tersebut dipahami dan dihayati dengan kesucian hati dan kemurnian pikiran, kemudian diterapkan dalam sebuah ungkapan filosofis '''''Ngone O'Ria Dodoto''''' yang bermakna ''satu ibu satu kandung''. <ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"> </ref> Konsekuensi dari falsafah ''Nanga Tau Mahurete'' dan ''Ngone O'Ria Dodoto'' adalah lahirnya sebuah komunitas asli Halmahera Utara daratan maupun kepulauan dalam satu kesatuan yang teridentifikasi sebagai komunitas Hibua Lamo dan kemudian tersimbolisasi dalam rumah adat Himua Lamo. <ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"> </ref>
Dalam konteks ini komunitas Tobelo, Galela, dan Loloda mengalami proses penyatuan dalam satu sosiokultural baru yang dinamis. <ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"> </ref> Sosiokultural ini berlandaskan pada nilai-nilai ''O'dora'' (saling kaih), ''O'hanyangi'' (saling sayang), ''O'baliara'' (saling peduli), ''O'adili'' (perikeadilan) dan ''O'diai'' (kebenaran) dalam bingkai ''Nanga Tau Mahurete'' dan ''Ngone O'Ria Dodoto''. <ref name="Usman Thalib, Tontje Soumokil, John Pattiasina, Rabiyatul Uzda"> </ref>
'''Arumbae''' adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun di pegunungan. <ref name="Jendela buku"> {{cite web| url=http://www.unpatti.ac.id/index.php/profil/sejarah-singkat/103-berlayar-dalam-ombak-berkarya-dalam-negeri|title= ''Arumbae Sebagai Elemen Pandangan Dunia''| accessdate= 9 April 2014.13.15|publisher= Unpatti}} </ref> Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku. <ref name="Jendela buku"> </ref> Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya suatu masyarakat. <ref name="Jendela buku"> </ref> Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam mitos ''Barsaidi'' meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan. <ref name="Jendela buku"> </ref>
Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran. <ref name="Karel Albert Ralahalu">
Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa laut adalah medan kehidupan yang harus dihadapi. <ref name="Karel Albert Ralahalu"> </ref> Itulah sebabnya, masyarakat Maluku melihat laut sebagai ''jembatan persaudaraan'' yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya. <ref name="Karel Albert Ralahalu"> </ref> Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan jalinan ''hidup orang bersaudara'' sebagai pandangan dunia orang Maluku. <ref name="Karel Albert Ralahalu"> </ref> Kebiasaan ''papalele'', ''babalu'', ''maano'', dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut dan arumbae sebagai simbol perjuangan ekonomi. <ref name="Karel Albert Ralahalu"> </ref>
Baris 43 ⟶ 48:
Arumabe tampak dalam beragam karya seni. <ref name="Karel Albert Ralahalu"> </ref> Banyak gapura negeri adat Maluku berbentuk Arumbae. <ref name="Karel Albert Ralahalu"> </ref> Lagu daerah banyak mengumpamkan keharmonisan dengan simbol perahu atau Arumbae. <ref name="Karel Albert Ralahalu"> </ref> Di bidang olahraga, ''Arumbae Manggurebe'' telah menjadi program pariwisata dan olahraga tahunan. <ref name="Karel Albert Ralahalu"> </ref>
Tradisi pada masyarakat adat di Negeri [[Siri Sori]] [[Islam]] dan Negeri Siri Sori [[Kristen]] di pulau [[Saparua]]. <ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"> ''Sasahil dan Nekora Tradisi Tutup Rumah di Maluku''. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012 </ref> Bagi masyarakat Desa Telalora, Nekora memiliki basis nilai tolong-menolong antarwarga. <ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"> </ref> Tradisi Sasahil dan Nekora terletak pada cara dan proses pelaksanaan. <ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"> </ref> Nilai tolong-menolong yang terdapat dalam tradisi Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan menciptakan relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan. <ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"> </ref> Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan dan dipelihara secara baik. <ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"> </ref> Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial kelangsungan hidup bermasyarakat di masa mendatang. <ref name="P.J. Pelupessy, S. Rieuwpassa, R.I.E. Pelupessy, C.Y. Pesurnay, P.S. Soselisa, W.R. Sihasale, C.R. Alfons, H.Ch. Soselisa"> </ref>
|