Purwodadi, Barat, Magetan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k clean up, replaced: Beliau → Ia (3), beliau → ia (25) using AWB
Baris 1:
Purwodadi adalah nama salah satu desa yang terletak di Kecamatan Barat, Kabupaten Magetan, Jawa timur, Indonesia. Letak yang sangat strategis membuat Purwodadi menjadi dikenal di daerah-daerah disekitarnya. Saat ini desa Purwodadi dipimpin oleh seorang Kepala Desa perempuan yang bernama Suci Minarni, beliauia adalah lurah perempuan pertama desa ini. Bu Suci, begitulah masyarakat sekitar memanggil dan menyapa beliauia. Kepala Desa perempuan yang hebat dan memiliki jiwa sosial maupun kepeduliaan terhadap masyarakat yang tinggi. Wajah manis dan senyuman ramah tiap pagi yang khas saat beliauia masuk kerja di kantor Kepala Desa Purwodadi dengan mengendarai sepeda motor dinasnya. Wanita kelahiran pada rabu wage tanggal 5 Juni 1970 ini merupakan calon kepala desa tunggal desa ini yang kemenangannya mutlak beliauia dapatkan. BeliauIa juga cucu dari Kromorejo atau Mbah Gong yang merupakan lurah pertama desa ini.
 
Mbah Gong menjadi lurah pertama Desa Purwodadi yang langsung ditunjuk oleh Raden Mas Arya ( R.M.A ) Kertohadinegoro yang terkenal di masyarakat Magetan dengan sebutan Gusti Ridder. BeliauIa mendapat julukan Mbah Gong karena dahulu beliauia satu-satunya masyarakat di daerah sini yang memiliki Gong pertama kali dan menjadi penguasaha gamelan jawa yang sangat terkenal pada waktu itu. Usahanya pun bermacam-macam dan bisa dibilang beliauia merupakan pengusaha sukses. Saat penunjukan Mbah Gong menjadi lurah pertama yang ditunjuk langsung oleh Gusti Ridder, waktu itu beliauia sedang berada di pasar hewan karena bisnis beliauia tidak hanya gamelan jawa saja melainkan juga memiliki peternakan maupun perkebunan yang luas dengan puluhan buruh-buruh yang setia mengabdi kepada beliauia. Gusti Ridder yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Magetan langsung turun sendiri dan mencari Mbah Gong di pasar hewan. Disitu pun terjadi perjanjian antara Mbah Gong dan Gusti Ridder, yakni Mbah Gong bersedia ditugaskan sebagai lurah desa Purwodadi asalkan beliauia tidak meninggalkan semua bisnis-bisnisnya karena menurut beliauia menjadi lurah ini adalah sebuah pengabdian dimana beliauia bertanggung-jawab penuh terhadap masyarakat Purwodadi. Saat itu pun Mbah Gong menjadi lurah tidak mendapat bayaran, beliauia membayar pamong-pamongnya mengguanakan uang pribadi. Tidak heran jika Mbah Gong sangat disegani oleh masyarakat disekitarnya. Mbah Gong memiliki empat orang isteri yang membuat keluarga Mbah Gong menjadi keluarga besar.
 
Bu Suci selain menjadi lurah perempuan pertama desa ini, kebetulan beliauia adalah cucu dari Mbah Gong. BeliauIa adalah cucu dari garis trah isteri kedua Mbah Gong yang bernama Tukinem dan memiliki 8 orang anak. Wanita hebat yang merupakan anak dari Hardjo Lamidi ini bekerja keras menjadi tulang punggung keluarganya semenjak sakit dan meninggalnya suami tercinta beliauia yang bernama Agus Prayitno pada tahun 2010. Bekerja keras untuk anak-anak dan mengabdi kepada masyarakat adalah kegiatan keseharian beliauia saat ini semenjak terpilihnya menjadi Kepala Desa Purwodadi. Selain itu beliauia juga memiliki tiga orang anak yang sedang menempuh pendidikan, ini merupakan tanggung jawab yang besar, tugas, amanat kepada beliauia untuk menjadikan sosok wanita yang kuat dan tegar. Dimana beliauia selain mengurus keluarganya seorang diri, juga bertanggung jawab untuk mengabdi kepada masyarakat desa Purwodadi. Rasa bahagia terasa saat dimana diumumkannya beliauia menjadi Kepala Desa Purwodadi dan dilantik oleh Bupati Magetan bapak K.R.A Sumantri Notohadinagoro pada tanggal 20 Desember 2013.
 
Pada tanggal 4 Juli 1830 atau 3 Sura tahun Je 1758, Belanda mengadakan konferensi di desa Sepreh (Ngawi), dengan mengundang semua Bupati Mancanegara wetan. Ketetapan konferensi itu bahwa semua Bupati Mancanegara wetan harus menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan mulai saat itu harus tunduk kepada Belanda di Batavia.
Baris 37:
- R.M.T Sasranegara ( Gusti Papak ).
 
Pada tahun 1870 Kadipaten Purwodadi dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kadipaten Magetan. Semenjak itu Kadipaten Purwodadi tidak aktif dan bangunan pendopo didalamnya dibongkar untuk dipindahkan ke kantor Residen waktu itu. Setelah semua bangunan kosong didalamnya bekas kadipaten ini diambil alih oleh Mbah Gong. Dahulu beliauia menemui langsung Kanjeng Sultan agar bekas tanah kadipaten ini dikelola oleh beliauia. Melalui beberapa perjanjian dengan Sultan, akhirnya setelah Gusti Papak tidak menjabat sebagai Adipati disini, Mbah Gong yang mengambil alih bekas Kadipaten ini. Saat itu Mbah Gong sempat meminta ijin kepada Kanjeng Sultan untuk mendirikan bangunan lagi semenjak dibongkarnya pendopo untuk dijadikan Kantor Residen di Madiun, namun Kanjeng Sultan tidak menghendaki dan disuruhnya untuk menanami tanaman yang bisa dimakan oleh masyarakat. Yang boleh memiliki tanah ini pun harus masih keluarga dan keturunan dari Mbah Gong, karena menurut mitos dan perjanjian dengan leluhur jaman dahulu kalau bukan keluarga biasanya tidak kuat untuk memiliki tanah bekas Kadipaten Purwodadi ini.
 
Pada zaman penjajahan Jepang, Jepang memiliki akal busuk untuk memanfaatkan batu bata bekas Kadipaten ini untuk dibuat bangunan Bandara di Surabaya. Karena waktu itu yang memegang alih bekas Kadipaten ini adalah Mbah Gong, Jepang pun meminta ijin kepada Mbah Gong. Dengan rasa berat hati, beliauia pun memberi ijin Jepang untuk membawa batu bata pagar dari Kadipaten ini karena Jepang memintanya dengan paksaan. Namun setelah dibawa oleh Jepang, dalam perjalanannya pun menurut cerita dari buruh-buruh Jepang ada hal-hal keanehan yang terjadi. Sesampainya batu bata ini di Surabaya, banyak dari buruh-buruh dan penjajah Jepang sendiri yang meninggal misterius. Mereka banyak yang meninggal dengan perut buncit dan akhirnya mbledos (istilah jawanya). Banyak dari mereka yang bermimpi aneh yang menyuruh untuk mengembalikan batu bata ini kepada Mbah Gong. Dalam mimpi mereka konon kalau batu bata ini tidak dikembalikan ke Mbah Gong atau ke asalnya di desa Purwodadi, maka tempat yang dibangun dengan menggunakan batu bata ini akan menjadi tempat yang wingit atau angker dan memakan banyak korban sampai meninggal dunia. Batu bata ini adalah batu bata bekas Ratu atau Adipati yang tidak sembarangan orang bisa memilikinya, jadi batu bata maupun lahan didalamnya meiliki nilai mistis maupun aura tersendiri. Sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian Mbah Gong dengan Kanjeng Sultan yang tidak boleh bekas Kadipaten ini dimiliki oleh darah lain karena dikhawatirkan tidak kuat untuk memilikinya.
 
Suatu ketika pun Jepang mengerahkan pasukannya untuk menyerahkan kembali batu bata bekas Kadipaten Purwodadi ini kepada Mbah Gong. Pagar sebelah utara yang sudah dibongkar oleh Jepang ditata kembali oleh masyrarakat atas perintah dari Mbah Gong. Masyarakat Purwodadi pun dengan penuh semangat dan kebersamaan menata kembali pagar Kadipaten ini. Pada waktu itu Jepang benar-benar merasa ketakutan akan hal ini dan mereka tidak mau mengambil resiko yang lebih parah karena saat itu sudah memakan banyak korban nyawa. Setelah ditatanya kembali seperti semula, Mbah Gong pun menjadikan tanah bekas Kadipaten ini dengan perkebunan pribadi beliauia dan diberi nama kebon jero ( bonjero ), kira-kira tanah bekas Kadipaten ini memiliki luas sekitar 4 hektar. Kebon berarti kebun dan jero berarti dalam, tanah ini diberi nama “bonjero” karena lahan yang berada didalam tanah bekas Kadipaten ini dimanfaatkan untuk perkebunan, jadi kebun yang terletak didalam pagar bekas Kadipaten Purwodadi. Sampai saat ini pun tanah bekas Kadipaten ini dikelola oleh keluarga keturunan dari Mbah Gong.
 
Masyarakat sering menyebutnya dengan nama bonjero dalam bahasa halusnya adalah kebondalem. Pihak keluarga dari Mbah Gong juga memanfaatkan tanah didalamnya untuk bercocok tanam. Dahulu pada waktu Mbah Gong masih sugeng, banyak tanaman yang tumbuh didalamnya. Saat musim panen sudah tiba, tanah bonjero menjadi lahan yang kosong dan luas. Biasanya masyarakat sekitar terutama anak-anak kecil banyak yang bermain layang-layang disini, mereka ingin beristirahat dan menenangkan fikiran dengan merasakan angin sepoi-sepoi didalam bonjero.
 
Desa Purwodadi memiliki letak lapangan yang strategis dan ini membuat lapangan Purwodadi sering digunakan untuk acara-acara besar. Pada saat pemerintahan Kadipaten Purwodadi masih aktif, dahulu lapangan ini sebenarnya adalah alun-alun kota milik Kadipaten Purwodadi. Para Adipati yang menjabat, abdi dalem beserta masyarakat sering juga menggunakan alun-alun ini untuk acara-acara besar. Semenjak tahun 1870 yang menghapuskan Kadipaten Purwodadi, maka alun-alun utama diubah menjadi lapangan milik desa Purwodadi. Sebelah utara dari bekas alun-alun ini dahulu juga merupakan pasar yang ramai karena memiliki letak yang strategis. Dimana ada alun-alun pasti ada Masjid Agung, letak Masjid Agung berada disebelah barat alun-alun, yaitu di desa Kauman. Pada umumnya nama dari daerah dimana disitu terletak Masjid Agung yang di sebelah barat alun-alun, maka daerah tersebut diberi nama Kauman. Saat ini bekas dari Masjid Agung digunakan untuk makam keluarga dari Raden Abdullah Mustofa yang pada jaman dahulu beliauia merupakan seorang Asistan Wedono. Masyarakat sekitar sering menyebutnya dengan makam Eyang Penghulu. Nenek dari Bu Suci sendiri juga dimakamkan dimakam keluarga ini, karena disitu letak makam keluarga dari lurah pertama desa Keras. Selain cucu dari lurah pertama desa Purwodadi, Bu Suci juga merupakan cucu lurah pertama desa Keras dari garis trah keluarga ibunda Bu Suci yang bernama Warsini. Istri lurah pertama desa Keras dimakamkan di makam keluarga Raden Abdullah Mustofa atau Eyang Penghulu dan suaminya di makamkan desa Keras. Sedangkan makam dari Mbah Gong berada di makam cungkup desa Purwodadi.