D. Djajakusuma: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
Baris 138:
Djajakusuma sering memasukkan kesenian tradisional ke dalam film-filmnya,{{sfn|Setiawan 2009, National Film Month}} dan dua diantaranya (''Lahirnja Gatotkatja'' dan ''Bimo Kroda'') berdasarkan pada cerita wayang tradisional dan menggunakan kostum dan alur yang terinspirasi dari wayang.<ref>{{harvnb|Suara Karya 1987, D.Djajakusuma}}; {{harvnb|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Mengenal Wayang}}</ref> Fokus pada aspek kebudayaan tradisional ini ditinggalkan secara umum setelah 1965, dengan digantikan oleh film-film mengenai kehidupan perkotaan.{{sfn|Sen|Hill|2000|p=156}} Pembuatan teatrikal Djajakusuma dibuat dengan teknik penceritaan baru yakni mengadapsi jenis kesenian tradisional pada jaman modern.{{sfn|Berita Buana 1975, Djaduk Djajakusuma Pencetus}} Sebagai seorang dosen yang mengajarkan penulisan naskah dan sejarah teater, Djajakusuma berfokus pada kesenian Indonesia.
Sosiolog Indonesia [[Umar Kayam]], yang bertugas pada Dewan Kesenian Jakarta bersama Djajakusuma, memandangnya sebagai seorang sutradara yang sangat disiplin. Biran menganggapnya sebagai orang yang sangat tempramental yang bisa muncul secara tiba-tiba, namun dapat ditenangkan dengan cepat ketika pemicunya dihilangkan; kebiasaan tersebut telah dirasakan oleh beberapa orang yang pernah bekerja dengan Djajakusuma.{{sfn|Kompas 1987, Budayawan D. Djajakusuma}} Dalam sebuah ulasan pada majalah film ''Djaja'', ia dideskripsikan sebagai pekerja keras dan berdedikasi tinggi terhadap kerajinannya, pada titik yang menekankan hubungan percintaan.{{sfn|Kadarjono|1970|p=25}}
==Pencapaian==
|