Sampoerna: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Ricky Setiawan (bicara | kontrib)
RaflyH (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 31:
Pada tahun 1914, dilakukan pembangunan jembatan baru dan karenanya arus lalu lintas diarahkan melalui jalan di depan toko Lieem Seeng Tee.<ref name="HOS" /> Karenanya, pembeli menjadi berlimpah dan bisnis Lieem tumbuh dengan cepat.{{sfn|Gessler|2007|p=24}} Pada tahun 1915, anak pertamanya, Swie Hwa lahir, diikuti oleh anak keduanya Swie Ling di tahun 1915.{{sfn|Gessler|2007|p=24}} Namun di tahun 1916, toko kecil ini mengalami kebakaran parah yang menghancurkan bangunan beserta isinya.{{sfn|Gessler|2007|p=24}} Beruntung atas bantuan dari keluarga dan koleganya, Liem berhasil membangun kembali rumah dan tokonya dalam waktu satu minggu.{{sfn|Gessler|2007|p=25}}
 
Tak lama setelah rumahnya terbakar, Liem mendapatkan kabar bahwa ada sebuah perusahaan pedagang rokok yang bangkrut dan terpaksa menjual berbagai jenis rokok.<ref name="legacy" />{{rp|25}} Dengan bantuan tabungan dari istrinya, Liem membeli aset-aset perusahaan tersebut.<ref name="legacy" />{{rp|26}} Setelah melakukan pembelian ini, usahanya berkembang makin pesat.<ref name="legacy" />{{rp|26}} Toko Liem disukai karena campuran tembakaunya yang khas dan bisa disesuaikan dengan keinginan pembelinya.<ref name="legacy" />{{rp|27}}
 
Pada tahun 1921, anak perempuannya, Sie Nio, lahir, diikuti oleh kelahiran Hew Nio di tahun 1926.<ref name="legacy" />{{rp|29}} Karena baik bisnis maupun jumlah keluarganya semakin besar, Liem memutuskan untuk pindah ke Jalan Gembong nomor 72-73.<ref name="legacy" />{{rp|29}}
 
Pada masa ini ia bereksperimen dengan campuran tembakau dan akhirnya ia berhasil menciptakan Dji Sam Soe, sebuah merek yang menjadi sumber kesuksesan keluarganya hingga empat generasi ke depan.<ref name="legacy" />{{rp|30}} Liem Seeng Tee bertekad menjadikan perusahaannya sebagai "Raja Tembakau" dengan menempatkan huruf Tionghoa "Ong" (王), yang berarti "raja", di depan produk unggulannya, [[Dji Sam Soe]].<ref name="legacy" />{{rp|31}} Kemudian ia menggabungkan simbol "Ong" dengan huruf Tionghoa yang berarti "rakyat" sehingga menghasilkan kombinasi huruf Tionghoa yang bermakna "Sampoerna".<ref name="legacy" />{{rp|31}}
 
Liem Seeng Tee sendiri sangat percaya dengan mitos Tiongkok bahwa angka 9 mempunyai makna akan kesempurnaan dan keberuntungan, dengan dijumlahkannya angka 234 menjadi 9, Liem percaya bahwa kelak perusahaannya akan selalu beruntung.<ref name="legacy" />{{rp|30}} Oleh Sebab itu, dimulai dari merek dagang pertamanya '''[[Dji Sam Soe]]''', nama perusahaannya '''[[HM Sampoerna]]''', serta jumlah bintang beserta sudut-sudutnya mengandung angka 9.<ref name="legacy" />{{rp|30}} Filosofi itulah yang dipegang terus hampir satu abad lamanya.<ref name="legacy" />{{rp|30}}
 
=== Taman Sampoerna (1933 - 1942) ===
Meskipun telah menjadi badan usaha di tahun 1913, butuh waktu hingga 19 tahun sebelum akhirnya Liem mampu membeli dan membuka pabrik besar untuk usahanya.<ref name="legacy" />{{rp|37}} Pada tahun 1932, Liem membeli sebuah properti bekas panti asuhan dari sebuah yayasan Belanda.<ref name="legacy" />{{rp|38}} Kompleks gedung ini cukup luas, dilengkapi dengan sebuah audiotorium dan dua rumah.<ref name="legacy" />{{rp|38}} Liem kemudian merenovasinya dan pindah ke sana di tahun 1933, kemudian memberinya nama "Taman Sampoerna."<ref name="legacy" />{{rp|38}}
 
Auditorium di gedung tersebut pun diubah menjadi teater dan bioskop yang dilengkapi proyektor moderen, menampilkan film-film Barat yang populer kala itu.<ref name="legacy" />{{rp|38}} Teater ini buka setiap hari, kecuali di hari tahun baru Tionghoa.<ref name="legacy" />{{rp|40}} Beberapa tokoh populer yang pernah mendatangi teater ini antara lain [[Charlie Chaplin]] (pada 1932) serta [[Soekarno]] (pada 1938).<ref name="legacy" />{{rp|40}}
 
Setiap harinya, pekerja datang pukul 05.00 untuk sarapan di kantin.<ref name="legacy" />{{rp|48}} Kebanyakan bekerja selama 12-15 jam sehari, tujuh hari seminggu.<ref name="legacy" />{{rp|48}}
 
Selain ''Dji Sam Soe'', Sampoerna juga membuat rokok lain seperti ''Sampoerna Star'', ''Summer Palace'', dan ''Statue of Liberty''.<ref name="legacy" />{{rp|50}} ''Dji Sam Soe'' merupakan satu-satunya produk Sampoerna yang tidak bisa dibeli secara kredit - para agen harus membayar dengan uang kas untuk mendapatkannya.<ref name="legacy" />{{rp|50}} Nilai Dji Sam Soe ketika itu sangat tinggi, dan seringkali digunakan sebagai alat tukar menggantikan mata uang kolonial Belanda yang kurang stabil.<ref name="legacy" />{{rp|50}}
 
=== Perang dan kemerdekaan (1942 - 1949) ===
Ketika mendengar tentara Jepang sudah memasuki wilayah Wonokromo, Liem membuka pintu koperasi dan ruang persediaan sehingga karyawannya bisa mengambil semua yang ada di sana - ia memilih memberikannya kepada tetangga dan karyawan alih-alih dirampas tentara Jepang.<ref name="legacy" />{{rp|61}} Sekitar enam jam setelah Belanda menyerah di Wonokromo, pasukan Jepang datang ke Taman Sampoerna.<ref name="legacy" />{{rp|61}} Liem kemudian ditahan dan di saat yang sama, Tjiang Nio ditodong dan dipaksa membuka brankas dan penyimpanan harta keluarga.<ref name="legacy" />{{rp|61}} Namun sebelum pergi, seorang perwira Jepang menceritakan bahwa ia pun memiliki istri dan tiga anak yang menunggunya di rumah.<ref name="legacy" />{{rp|62}} Tak tega melihat anak-anak Liem dan Tjiang Nio menderita, perwira Jepang tersebut memberikan empat buah perhiasan untuk dijual.<ref name="legacy" />{{rp|63}}
Di penjara Koblen, Surabaya, Liem dituduh membantu RRT dalam perang melawan Jepang dengan mengirimkan dana ke sana.<ref name="legacy" />{{rp|64}} Liem menolak tuduhan ini, namun ia tetap dikirim ke kamp konsentrasi di Ngawi, Jawa Timur, sekitar dua jam Barat Daya Surabaya.<ref name="legacy" />{{rp|64}} Tentara Jepang kemudian menggunakan pabrik Liem untuk memproduksi rokok mereka sendiri, "Fuji."<ref name="legacy" />{{rp|64}}
 
Meski berpindah-pindah, sebagian besar masa penahanan Liem dihabiskan di penjara Cimahi.<ref name="legacy" />{{rp|69}} Berkat kontak personal yang dimiliki, keluarga Liem bisa mengirimkan barang-barang seperti surat, makanan kaleng, dan rokok untuk Liem di penjara.<ref name="legacy" />{{rp|69}} Di penjara ini, Liem yang ketika itu bisa berbicara dalam bahasa Mandari, Hokkien, Jawa, Belanda, dan Indonesia, mempelajari cara menulis huruf Tiongkok dari sesama tahanan.<ref name="legacy" />{{rp|69}} Tak beberapa lama, anak Liem juga ikut ditahan Jepang - Swie Hwa dipenjara selama sembilan bulan karena melakukan bisnis rokok sementara Swie Lieng ditahan atas tuduhan menjadi mata-mata Belanda.<ref name="legacy" />{{rp|70}}
Di penjara Koblen, Surabaya, Liem dituduh membantu RRT dalam perang melawan Jepang dengan mengirimkan dana ke sana.<ref name="legacy" />{{rp|64}} Liem menolak tuduhan ini, namun ia tetap dikirim ke kamp konsentrasi di Ngawi, Jawa Timur, sekitar dua jam Barat Daya Surabaya.<ref name="legacy" />{{rp|64}} Tentara Jepang kemudian menggunakan pabrik Liem untuk memproduksi rokok mereka sendiri, "Fuji."<ref name="legacy" />{{rp|64}}
 
Pada tanggal 27 Agustus 1945, sepuluh hari setelah Soekarno menyatakan kemerdekaan Indonesia, Liem dilepaskan dari penjara dan bertemu keluarganya di Jakarta.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Dari sana, mereka bersama-sama berjuang kembali ke Taman Sampoerna.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Namun sesampainya di sana, mereka menemukan bahwa baik rumah maupun pabrik mereka sudah hancur dijarah.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Rumah mereka di Ngaglik pun ditempati penghuni liar sehingga mereka terpaksa mengungsi mencari tempat tinggal sementara.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Mereka tinggal di sana selama beberapa minggu hingga akhirnya bisa kembali ke rumah mereka.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Sejak peristiwa ini terjadi, tanggal 27 Agustus, tanggal pelepasan Liem, dirayakan dengan acara Selamatan setiap tahunnya.<ref name="legacy" />{{rp|72}}
Meski berpindah-pindah, sebagian besar masa penahanan Liem dihabiskan di penjara Cimahi.<ref name="legacy" />{{rp|69}} Berkat kontak personal yang dimiliki, keluarga Liem bisa mengirimkan barang-barang seperti surat, makanan kaleng, dan rokok untuk Liem di penjara.<ref name="legacy" />{{rp|69}} Di penjara ini, Liem yang ketika itu bisa berbicara dalam bahasa Mandari, Hokkien, Jawa, Belanda, dan Indonesia, mempelajari cara menulis huruf Tiongkok dari sesama tahanan.<ref name="legacy" />{{rp|69}} Tak beberapa lama, anak Liem juga ikut ditahan Jepang - Swie Hwa dipenjara selama sembilan bulan karena melakukan bisnis rokok sementara Swie Lieng ditahan atas tuduhan menjadi mata-mata Belanda.<ref name="legacy" />{{rp|70}}
 
Pada tahun 1946, para pejuang kemerdekaan saat itu menangkapi mereka yang dicurigai bekerja sama dengan penjajah, sebagian besar merupakan orang Belanda atau orang Tiongkok.<ref name="legacy" />{{rp|76}} Karena alasan ini, Swie Ling mengungsi bersama anaknya Thian Tao (2 tahun kala itu), dan istrinya, Nan, yang sedang mengandung.<ref name="legacy" />{{rp|76}} Awalnya mereka mengungsi ke Hong Kong, namun untuk keselamatan, Nan diungsikan ke Belanda sementara Swie Ling kembali ke Surabaya yang saat itu masih dalam keadaan kacau.<ref name="legacy" />{{rp|76}} Nan akhirnya melahirkan anak kedua mereka, Tien Pao, di Schiedam, Belanda.<ref name="legacy" />{{rp|76}} Pada tahun 1948, Swie Ling meninggalkan Surabaya dan pergi ke Jakarta untuk menemui istri dan kedua anaknya yang terlebih dahulu sampai di sana.<ref name="legacy" />{{rp|77}} Tak lama, Nan melahirkan putra ketiganya, Thian Hok.<ref name="legacy" />{{rp|77}}
Pada tanggal 27 Agustus 1945, sepuluh hari setelah Soekarno menyatakan kemerdekaan Indonesia, Liem dilepaskan dari penjara dan bertemu keluarganya di Jakarta.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Dari sana, mereka bersama-sama berjuang kembali ke Taman Sampoerna.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Namun sesampainya di sana, mereka menemukan bahwa baik rumah maupun pabrik mereka sudah hancur dijarah.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Rumah mereka di Ngaglik pun ditempati penghuni liar sehingga mereka terpaksa mengungsi mencari tempat tinggal sementara.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Mereka tinggal di sana selama beberapa minggu hingga akhirnya bisa kembali ke rumah mereka.<ref name="legacy" />{{rp|72}} Sejak peristiwa ini terjadi, tanggal 27 Agustus, tanggal pelepasan Liem, dirayakan dengan acara Selamatan setiap tahunnya.<ref name="legacy" />{{rp|72}}
 
Pada tahun 1949, meski Surabaya masih dilanda kekacauan, Liem berhasil membangun kembali Taman Sampoerna beserta teaternya..<ref name="legacy" />{{rp|79}} Tidak hanya itu, karena beberapa bagian hancur total, ia merombak dan menatarkan fasilitas di sana.<ref name="legacy" />{{rp|79}} Di akhir 1949, Taman Sampoerna sudah aktif sepenuhnya seperti sedia kala.<ref name="legacy" />{{rp|79}}
Pada tahun 1946, para pejuang kemerdekaan saat itu menangkapi mereka yang dicurigai bekerja sama dengan penjajah, sebagian besar merupakan orang Belanda atau orang Tiongkok.<ref name="legacy" />{{rp|76}} Karena alasan ini, Swie Ling mengungsi bersama anaknya Thian Tao (2 tahun kala itu), dan istrinya, Nan, yang sedang mengandung.<ref name="legacy" />{{rp|76}} Awalnya mereka mengungsi ke Hong Kong, namun untuk keselamatan, Nan diungsikan ke Belanda sementara Swie Ling kembali ke Surabaya yang saat itu masih dalam keadaan kacau.<ref name="legacy" />{{rp|76}} Nan akhirnya melahirkan anak kedua mereka, Tien Pao, di Schiedam, Belanda.<ref name="legacy" />{{rp|76}} Pada tahun 1948, Swie Ling meninggalkan Surabaya dan pergi ke Jakarta untuk menemui istri dan kedua anaknya yang terlebih dahulu sampai di sana.<ref name="legacy" />{{rp|77}} Tak lama, Nan melahirkan putra ketiganya, Thian Hok.<ref name="legacy" />{{rp|77}}
 
Pada tahun 1949, meski Surabaya masih dilanda kekacauan, Liem berhasil membangun kembali Taman Sampoerna beserta teaternya..<ref name="legacy" />{{rp|79}} Tidak hanya itu, karena beberapa bagian hancur total, ia merombak dan menatarkan fasilitas di sana.<ref name="legacy" />{{rp|79}} Di akhir 1949, Taman Sampoerna sudah aktif sepenuhnya seperti sedia kala.<ref name="legacy" />{{rp|79}}
 
=== Pembangunan kembali (1949 - 1954) ===
Pada tahun 1950-an, fisik Liem Seeng Tee menjadi lemah, yang terutama diakibatkan kondisi yang dialaminya saat berada dalam tahanan tentara Jepang.<ref name="legacy" />{{rp|82}} Namun ia tetap meneruskan kebiasaan menginspeksi pabrik dan bertemu dengan staf serta manajernya.<ref name="legacy" />{{rp|82}} Di masa ini, terdapat pertentangan antara Liem Seeng Tee dengan anaknya, Swie Ling.<ref name="legacy" />{{rp|83}} Untuk menghindari pertikaian lebih dalam, istri Liem kemudian mengusulkan pada anaknya untuk pindah dari Surabaya ke Bali.<ref name="legacy" />{{rp|83}} Enam bulan kemudian, Swie Lieng menemukan tempat yang cocok di Diponegoro dan mendirikan pabrik di sana dan menamainya PT Panama dengan merek produk ''Panamas Kuning''.<ref name="legacy" />{{rp|83}} Meneruskan tradisi ayahnya, ia mendirikan rumah bambu dekat pabriknya tersebut.<ref name="legacy" />{{rp|84}} Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, Nan, istri Swie Ling, membawa anak-anaknya tinggal di Hong Kong, kemudian di Melbourne, dan akhirnya mereka dikuliahkan di Texas.<ref name="legacy" />{{rp|87}}
 
=== Kebangkitan komunis di Indonesia (1954 - 1960) ===
Kebangkitan komunis di Indonesia mengakibatkan timbul perpecahan antara manajemen dan pekerja di berbagai perusahaan, tak terkecuali perusahaan Swie Ling.<ref name="legacy" />{{rp|88}} Karena perpecahan ini, ia tak bisa lagi datang melihat pabriknya di jam kerja dan menyerahkan pengelolaannya ke manajer yang loyal kepadanya.<ref name="legacy" />{{rp|88}} Pada akhir tahun 1954, polisi datang ke pabrik untuk menyelidiki pelanggaran terhadap aturan kerja serikat buruh.<ref name="legacy" />{{rp|88}} Mereka pun menangkap beberapa manajer Swie Ling dan memenjarakannya.<ref name="legacy" />{{rp|88}} Mendengar ini, Swie Ling langsung mendatangi kantor polisi setempat, mengabaikan permintaan keluarganya untuk tetap tinggal.<ref name="legacy" />{{rp|88}} Ia meminta polisi tersebut menahannya alih-alih menangkap manajernya, karena mereka hanya mengikuti perintahnya.<ref name="legacy" />{{rp|88}} Setelah debat yang cukup lama, kepala polisi kemudian setuju dan menahan Liem selama sepuluh tahun.<ref name="legacy" />{{rp|88}}. Di kemudian hari Liem berkomentar bahwa penjara tersebut terasa seperti hotel mewah bila dibandingkan penjara yang ia tempati selama masa penjajahan Jepang.<ref name="legacy" />{{rp|88}}
 
Pada tahun 1955, istri Liem, Tjiang Niao meninggal karena kanker.<ref name="legacy" />{{rp|89}} Tingkat kesehatan Liem yang kala itu juga tengah mengalami masalah akibat hubungan pekerja dan manajmen yang buruk pun mulai menurun.<ref name="legacy" />{{rp|90}} Pada tahun 1960, Liem Seeng Tee meninggal akibat [[gagal jantung]] di usia 63 tahun.<ref name="legacy" />{{rp|90}}
 
=== Generasi kedua ===
Dalam tradisi keluarga Tionghoa, ketika seorang kepala keluarga meninggal, yang mewariskan bisnis keluarga adalah anak tertua di keluarga tersebut.<ref name="legacy" />{{rp|91}} Namun saat itu, anak tertua Liem, Swie Hua, sudah memiliki bisnis perdagangan tembakau sendiri di [[Jawa Tengah]] dan [[Kudus]] yang kondisi finansialnya saat itu mendekati bahkan di atas Sampoerna.<ref name="legacy" />{{rp|91}} Anak keduanya, Swie Ling, sudah membangun pabrik rokok sendiri, PT Panamas, di Bali.<ref name="legacy" />{{rp|91}} Anak bungsunya, Kwang, tidak menunjukkan minat terhadap bisnis ini.<ref name="legacy" />{{rp|91}} Akhirnya bisnis rokok Sampoerna dilanjutkan oleh anak ketiga dan keempatnya, Sien dan Hwee, bersama dengan suami masing-masing.<ref name="legacy" />{{rp|91}}
 
Setelah kematian Liem, bisnis rokok Sampoerna jatuh memburuk.<ref name="legacy" />{{rp|92}} Hal ini diperparah dengan adanya konflik manajemen dan buruh, serta persaingan bisnis yang semakin ketat terutama dari perusahaan-perusahaan asing yang menjual rokok [[sigaret kretek mesin]].<ref name="legacy" />{{rp|92}} Di tahun 1959, pabrik-pabrik rokok Sampoerna dapat dikatakan hampir tidak beroperasi.<ref name="legacy" />{{rp|92}} Sebagian besar mesin pengaduk dan pembuat sigaret sudah dijual dan perusahaan dalam kondisi terpecah-pecah, terancam kebangkrutan.<ref name="legacy" />{{rp|92}}
 
Swie Hwa, anak pertama Liem, merasa perlu melakukan sesuatu.<ref name="legacy" />{{rp|92}} Namun masalahnya ia sudah memiliki bisnis perdagangan tembakau sendiri.<ref name="legacy" />{{rp|92}} Ia pun mengirimkan surat kepada adiknya, Swie Ling, di Bali dan menceritakan kondisi Taman Sampoerna kini, memohonny auntuk kembali.<ref name="legacy" />{{rp|92}} Mendengar betapa terpuruknya Taman Sampoerna, Swie Ling setuju untuk kembali.<ref name="legacy" />{{rp|93}} Ia mulai merintis kembali perusahaan tersebut dan memfokuskan produksinya pada merek ''Dji Sam Soe''.
 
== Anggota keluarga ==
Baris 81 ⟶ 80:
* [[Liem Seeng Tee]] (1893-1956)
==== Generasi kedua ====
* [[BudiBoedi Sampoerna]] (29 Desember 1934-8 Agustus 2011)
* [[Aga Sampoerna]] (1915-1994)
* [[Putera Sampoerna]]
 
==== Generasi ketiga ====
* [[Michael Sampoerna]]
* [[Michelle Sampoerna]]
 
== Referensi ==