Panglima Laôt: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Panglima Laôt (atau Panglima Laot)''' merupakan suatu struktur adat di kalangan masyarakat nelayan di propinsi [[Nanggroe Aceh Darussalam]], yang bertugas memimpin persekutuan adat pengelola Hukôm Adat Laôt. Hukôm Adat Laôt dikembangkan berbasis syariah Islam dan mengatur tata cara penangkapan ikan di laut (''meupayang''), menetapkan waktu penangkapan ikan di laut, melaksanakan ketentuan-ketentuan adat dan mengelola upacara-upacara adat kenelayanan, menyelesaikan perselisihan antar nelayan serta menjadi penghubung antara nelayan dengan penguasa (dulu ''uleebalang'', sekarang pemerintah daerah).
 
'''Latar belakang historis '''
 
Hukôm Adat Laôt mulai dikenal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637) dari Kesultanan Samodra Pasai. Di masa lalu, Panglima Laôt merupakan perpanjangan kedaulatan Sultan atas wilayah maritim di Aceh. Dalam mengambil keputusan, Panglima Laôt berkoordinasi dengan ''uleebalang'', yang menjadi penguasa wilayah administratif. Struktur kelembagaan Panglima Laôt bertahan selama masa penjajahan [[Belanda]] (1904-1942), pendudukan [[Jepang]] (1942-1945) hingga sekarang. Struktur ini mulanya dijabat secara turun temurun, meski ada juga yang dipilih dengan pertimbangan senioritas dan pengalaman dalam bidang kemaritiman.
 
'''Pengakuan hukum'''
 
Struktur adat ini mulai diakui keberadaannya dalam tatanan kepemerintahan daerah sebagai organisasi kepemerintahan tingkat desa di [[Aceh_Besar|Kabupaten Aceh Besar]] pada tahun 1977 (Surat Keputusan Bupati Aceh Besar No. 1/1977 tentang Struktur Organisasi Pemerintahan di Daerah Pedesaan Aceh Besar). Akan tetapi, fungsi dan kedudukannya belum dijelaskan secara detail. Pada tahun 1990, Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Aceh menerbitkan Peraturan Daerah No. 2/1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat, yang menyebutkan bahwa Panglima Laôt adalah orang yang memimpin adat istiadat, kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut.
 
'''Kewenangan Adat'''
Baris 15:
'''Struktur organisasi'''
 
Struktur organisasi vertikal Panglima Laôt mulai ditata pada Musyawarah Panglima Laôt se Nanggroe Aceh Darussalam di Banda Aceh pada Juni 2002. Panglima Laôt di tingkat lhôk, disingkat Panglima Lhôk, bertanggung jawab menyelesaikan perselisihan dan persengkataan nelayan di tingkat lhôk. Bila perselisihan tidak selesai di tingkat lhôk, maka diajukan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Panglima Laôt Kabupaten, yang disebut Panglima Laôt Chik atau Chik Laôt. Selanjutnya bila perselisihan mencakup antar kabupaten, propinsi atau bahkan internasional, akan diselesaikan di tingkat propinsi oleh Panglima Laôt Propinsi[[http://www.panglimalaot.or.id Panglima Laôt Propinsi]].
 
'''Fungsi dan tugas Panglima Laôt'''
Baris 29:
Masyarakat nelayan Aceh mengenal beberapa teknik penangkapan ikan di laut dan teknik ini diatur dalam Hukôm Adat Laôt, seperti seperti ''Palong'', ''Pukat langgar'', ''Pukat Aceh'', ''Perahoe'', ''Jalo'', ''Jeue'', ''Jareng'', ''Ruleue'', ''Kawe go'', ''Kawe tiek'', ''Geunengom'', ''Bubee'', ''Sawok''/''Sareng'', ''Jang'', ''Jeureumai'', dan ''Nyap''.
 
Palong adalah alat tangkap sejenis jaring berbentuk persegi panjang yang dibentangkan secara horisontal dengan kayu atau bambu sebagai kerangkanya. Palong dibangun di atas perahu atau didirikan di tengah laut. Di [[Aceh_Selatan|Aceh selatanSelatan] disebut Bagan. Jenis-jenis ikan yang ditangkap antara lain: ''bileh bu'' (teri nasi), ''suree'' (tongkol), ''noh'' (cumi-cumi).
 
Pukat (''beach seine'') dioperasikan di daerah pantai atau sekitar muara. Pukat digunakan dalam dua cara: 1) laboh darat: menggiring dan menarik pukat yang direntangkan di laut ke arah pantai. Pukat ini hanya bisa digunakan pada pantai tak berkarang dan hanya boleh dilakukan di lokasi-lokasi tertentu yang telah ditetapkan oleh Panglima Laôt, yang disebut ''lheun''; dan 2) laboh laôt: melabuh pukat di tengah laut atau biasa disebut meupayang. Seringkali dilakukan pada saat musim ombak besar sehingga sulit melabuh pukat di pantai. Seringkali pula dilakukan pada saat musim ikan pelagis.
 
Perahoe kawe menggunakan pancing (''handline'') atau jalo/jala (''net''). Alat ini digunakan di teluk (lhôk) atau [[lagoon]] (''pusong'').
 
'''Dampak tsunami terhadap lembaga Panglima Laôt'''
 
[[Gempa_bumi_Samudra_Hindia_2004|Tsunami]] yang terjadi pada [[26_Desember|26 Desember]] [[2004]] lalu menghancurkan sebagian besar infrastruktur kelembagaan Panglima Laôt sebagaimana halnya infrastruktur fisik perikanan laut di [[Nanggroe Aceh Darussalam]]. Tidak ada catatan pasti berapa jumlah Panglima Laôt yang hilang atau tewas diterjang gelombang pasang yang menghantam sebagian besar pesisir barat dan sebagian pesisir utara dan timur Aceh. Akan tetapi sekitar 13-14 ribu nelayan dinyatakan hilang atau tewas. Karena secara tradisional Panglima Laôt adalah 'individu' bukan sebuah komite yang terdiri dari beberapa orang pengurus, sehingga masyarakat nelayan yang selamat dari tsunami mengalami kesulitan memilih penggantinya secara cepat dan memenuhi segala kriteria yang telah disepakati secara turun temurun. Selain itu, karena Hukôm Adat Laôt merupakan konvensi (hukum yang tidak tertulis) dan tidak terdokumentasi dengan baik sebelumnya, besar peluangnya untuk musnah bila sebagian besar orang yang mengerti ikut menjadi korban tsunami.
 
Tsunami juga mengakibatkan susutnya produksi perikanan di Aceh hingga 60 persen seiring dengan hancurnya 65 persen infrastruktur dan 55 persen peralatan perikanan. Keinginan untuk mempercepat upaya pemulihan berpeluang mendorong industri perikanan untuk menggenjot kapasitas tangkapnya dan akhirnya bisa menimbulkan penangkapan yang berlebihan (''overfishing'').
Baris 45:
'''Implikasi dalam pengembangan'''
 
Akan tetapi, [[tsunami]] juga memberikan peluang positif bagi pengembangan sistem pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di Aceh ke arah yang lebih modern dalam hal pengelolaan dan perencanaan. Status hak-hak tangkap ikan dan wilayah kewenangan adat dapat didokumentasikan dan diuraikan, termasuk melibatkan aspek hukum dan perlindungan. Pengenalan struktur organisasi pendukung yang melibatkan banyak pihak dalam mengelola Hukôm Adat Laôt memberikan terciptanya kesepahaman dan bagi peran dalam praktek sehari-hari. Komponen-komponen industri perikanan yang belum dilibatkan dalam sistem lama, seperti budidaya dan pengolahan, akan memberikan peluang peningkatan kapasitas ekonomi lembaga adat ini sehingga cita-cita sebuah rejim pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang terpadu dapat dicapai.