Soedarpo Sastrosatomo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tambahan kejadian pernikahan |
||
Baris 32:
Di masa tuanya ia dikenal sebagai [[filantropis]] serta banyak berhubungan dan membantu aktivis pergerakan, politisi, serta akademisi.
Soedarpo menikah dengan Minarsih Wiranatakusumah (lebih dikenal dengan nama Mien Sudarpo) dan dikaruniai tiga
Pada awalnya pernikahan Soedarpo dan Mien tidak berjalan mulus. Berkenalan karena satu kantor, Soedarpo yang berdarah Jawa saat itu bekerja sebagai staf Kementerian Penerangan Bagian Luar Negeri Departemen Penerangan di mana Mien bekerja. Tetapi pada saat ingin melamar di tahun 1946, Ibu Mien, Sjarifah Nawawi (istri ketiga dari [[Wiranatakoesoema V]]) tidak memberikan izin karena belum mengenal Soedarpo. Nyonya Sjarifah, wanita berdarah [[Orang Minangkabau|Minang]] yang sejak Mien berumur 2 bulan diceraikan oleh Wiranatakoesoema V, berharap agar Mien menikahi pemuda yang lebih mapan. Pada akhirnya sang ibu memberikan persyaratan, Soedarpo harus mendapat surat izin untuk menikahi Mien dari ayah Mien, Wiranatakoesoemah, yang saat itu menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung di Yogyakarta, dan juga dari paman Mien di Malang. Menurut adat Minang, sang paman inilah pemegang keputusan terakhir.
Saat itu Soedarpo juga sibuk. Beliau yang saat itu masih 26 tahun, harus bepergian ke Yogyakarta untuk menyampaikan hasil perundingan antara delegasi Indonesia pimpinan [[Sutan Syahrir|Sutan Sjahrir]] dan delegasi Belanda pimpinan van Mook kepada [[Soekarno]] dan [[Mohammad Hatta|Hatta]], yang ketika itu memimpin Indonesia dari [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]].
Rangkaian perundingan ini kelak dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai [[Perundingan Linggarjati]]. Setelah mendapatkan lampu hijau dari ayah dan paman Mien, mereka pun bertunangan. Perjanjian Linggarjati akhirnya ditandatangani pada 25 Maret 1947. Mereka lalu memilih 28 Maret 1947 sebagai hari pernikahan.
=== Lihat pula ===
|