Politik Minangkabau: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Jayrangkoto (bicara | kontrib) |
Jayrangkoto (bicara | kontrib) |
||
Baris 53:
Pada masa kemerdekaan Indonesia, sistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter kembali mendapatkan tempat. Sistem politik ini kemudian menjadi anti-tesis bagi sistem politik besar lainnya di [[Indonesia]] yang diusung oleh [[budaya Jawa]] yang cenderung sentralistik, patron klien, dan [[Feodalisme|feodalistik]]. Dalam sejarah Indonesia merdeka, kedua sistem politik ini saling berinteraksi, bersaing, dan berdialektika dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.
{{Multiple image|direction=horizontal|align=right|image1=TanMalaka DariPendjara ed3.jpg|image2=Mohammad Hatta 1950.jpg|image3=SoetanSjahrir.jpg|width1=113|width2=118|width3=114|footer=[[Tan Malaka]], [[Mohammad Hatta]], dan [[Sutan Sjahrir]]; tiga di antara beberapa pemimpin politik penting [[Republik Indonesia|Indonesia]] dari Minangkabau.}}
Pada awal kemerdekaan, sistem politik Minangkabau yang termanifestasi dalam lakon politik tokoh-tokoh Minangkabau, seperti [[Hatta]], [[Syahrir]], [[Natsir]], [[Agus Salim]], [[Assaat]], dan [[Muhammad Yamin]], mendapatkan tempat yang lebih luas. Hal ini ditandai dengan berlakunya [[Sistem parlementer|sistem parlementer]] yang diwarnai dengan berdirinya berbagai macam partai politik. Pada masa ini, banyak pendiri dan aktivis partai politik yang datang dari kalangan Minangkabau. Akibatnya pada masa itu [[DPR|parlemen Indonesia]] didominasi oleh politisi Minang yang berada di semua spektrum ideologi : nasionalis, sosialis, islamis, dan komunis.<ref>Fronz and Keebet von Benda-Beckmann, Identitas-identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-komunitas Politik Minangkabau dalam Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, 2007</ref>
Sistem ini berlaku sampai keluarnya [[Dekrit Presiden]] pada tahun 1959. Sistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh [[Presiden Soekarno]]. Sistem politik [[Demokrasi Terpimpin]] dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas itu, tidak cocok dengan kultur politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter. Akibatnya masyarakat Minangkabau melakukan pemberontakan [[PRRI]] (1958-1960). Pada tahun 1966, rezim Soekarno tumbang dan digantikan oleh [[Soeharto]]. Selama 32 tahun, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Namun perlakuan Soeharto yang mengakomodasi kepentingan politik Minangkabau, tidak menimbulkan riak yang bisa menyebabkan terjadinya pemberontakan. Setelah reformasi 1998, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, dan memberikan [[otonomi]] yang seluas-luasnya kepada seluruh propinsi/kabupaten-kota di Indonesia. Sistem ini pada hakekatnya menyerupai sistem nagari-nagari di tanah Minang, yang menjadi cita-cita dan perjuangan para politisi Minang.<ref name="Kahin">Audrey R. Kahin, Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998; 1999</ref>
== Rujukan ==
|