Kabupaten Sumedang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Raden kanan (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
Raden kanan (bicara | kontrib) kTidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 33:
== Sejarah ==
Pada mulanya Kabupaten Sumedang adalah sebuah kerajaan di bawah kekuasaan Raja [[Kerajaan Galuh|Galuh]]. Didirikan oleh [[Geusan Ulun|Prabu Geusan Ulun]] Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke [[Pakuan Pajajaran]], [[Bogor]]. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama, yaitu Kerajaan Tembong Agung (''Tembong'' artinya nampak dan ''Agung'' artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada [[abad ke-12]]. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana yang berarti menerangi alam, dan kemudian diganti lagi menjadi[[ Kerajaan Sumedang Larang]] (Sumedang berasal dari kata ''Insun Medal/Insun Medangan'' yang berarti aku dilahirkan; aku menerangi dan
Sumedang Larang mengalami masa kejayaan pada waktu dipimpin oleh Pangeran Angkawijaya atau [[Prabu Geusan Ulun]] sekitar tahun [[1578]], dan dikenal luas hingga ke pelosok Jawa Barat dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Selatan sampai dengan [[Samudera Hindia]], wilayah Utara sampai [[Laut Jawa]], wilayah Barat sampai dengan [[Cisadane]], dan wilayah Timur sampai dengan [[Kali Brebes|Kali Pamali]] [[kabupaten Brebes]]
Baris 42:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een berglandschap met een waterval en rotsen in Sumedang TMnr 3728-429d.jpg|thumb|300px|Pemandangan dan air terjun di Sumedang ([[litografi]] berdasarkan lukisan oleh [[Abraham Salm]], 1865-1872)]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van Pangeran Aria Soeria Atmadja Regent van Soemedang TMnr 60009959.jpg|thumb|200px|Pangeran Aria Soeriaatmadja (bupati Sumedang pada tahun 1882 – 1919), juga dikenal dengan julukan "Pangeran Mekkah", karena wafat di Makkah]]
Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas di Pulau Jawa, yaitu terdapat Alun-alun sebagai pusat yang dikelilingi Mesjid Agung, rumah penjara, dan kantor pemerintahan. Di tengah alun-alun terdapat bangunan yang bernama Lingga, tugu peringatan yang dibangun pada tahun 1922. Dibuat oleh Pangeran Siching dari [[Belanda|Negeri Belanda]] dan dipersembahkan untuk Pangeran Aria
Hal-hal yang terkandung pada logo Lingga:
Baris 59:
* Berdasarkan Prabu Tajimalela, seorang tokoh legendaris dalam sejarah Sumedang, Insun Medal berarti (''Insun'' : Aku, ''Medal'' : Keluar).
* Berdasarkan data di Museum Prabu Geusan Ulun; Insun berarti (''Insun'': Daya, ''Madangan'': Terang) Kedua pengertian ini bersifat mistik.
* Berdasarkan keterangan Prof. Anwas Adiwilaga, ''Insun Medal'' berasal dari kata ''Su'' dan ''Medang''
(''Su:'' bagus dan ''Medang:'' sejenis kayu yang bagus pada Jati, yaitu huru yang banyak tumbuh di Sumedang dulu), dan pengertian ini bersifat etimologi.
Baris 132:
Daerah kekuasaan Geusan Ulun dapat disimak dari isi surat Rangga Gempol III yang dikirimkan kepada Gubernur Jenderal Willem Van Outhoorn. Surat ini dibuat hari Senin, 2 Rabi'ul Awal tahun Je atau 4 Desember 1690, yang dimuat dalam buku harian VOC di Batavia tanggal 31 Januari 1691.
Dalam surat tadi, Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan Kusumahdinata VI) menuntut agar kekuasannya dipulihkan kembali seperti kekuasaan buyutnya, yaitu Geusan Ulun. Rangga Gempol III mengungkapkan bahwa kekuasaan Geusan Ulun meliputi 44 penguasa daerah [[Parahyangan|''Parahyangan'']] yang terdiri dari ''26 Kandaga Lante'' dan ''18 Umbul.''
Ke-44 daerah di bawah kekuasaan Geusan Ulun meliputi:
Baris 185:
Sebelum [[Prabu Siliwangi]] meninggalkan Pajajaran mengutus empat Kandaga Lante untuk menyerahkan Mahkota serta menyampaikan amanat untuk Prabu Geusan Ulun yang pada dasarnya Kerajaan Sumedang Larang supaya melanjutkan kekuasaan [[Pajajaran]]. Geusan Ulun harus menjadi penerus [[Pajajaran]].
Dalam Pustaka'' Kertabhumi I/2'' yang berbunyi:'' "Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirna, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala"
Keempat orang bersaudara, senapati dan pembesar Pajajaran yang diutus ke Sumedang tersebut, yaitu Jaya Perkosa (Sanghyang Hawu); Wiradijaya ''(Nangganan)''; Kondang Hapa; dan Pancar Buana (Embah Terong Peot).
Dalam Pustaka'' Kertabhumi I/2 ''menceritakan keempat bersaudara itu: ''"Sira paniwi dening Prabu Ghesan Ulun, Rikung sira rumaksa wadyabala, sinangguhan niti kaprabhun mwang salwirnya"
Jaya Perkosa adalah bekas senapati Pajajaran, sedangkan Batara Wiradijaya sesuai julukannya bekas ''Nangganan.'' Menurut Kropak 630, jabatan ''Nangganan'' lebih tinggi setingkat dari ''menteri,'' namun setingkat lebih rendah dari ''Mangkubumi.''
Di samping itu, menurut tradisi hari pasaran ''Legi'' (Manis), merupakan saat baik untuk memulainya suatu upaya besar dan sangat penting. Peristiwa itu dianggap sangat penting karena pengukuhan Geusan Ulun sebagai "nyakrawartti" atau ''Nalendra'' merupakan semacam proklamasi kebebasan Sumedang yang mensejajarkan diri dengan [[Kerajaan Banten]] dan [[Cirebon]]. Arti penting lain yang terkandung dalam peristiwa itu adalah pernyataan bahwa Sumedang Larang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran, di bumi ''Parahyangan.''
Mahkota dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh senapati Jaya Perkosa dan diserahkan kepada [[Prabu Geusan Ulun]] merupakan bukti legalisasi kebesaran Sumedang Larang, ''sama halnya dengan pusaka [[Majapahit]] menjadi ciri keabsahan [[Demak]], [[Pajang]], dan [[Mataram]].''
Berdasarkan bukti-bukti sejarah baik yang tertulis maupun babad/cerita rakyat, maka penetapan Hari Jadi Sumedang ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sejarah.
Serangan laskar gabungan Banten, Pakungwati, Demak, dan Angke pada abad XVI ke Pajajaran, merupakan peristiwa yang membuat Kerajaan Pajajaran ''Runtag'' (runtuh).
Berakhirnya Pajajaran pada waktu itu, tidak menyeret Sumedang Larang dibawah kepemimpinan Pangeran Santri ikut runtuh pula. Soalnya, sebagian rakyat Sumedang Larang pada itu sudah memeluk Agama Islam. Justru dengan berakhirnya masa kekuasaan Pajajaran, Sumedang Larang kian berkembang.
Baris 205:
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Sumedang erat kaitannya dengan peristiwa di atas. Terdapat tiga sumber yang dijadikan pegangan dalam menentukan Hari Jadi Kabupaten Sumedang:
*Pertama : Kitab ''Waruga Jagat'', yang disusun Mas Ngabehi Perana tahun 1117 H. Kendati tak begitu lengkap isinya, namun sangat membantu dalam upaya mencari tanggal tepat untuk dijadikan pegangan/penentuan Hari Jadi Sumedang.''"Pajajaran Merad Kang Merad Ing Dina Selasa Ping 14 Wulan Syafar Tahun Jim Akhir,"'' artinya: Kerajaan Pajajaran runtuh pada 14 Syafar tahun Jim Akhir.
*Kedua : Buku Rucatan Sejarah yang disusun Dr. R. Asikin Widjayakusumah yang menyertakan antara lain: ''"Pangeran Geusan Ulun Jumeneng Nalendra (harita teu kabawa kasasaha) di Sumedang Larang sabada burak Pajajaran."''
*Tiga : Dibuat Prof. Dr. [[Husein Djajadiningrat]] berjudul
Mengacu pada ketiga sumber di atas, maka dalam diskusi untuk menentukan Hari Jadi Sumedang yang dihadiri para sejarawan masing-masing Drs. Said Raksakusumah; Drs. Amir Sutaarga; Drs. Saleh Dana Sasmita; Dr. Atja dan Drs. A Gurfani, berhasil menyimpulkan bahwa 14 Syafar Tahun Jim Akhir itu jatuh pada tahun 1578 Masehi, bukan tahun 1579, tepatnya 22 April 1578.
|