Adipati Kuningan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kang Ari Tea (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Kang Ari Tea (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
[[File:Logo Kabupaten kuningan.jpg|thumb|Tanggal 1 September 1498 Masehi, ''Pangeran Kuningan'' dilantik menjadi kepala pemerintahan dengan gelar ''Pangeran Arya Adipati Kuningan'' (Adipati Kuningan) terbentuknya pemerintahan Kuningan yang selanjutnya ditetapkan menjadi tanggal hari jadi Kuningan]]
Menelusuri jejak sejarah [[Kabupaten Kuningan]], terutama membedah tokoh “Sang Adipati Kuningan” yang pernah menjadi pemimpin pemerintahan di Kuningan pada masa penyebaran [[Islam]] di [[Cirebon]] ([[Jawa Barat]]) dan sekitarnya akhirnya dapatlah diungkapkan bahwa nama Sang '''Adipati Kuningan''' yang sebenarnya adalah ''Suranggajaya''. Ia adalah putra [[Ki Gedeng Luragung]] (seorang kepala daerah di [[Luragung, Kuningan|Luragung]]) bernama ''[[Jayaraksa]]''. Jayaraksa juga punya saudara laki-laki yang memimpin daerah [[Winduherang, Cigugur, Kuningan|Winduherang]] bernama ''Bratawiyana'' atau ''Bratawijaya'' yang dijuluki juga ''Ki Gedeng Kamuning'' atau ''Arya Kamuning'' keduanya adalah putra Pangeran [[Surawisesa]] putracucu [[Prabu Siliwangi]] dan Nyi Kentring Manik Mayang Sunda
 
== Hubungan dengan Cirebon ==
Baris 7:
Dalam cerita rakyat Kuningan versi lainnya yang berbau mitos menyebutkan bahwa yang dilahirkan oleh Nyai Rara Sumanding bukanlah anak, tetapi sebuah bokor yang terbuat dari logam Kuningan. Bokor Kuningan inilah yang nantinya menjadi logo maskot Kota Kuningan, selain Kuda Kuningan. Juga ada yang menyebutkan bokor kuningan itu sebagai barang “panukeur” atawa “tutukeuranna” antara bayi dari Ki Gedeng Luragung yang ditukar dengan bokor kuningan dari Nyai Rara Sumanding. Cerita-cerita mitos ini memang banyak mewarnai dalam penelusuran sejarah Kuningan.
 
Setelah ke [[Luragung, Kuningan|Luragung]] perjalanan Sunan Gunung Jati diteruskan ke [[Winduherang, Cigugur, Kuningan|Winduherang]] (yang dulu diduga sebagai pusat pemerintahan [[Kerajaan Kuningan]] / [[Kajene]]) untuk menemui saudaranya Jayaraksa yaitu Bratawiyana yang rupanya telah lebih dulu masuk Islam. Sementara itu pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Kuningan saat itu sedang diperintah oleh Nyai Ratu Selawati (keturunanputri [[Prabu Langlangbuana]]Surawisesa). Ratu Selawati yang tadinya penganut [[Hindu]] menjadi penganut Islam setelah menikah dengan [[Syekh Maulana Arifin]] (putra dari [[Syekh Maulana Akbar]] putra Syekh Datuk Ahmad, ayahsepupu [[Syekh Datuk Kahfi]] kakek [[Pangeran Panjunan]]). Syekh Maulana Akbar sendiri adalah seorang ulama yang diduga asal [[Persia]] yang berhasil sampai ke Kuningan dan menyebarkan Islam di sana.

Kedatangannya ke Kuningan waktu itu kiranya terlebih dahulu atas seijin Sunan Gunung Jati penguasa Kerajaan Islam Cirebon yang mulai tumbuh dan giat menyebarkan Islam. KedatangannyaKedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam ke Kuningan berarti lebih dulu daripada Sunan Gunung Jati. Mungkin dapat dikatakan Syekh Maulana Akbar sebagai perintis penyebaran Islam ke Kuningan, sementara Sunan Gunung Jati lebih menyempurnakan lagi. Kurun waktu kedatangan Syekh Maulana Akbar menyebarkan Islam di Kuningan diperkirakan mulai terjadi tahun [[1450]]. Dari Pernikahan Syekh Maulana Arifin dengan Nyai Ratu Selawati dikaruniai putri Nyi Mas Kencanawati yang kemudian dinikahi oleh Adipati Kuningan keduanya merupakan cucu Prabu Surawisesa buyut [[Prabu Siliwangi]]
 
Ketika Sunan Gunung Jati sampai di [[Winduherang, Cigugur, Kuningan|Winduherang]], ia menitipkan putra angkatnya tersebut (Suranggajaya) untuk diasuh oleh Bratawiyana (Arya Kamuning). Selain itu Sunan Gunung Jati berpesan bahwa anak tersebut setelah dewasa kelak akan diangkat menjadi penguasa daerah Kuningan. Dalam masa pengasuhan Arya Kamuning ini bahkan anak yang dititipkan itu diberi nama panggilan Raden Kamuning, kiranya untuk lebih mendekatkan hubungan psikologis (batin) antara ayah (asuh) dengan putra (asuh)nya.
 
== Dalam Carita Purwaka Caruban Nagari ==
Dalam sumber berita Cirebon (CPCN/Carita Purwaka Caruban Nagari) dan buku karya [[P.S. Sulendraningrat]] bahkan disebutkan lagi bahwa bersamaan dengan mengasuh putra angkat Sunan Gunung Jati, sebenarnya Bratawiyana (Arya Kamuning) juga punya anak yang sedang sama-sama dibesarkan (seusia dengan Suranggajaya) yaitu ''Ewangga''. Tetapi di sumber lain menyebutkan bahwa tokoh [[Dipati Ewangga]] adalah seorang bangsawan yang asalnya dari Parahyangan ([[Cianjur]]) yang pada awalnya ingin berguru/belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Jati, lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi ke Kuningan saja membantu putra angkatnya (yaitu Suranggajaya) dalam mengelola pemerintahan di Kuningan. Mana yang benar, yang jelas keberadaan tokoh Dipati''Adipati Ewangga'' kiprahnya banyak diceriterakan sebagai tokoh “panglima” tentara Kuningan yang pernah ikut membantu Cirebon dan [[Mataram]] ketika menyerang Belanda di Batavia (sehingga ada nama perkampungan Kuningan di [[Jakarta]]).
 
Setelah dewasa, menginjak usia 17 tahun, akhirnya janji Sunan Gunung Jati mengangkat putranya menjadi penguasa di Kuningan pun dilakukan. Suranggajaya kemudian dilantik menjadi pemimpin Kuningan dengan julukan populernya Sang Adipati Kuningan. Titimangsanya konon bertepatan dengan tanggal [[1 September]] [[1478]], yang diperingati sebagai ''hari lahirnya kota Kuningan''.