Kerajaan Wajo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k struktur kerajaan wajo |
Wagino Bot (bicara | kontrib) k penggantian teks otomatis dengan menggunakan mesin AutoWikiBrowser, replaced: beliau → dia, Beliau → Dia |
||
Baris 32:
'''Kerajaan Wajo''' adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun [[1399]], di wilayah yang menjadi [[Kabupaten Wajo]] saat ini di [[Sulawesi Selatan]]. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu [[Cinnotabi]].
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya <nowiki>[[Wajo]]</nowiki>. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya
==Sejarah Awal==
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal [[Wajo]] menurut [[Lontara Sukkuna Wajo]] dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata ''sipulung'' yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan [[Wajo]]. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
==Wajo sebagai Kerajaan==
Wajo mengalami perubahan struktural pasca [[Perjanjian Lapadeppa]] yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi [[Arung Matowa]] yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan [[La Tadampare Puangrimaggalatung]]. Wajo menjadi anggota persekutuan [[Tellumpoccoe]] sebagai saudara tengah bersama [[Bone]] sebagai saudara tua dan [[Soppeng]] sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan [[La Sangkuru]] patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat [[Perang Makassar]] (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu [[Sultan Hasanuddin]]. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani [[perjanjian Bungaya]], sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai [[Samarinda]].
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten).
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan <nowiki>[[Wajo]] dengan [[Bone]]</nowiki> membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan <nowiki>[[politik pasifikasi]]</nowiki> untuk memaksa semua kerajaan di <nowiki>[[Sulawesi Selatan]]</nowiki> tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh <nowiki>[[Wajo]] sehingga [[Wajo]]</nowiki> harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani [[Korte Veklaring]] sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
<nowiki>[[Wajo]]</nowiki> dibawah [[Republik Indonesia Serikat]], atau tepatnya [[Negara Indonesia Timur]], berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah [[Konferensi Meja Bundar]], Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan [[DI/TII]]. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi ''Onderafdeling'', selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Baris 76:
- '''Suro''' --> Utusan (3 orang)
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.
Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE
|