Melayu Riau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Putrakeren (bicara | kontrib)
Putrakeren (bicara | kontrib)
Baris 39:
<blockquote class="toccolours" style="text-align:justify; width:30%; margin:0 0em 1em .25em; float:right; padding: 10px; display:table; margin-left:10px;">"Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Adat-istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak, negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat yang tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak itu, adat-istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang kepada kitab Allah dan sunah Nabi".<p style="text-align: right;">— Tonel, 1920.</blockquote>
 
Masyarakat melayu pada umumya identik dengan [[Islam]] yang menjadi fondasi dari sumber adat istiadatnya. Oleh karena itu, adat istiadat orang Melayu Riau ''bersendikan'' ''syara’syarak'' dan ''syara’syarak'' ''bersendikan'' ''Kitabullah''<ref>Prins, J. (1954). ''Adat en Islamietische Plichtenleer In Indonesia''. Bandung: W. Van Hoeve s‘Gravenhage.</ref>.
 
Sebelum kedatangan Islam ke nusantara, banyak bagian wilayah berada di bawah Kerajaan Sriwijaya antara abad ke-7 sampai abad ke-14 yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Buddha.<ref> Cœdès George and Damais Louis Charles, (1992). ''Sriwijaya: History, Religion and Language of an Early Malay Polity'', Kuala Lumpur: The Malaysian Branch Royal Asiatic Society, pp: viii.</ref> Pada masa itu Islam sudah diperkenalkan ketika Maharaja Sriwijaya mengirimkan surat kepada Khalifah [[Umar bin Abdul Aziz]], yang berisi permintaan untuk mengirimkan utusan untuk menjelaskan hukum Islam kepadanya. <ref>Azra, Azyumardi (2004). ''Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII'' (dalam bahasa Indonesia). Prenada Media. hlm. 27–28. ISBN 979-3465-46-8</ref>