Kesultanan Ternate: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Baris 29:
Tahun 1512 Portugis untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan '''Fransisco Serrao''', atas persetujuan Sultan, Portugis diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugis datang bukan semata – mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah – rempah Pala dan Cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate. Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris - pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah satu dari kedua puteranya, pangeran Hidayat (kelak [[Sultan Dayalu]]) dan pangeran Abu Hayat (kelak [[Sultan Abu Hayat II]]). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri. Portugis memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugis. Setelah meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugis. Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika [[Sultan Tabariji]] mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa – India. Disana ia dipaksa Portugis untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan Portugis, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah [[Sultan Khairun]] (1534-1570).
[[Berkas:Contoh.jpg]]=='''Pengusiran Portugis=='''
Perlakuan Portugis terhadap saudara – saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugis dari Maluku. Tindak – tanduk bangsa barat yang satu ini juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang sultan Khairun. Sejak masa sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan kesultanan Malaka tahun 1511. Ketiganya membentuk ''Tripple Alliance'' untuk membendung sepak terjang Portugis di Nusantara.
|