Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Den Mazze (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Den Mazze (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 22:
 
 
Dalam sidang itu '''BPH Puruboyo''', wakil dari ''Yogyakarta Kooti'' meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan 100% ''zelf-standig'' dan perhubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh '''[[Soekarno]]''' karena itu bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan yang sudah diserahkan Jepang kepada Koti sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan kegoncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, '''[[Oto Iskandardinata]]''', mengemukakan bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan diserahkan kepada beleid Presiden. Akhirnya dengan dukungan '''[[Hatta]]''', '''Suroso''', '''Suryohamijoyo''', dan '''Supomo''' kedudukan Kooti ditetapkan '''status quo''' sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Akhirnya '''[[Soekarno]]''' pada hari itu mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah tahu sikap resmi dari para penguasa monarki.
 
Hari pertama bulan September '''Komite Nasional Indonesia Daerah''' (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk '''BKR''' (Badan Keamanan Rakyat). Usai terbentuknya KNID dan BKR '''Sultan [[Hamengku Buwono IX]]''', mengadakan pembicaraan dengan '''[[Paku Alam VIII]]''' ('''PA VIII''') dan '''Ki Hajar Dewantoro''' serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan '''Amanat 5 September 1945'''. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederlandsch Indische'' setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, '''Raja
Baris 43:
 
Sementara itu BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan '''RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta'''. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang teramat tajam antara BP KNID yang menghendaki Yogyakarta adalah daerah biasa seperti daerah yang lain dengan kedua ''Sri Paduka'' yang menghendaki Yogyakarta merupakan daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah: I. Kedudukan Yogyakarta; II. Kekuasaan Pemerintahan; III. Kedudukan kedua Sri Paduka; IV. Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan); V. Pemilihan Parlemen; VI. Keuangan; VII. Dewan Pertimbangan; VIII. Perubahan; IX. Aturan Peralihan; dan X Aturan Tambahan.
 
== Menyandingkan Demokrasi Dengan Monarki==
<center>Daerah istimewa Yogyakarta tahun 1946-1950 </center>
 
Sebagai realisasi keputusan sidang paripurna KNID tanggal 24 April 1946, maka pada 18 Mei 1946 diumumkan Maklumat No. 18 yang mengatur '''Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan [[Daerah Istimewa Yogyakarta]]'''. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai '''digunakan secara resmi''' dalam urusan pemerintahan, menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Maklumat ini menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya Undang-undang yang mengatur Daerah Istimewa Yogyakarta.
 
'''Perbedaan pendapat''' antara KNID dengan Monarki tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei. Selain itu juga nampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung yaitu Bab I tentang Kedudukan DIY; Bab VI tentang Keuangan; dan Bab VII tentang Dewan Pertimbangan. Dalam maklumat tersebut ditetapkan '''kekuasaan legeslatif''' dipegang oleh '''DPRD''' (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. '''Kekuasaan eksekutif''' dipangku secara bersama-sama oleh '''Dewan Pemerintah Daerah''' dan '''Kepala Daerah''' (Kedua Sri Paduka [HB IX dan PA VIII], Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya. Pemerintahan yang dianut adalah '''''collegial bestuur''''' atau direktorial karena badan eksekutif tidak berada ditangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu ialah untuk persatuan dan menampung sekian banyak kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian '''kedua Sri Paduka''' tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan pada '''Presiden'''.
 
'''Reorganisasi pemerintahan''' daerah pun segera dijalankan. Sultan Hamengku Buwono IX menjadi Kepala Daerah Istimewa dan Adipati Paku Alam VIII menjadi Wakil Kepala Daerah Istimewa. Walaupun pada prakteknya, PA VIII sering menjadi melaksanakan tugas Kepala Daerah saat HB IX menjadi Menteri Negara Indonesia maupun RIS sejak 1946-1951. Pegawai-pegawai Daerah yang terdiri dari berbagai birokrasi yang berbeda (birokrasi pemerintahan monarki dan birokrasi bentukan KNID) disatukan dalam Jawatan (Dinas) Daerah. DPRD-DPRD segera dibentuk pada tiap tingkatan pemerintahan. Mungkin ini adalah '''parlemen lokal''' yang '''pertama kali''' dibentuk dalam Negara Indonesia. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian untuk otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.
 
Pada 1947 dikeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta yang diusulkan oleh '''Dewan Kota Yogyakarta'''. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta '''di keluarkan''' dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari HB IX. Sebagai penyelesaian maka pada 22 Juli 1947 '''Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo''' diangkat menjadi Walikota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan '''M. Enoch''' yang turut pergi mengungsi bersama Presiden karena terjadi '''Agresi Militer Belanda I'''.
 
Pada tahun 1948 Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut diatur kedudukan Daerah Istimewa.
 
 
----
 
<center>''Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri''. (Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)</center>
----
 
 
 
----
<center>''Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah''. (Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948) </center>
----
 
 
 
----
<center>''…….. tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya, …. Juga … yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah. … jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. … . Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Propinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Propinsi biasa''. (Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)</center>
----
 
 
 
----
<center>''Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) … ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan “Zelfbestuurende landschappen”. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia … maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula … dan cara pemerintahannyapun … diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa … hanya mengenai Kepala Daerahnya … ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu … … … Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. ……''. (Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)</center>
----
 
 
 
 
Walaupun demikian pemerintah pusat belum mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi '''Agresi Militer Belanda II''' pada 19 Desember 1948. Pasca serangan umum 1 Maret 1949 Yogyakarta di jadikan '''Daerah Militer Istimewa''' dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Baru setelah KMB ditandatangani, Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia (Yogyakarta) mengeluarkan beberapa UU dan Perpu untuk membentuk Propinsi di Pulau Jawa dan Sumatera.