Konten dihapus Konten ditambahkan
kembalikan ke semula
Kenrick95Bot (bicara | kontrib)
k Bot: Penggantian teks otomatis (- di masa + pada masa , -Di masa +Pada masa )
Baris 16:
 
==Penggunaan Kebaya Masa Kini==
Kebaya dipada masa sekarang telah mengalami berbagai perubahan desain. Kebaya digunakan sebagai seragam resmi [[pramugari]] [[Singapore Airlines]], [[Malaysia Airlines]] dan [[Garuda Indonesia]].<ref>http://female.kompas.com/read/2010/09/26/11502730/Terbang.Bersama.Kebaya//</ref> Sejumlah perancang yang turut menciptakan desain baru kebaya diantaranya adalah [[Anne Avantie]] dan [[Adjie Notonegoro]].
 
<!-- sembunyikan artikel yang tidak ditulis dengan gaya ensiklopedis
Baris 25:
Terlepas dari asal usulnya yang Arab, atau Portugis, atau Tionghoa, kita mahfum bahwa penyebarannya memang dari arah utara kepulauan Indonesia. Artinya, negara-negara yang terlewati oleh ekspansi ala Arab, Portugis, dan Tionghoa bisa jadi memiliki versi kebayanya masing-masing. Dan akhirnya, ''Jawa'' menjadi destinasi penyebaran paling selatan, karena tidak ditemukan jejaknya lagi di kepulauan Pasifik barat atau semenanjung utara Australia.
 
Dalam novel kuartet Gajah Mada, Langit Kresna Hariadi menulis: “''Sri Gitarja menjawab sambil mengusap air mata menggunakan lengan baju''”. (Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara hal 336, paragraf ke-3, baris ke-5). Asumsinya, jika tuan putri Sri Gitarja dapat mengusap air matanya dengan lengan baju berarti lengan baju yang beliau pakai adalah lengan panjang hingga-minimal-mendekati pergelangan tangan. Kemungkinan terbesar adalah jenis pakaian wanita '''Kebaya'''. Sayangnya, hal ini bisa saja keliru karena '''Kebaya''' masih menjadi benda asing dipada masa ini. Masyarakat Jawa kala itu lebih mengenal ''kain panjang, tenun, ikat'' dan ''kemben'' sebagai busana sehari-hari. Ada juga yang berpendapat bahwa, masa-masa ini '''Kebaya''' terbatas dikenakan di kalangan kerajaan saja. Sayangnya, bukti-buktinya sangat lemah. Kain yang berbahan serat alam di negeri tropis seperti Indonesia mudah sekali hancur hanya karena kelembaban, cuaca, hingga mikroorganisme pemakannya. Bukti yang juga tidak bisa dikatakan kuat adalah arca-arca dan relief yang dipahat di sebagian besar bangunan kuno abad ke-13 hingga 15. Namun, tidak ada pola atau gambaran nyata yang mengindikasikan adanya '''Kebaya''' dipada masa itu.
 
Kita perlu menilik penyebaran dan masuknya Islam di Indonesia (abad ke-15) untuk mengetahui perkembangan '''Kebaya''' modern saat ini. Keislaman sangat kuat memengaruhi siluet '''Kebaya''' di awal-awal perkembangannya. Dugaan kuat mengatakan '''Kebaya''' awalnya merupakan atasan panjang berbentuk tunik sederhana yang menjulur dari leher hingga lutut (''baju kurung''). Hal ini mengingatkan kita akan ''Abaya'' dan ''kebaya Melayu''. Pakaian semacam ini serta-merta menggeser ''kemben'' tradisional. Di beberapa pelosok Indonesia bahkan bisa ditemukan wanita yang tampil tanpa atasan apapun (Bali, Lampung, Jawa). Kebiasaan berbusana macam itu juga ikut tergeser, meski dalam beberapa acara adat harus berbusana seperti itu lagi, terutama di Bali. Dokumentasi lama milik keluarga kerajaan dan keraton (Surakarta, Yogyakarta, Cirebon) di tanah Jawa masih merekam ''Kebaya panjang'' ini dengan beberapa ornamen kenegaraan yang terpasang di beberapa sisinya (abad ke-19). Gelang dan jam dikenakan diluar lengan '''Kebaya''', sementara bros serangkai (tiga berjajar) tersemat di bagian depan membentuk suatu penutup. Jenis ini akhirnya merambah permainan bahan. Katun kasar dan tenun tradisional tentu saja menjadi cikal bakalnya. Namun beludru, sutra, dan katun halus kemudian menggantikan bahan-bahan keras tadi sesuai dengan masuknya koloni Eropa ke Indonesia dan membuka jalur perdagangan tekstil antar negara (sejak abad ke-18).
 
Kesesuaian selanjutnya bertitik tolak dari pola dan corak. Modifikasi, inovasi, dan kreatifitas membawa angin segar fesyen '''Kebaya''' masa ini. Ia bagaikan lepas tanpa ikatan. ''Putu baru'', ''kebaya tunik pendek'' hingga ''tlisman'' mengemas banyak warna dan permainan motif yang cantik di awal abad ke-19. Kurun abad ke-19 dan masa pergerakan di awal abad 20 adalah kala gemilang bagi '''Kebaya'''. '''Kebaya''' berada dipada masa yang marak dikenakan masyarakat Indonesia, juga kaum pendatang Eropa dan Tiongkok dengan ragam penyesuaiannya. Sebelum dikelas-kelaskan, '''Kebaya''' yang hampir merata dipakai oleh kaum perempuan Indonesia begitu lazimnya hingga kreasi-kreasi khusus dilakukan oleh kaum bangsawan dan dalam istana. ''Kebaya'' bangsawan dan keluarga Kraton terbuat dari sutra, beludru, dan kain tebal berornamen (''brocade''); golongan awam mengenakan bahan katun dan tenun kasar; kaum keturunan Eropa biasanya mengenakan '''Kebaya''' berbahan katun halus dengan aksen ''lace'' (brokat) di pinggirnya; sedangkan untuk perempuan Belanda mengenakan '''Kebaya''' katun dengan potongan yang lebih pendek. Saat itu bahkan banyak orang Eropa dan Belanda sendiri membeli aneka '''Kebaya''' di Nederland. Masa ini '''Kebaya''' mulai disusupi unsur sinkretisme kelas. Ada '''Kebaya''' Keraton dan Bangsawan yang berornamen benang emas (''sulam gim'') dengan bahan beludru. Potongan khusus yang dipakai oleh perempuan kelas atas juga memberi bekas yang nyata seperti halnya ''kebaya Kartini''. Pakem-pakem mulai terbentuk. Pola-pola tertentu dibatasi dalam garis darah biru. '''Kebaya''' mulai dikaplingkan dalam kelas-kelas kasta yang paradoksal.
 
Nasionalisme merebak tahun 1920-an. Organisasi-organisasi tradisional Indonesia maupun bentukan pemerintahan Hindia Belanda menyerukan nasionalisme dengan lantang. Kondisi politik saat itu juga memengaruhi preferensi fesyen masyarakatnya. '''Kebaya''' yang terlanjur Nasional dianggap bercitra pribumi dengan segala perjuangannya. Wanita keturunan Eropa dan Belanda meninggalkan '''Kebaya''' sebagai pakaian sehari-hari mereka karena citra tradisional yang ''indigenous'' tadi. Periode ini meminimasi perkembangan fesyen '''Kebaya'''. Hampir tidak ada inovasi material yang signifikan, apalagi bentukan dan pola siluetnya. Kondisi seperti ini berlangsung hingga dua dekade berikutnya sampai yang terburuk tiba.
 
Periode 1942-1945 adalah yang terburuk dengan catatan paling minim tentang keadaan Indonesia, termasuk fesyennya. Perempuan dipada masa pendudukan Jepang jatuh di tempat paling rendah sepanjang sejarah. Tanpa kecuali; pribumi, keturunan Eropa, keturunan Tionghoa, dan Belanda dijebloskan di penjara dan dipekerjakan dengan keras. '''Kebaya''' dipakai oleh tahanan perempuan Indonesia, sedangkan kemeja dan terusan dikenakan oleh keturunan Eropa dan Belanda. Peraturan tidak tertulis ini, entah bagaimana, berlaku hampir di setiap kamp-kamp tahanan Jepang. Di sini, '''Kebaya''' bersifat pribumi, lainnya koloni. Jangan berfikir tentang inovasi, produksinyapun jatuh mengenaskan. Kenyataannya, pendudukan Jepang di Indonesia juga memutus jalur perdagangan tekstil dan perlengkapan penunjangnya. Banyak rumah produksi '''kebaya''' tutup. Perusahaan kain Batik yang marak di periode itu juga wajib membuat solusi padat karya untuk sekedar bertahan. Solusi yang paling banyak dianut adalah ''merger'' antar beberapa perusahaan kecil yang membuat kain batik, '''kebaya''', dan industri konveksi rumahan. Tapi tidak berdampak banyak bagi perkembangan fesyen masa itu. Perubahan suhu politik terjadi tiap waktu. Perang Dunia ke-II adalah masa-masa kelam bagi fesyen tanah air, bahkan dunia. Kecuali ''Chanel'' dan ''Hugo Boss'' yang memang kekasih fasis kala itu, banyak rumah mode di dunia mengalami kemunduran.
 
Lagi-lagi faktor politik berkecamuk. Revolusi besar kemerdekaan Indonesia tahun 1945 membawa '''Kebaya''' pada konstelasi nasionalis yang lebih absolut. Dari sekedar tradisional yang pribumi, '''Kebaya''' menjalar menjadi nasionalis dan bernafas kemerdekaan. Para wanita terdidik yang dekat dengan pemerintahan Soekarno saat itu banyak mengenakan aneka '''kebaya''', terutama jenis ''putu baru'' dan ''Kebaya encim'' yang masih ada jejaknya sekarang ini. Sebagian orang menanggapi kondisi ini sebagai masa-masa keemasan '''Kebaya''' sampai tahun 1960-an. Hampir semua wanita, baik itu di kantor, di rumah, di manapun tampil berkebaya. Citra nasional yang dibawa Kebaya begitu kuatnya, tetapi melekat pada kaum aristrokrat tertentu yang berpihak pada Soekarno. India, Tiongkok, dan sebagian Asia Tenggara mendominasi pasar tekstil Indonesia. Sentimen Barat pada Soekarno, dan sentimen Soekarno sendiri pada Barat membatasi jalur pertukaran komoditi Eropa dan Indonesia. Yang terlihat adalah aneka corak dan warna-warna '''Kebaya''' yang beragam. Potongan dan pola-pola lama kembali meruak meski masih memegang pakem-pakem yang tercipta dari abad sebelumnya.
Belum pulih benar '''Kebaya''' dari trauma politiknya, ia harus mengalami sekali lagi pukulan itu. Peralihan kekuasaan dari tangan Soekarno ke pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto tahun 1965 menempatkan '''Kebaya''' di posisi lemah. Citra-citra dan simbol-simbol yang diemban '''Kebaya''' dipada masa Soekarno membuat ia dijauhi. Kaum perempuan yang merasa tidak terlibat dengan gejolak politik Orde Lama (Soekarno) memilih untuk tidak mengenakan '''Kebaya'''. Terusan modern dan kemeja-kemeja wanita lebih digemari ketimbang '''Kebaya'''. Perlahan namun pasti, '''Kebaya''' tersingkir dalam kotak eksklusif ''Dharmawanita'' (organisasi wanita istri pegawai negeri yang terbentuk sejak tahun 1974). Dengan warna jingga salem-nya, '''Kebaya''' menjadi seragam resmi organisasi ini.
 
Hingga tahun 1980-an '''Kebaya''' semakin terkucil di kalangan istri Militer dan pegawai negeri, meski beberapa desainer lokal macam Iwan Tirta mencoba melestarikannya. Kabar baiknya adalah peran informasi dan pertukaran komoditi antar negara kembali terbuka lebar. Tinggal bagaimana tangan-tangan kreatif anak Bangsa memanfaatkannya. Tidak memakan waktu lama, awal tahun 90-an Ghea Panggabean melakukan eksperimen berarti pada '''Kebaya'''. Dalam lingkup kelas atas, Ia memanfaatkan bahan sutra organdi dan serat-serat alam lain yang tergolong mewah menjadi '''Kebaya'''. Di kalangan elit dan perempuan berpendidikan, '''Kebaya''' macam ini, yang kemudian banyak juga dikembangkan oleh desainer lokal lain, memiliki predikat khusus. Ia sah digunakan di acara-acara formal baik bersifat pribadi, keluarga, maupun kenegaraan.
Baris 43:
Tahun 90-an pula '''Kebaya''' mulai mendapat tempat yang lebih luas. Bahkan dipandang mempunyai janji ekonomi yang besar. Desainer-desainer Indonesia sepakat, '''Kebaya''' adalah genre khas dari dunia fesyen yang menjanjikan. Mereka mulai meliriknya, memelajarinya, dan kemudian berkreasi dengannya. Kuncinya adalah inovasi! Sepertinya tuntutan kreasi dan aksentuasi dari para pemakai juga menjadi faktor besar yang mendorong '''Kebaya''' kembali ke era abad-19—masa dimana '''Kebaya''' punya kebebasan untuk berkembang.
 
Setelah 32 Tahun memerintah Indonesia, Soeharto undur. Reformasi membawa angin segar sekaligus liar. Untuk beberapa alasan, hal ini baik. Banyak pranata yang dijungkirbalikan. Reformasi dipahami sebagai era kebebasan. Keterbukaan pikiran menjadi titik tolak semua kegiatan di masa-masa 1997-2002. Kreatifitas tak terbendung yang dicontohkan oleh para pemimpin setelah Soeharto dan dunia politik juga diikuti masyarakatnya. Kekangan adalah barang haram dipada masa ini. Digalilah kreasi-krasi baru yang segar dari banyak sumber untuk mempercantik '''Kebaya'''. Kita harus mencermati trend brokat (''lace''), bordir, teknik aplikasi, ''drapery'', dan pencampuran bahan sebagai cikal bakal revolusi '''Kebaya''' di tahun 2000-an.
 
Yang tandang dengan banyak ide, dia yang menang. Dunia pernikahan, pertemuan formal kenegaraan, hingga acara-acara eksklusif yang mengusung citra Indonesia secara konsensus-tersembunyi mewajibkan '''Kebaya''' sebagai kode busananya. Hal ini kemudian memancing kompetisi antar desainer. Secara pola, siluet, ''cutting'', dan garis luar berubah beragam-ragam. Bagai bola liar, perubahan besar itu juga diikuti dengan pemanfaatan bahan baku. Keluar dari sekedar organza dan katun, '''Kebaya''' merambah ke jalur sutra, sifon, ''shantung, lace'', hingga serat-serat yang tak terbayangkan sebelumnya seperti jute, nanas, pisang, dan unsur metal. Teknik bordir, renda, pilin, lipit, ''layer'' hingga ''quilt'' ikut mewarnai kemegahan '''Kebaya'''. Hingga akhirnya pemanfaatan material mewah macam payet, kristal, batu-batu mulia dan bulu binatang (''ostrich’s feathers/cincila fur'') hadir bersama taknik aplikasi yang revolusioner. Dengan teknik yang satu ini, kreasi tanpa batas sangat mungkin dikerjakan. Teknik aplikasi membuka kesempatan '''Kebaya''' sebagai benda seni yang bisa dihiasi apa saja—bahkan berlian jika memungkinkan. Lewat banyak teknik dan potongan, material dan bahan, sampai aksesorisnya, '''Kebaya''' tercipta sebagai karya seni. Bahkan ada satu '''Kebaya''' yang memiliki berat hingga 22 Kg, karena kerumitan detail yang melekat padanya. '''Kebaya''' memasuki masa revolusinya sendiri. Ia kini, seperti banyak masyarakat Indonesia era 2000-an, punya daya pandang dan tempatnya masing-masing. Tanpa harus terpengaruh imbas politik, ekonomi, bahkan adat istiadat. '''Kebaya''' semata-mata menganut faham kreatifitas yang feminis.