Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Quoth nevermore (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Quoth nevermore (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 73:
{{cquote|Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)}}
 
Pemerintah [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] secara legal formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sangat singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948.
 
Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten ''[[Bantul]]'' (beribukota di ''Bantul'');, ''[[Sleman]]'' (beribukota di ''Sleman''), ''Gunung-kidul''Gunungkidul (beribukota di ''Wonosari''), ''[[Kulon Progo]]'' (beribukota di ''Sentolo''), dan ''Adikarto'' (beribukota di ''[[Wates]]'');, serta sebuahdan ''Kota Besar Yogyakarta''. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota di Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota di Sentolo menjadi Kabupaten ''Kulon Progo'' dengan ibu kota ''Wates''. Penggabungan kedua daerah ini berdasarkanditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
 
Pada tahun 1951, diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi DPRD), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua Sri Padukaraja (HB IX dan PA VIII). Namun kedua Sri Padukaraja tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden. Dalam sistem yang dianut terdapat dua macam birokrasi yang boleh jadi saling over lapping. Dewan Pemerintah sebagai organ daerah dan Kepala Daerah sebagai organ pemerintah pusat.
 
Tahun 1951 ini pun tercatat sebagai awal pengembangan dan penataan birokrasi di DIY. Sekalipun DIY telah berintegrasi dengan Indonesia, tetapi birokrasi pemerintahan monarki tidak dihapuskan begitu saja, mengingat selamadari 1945 sampai 1950 birokrasi ini menjadi tulang punggung birokrasi DIY. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem''). Sedikit demi sedikit birokrasi ini dipisahkan dari birokrasi monarki (KaratonKeraton). Pada dasarnya kedua birokrasi ini dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian di Kepatihan di pimpindipimpin oleh PA VIII sedangkan bagian di KaratonKeraton yang disebut Parentah Hageng Karaton di pimpindipimpin oleh GP Hangabehi.
 
Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. PermasalahanMasalah yang timbul antara lain masalahadalah status kepegawaian antara pegawai kerajaan (Abdi Dalem) dengan pegawai pemda yang baru (bukan dari Abdi Dalem). Walaupun demikian setelah memakan waktu yang sangat lama akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Kraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
 
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang pemerintah daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUD Sementara.
Baris 93:
{{cquote|Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)}}
 
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggaltanggal 24 September 1952, daerah-daerah ''enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen'' dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini berdasarkanditetapkan oleh UU Drt No. 5 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 14 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).
 
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa juga tidak banyak berbeda.
 
{{cquote|Kepala Daerah Istimewadiangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)}}
 
== 1965-1998 ==
Pada tahun 1965, Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi). Dalam UU ini pula seluruh swapraja yang masih ada baik secara ''de facto'' maupun ''de jure'' yang menjadi bagian dari suatu daerah lain yang lebih besar dihapuskan. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat. UU yang dibuat dalam pengaruh komunisme ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi Aceh maupun Yogyakarta kelakdi dikemudiankemudian hari. Ini untuk mewujudkan tujuan komunis sama rata sama rasa. Kejadian ini mengingatkan pada penghapusan ''Daerah Istimewa Surakarta'' (1946) maupun penghancuran Kekaisaran Rusia (1917) oleh komunis.
 
{{cquote|Pada saat berlakunya UU ini, maka: a. Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Provinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. (Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)}}
Baris 114:
{{cquote|Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. (Pasal 91 sub b UU No 5/1974)}}
 
Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dan tidak ada perbedaan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. PerbedaanSatu-satunya yang ada hanyalahperbedaan padaadalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria yang nantinya pada 1982 juga disamakan dengan daerah lain, dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi ''Abdi Dalem Keprajan''.
 
Setelah berhenti dari Wakil Presiden pada 1978, Hamengkubuwono IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada 1988 Sultania terakhirmeninggal. dariHamengku NagariBuwono NgayogyakartaIX Hadiningrattercatat mangkatsebagai diGubernur Amerikaterlama Serikatyang dan dimakamkanmenjabat di PemakamanIndonesia Rajaantara 1945-raja1988 Mataramdan Imogiri.Raja SebuahKesultanan dedikasiNgayogyakarta yangterlama cukupantara tinggi1939-1988. kepadaDengan Bangsawafatnya danHamengku NegaraBuwono IndonesiaIX diberikan,Pemerintah denganPusat mottotidak Tahtamengangkat UntukGubernur Rakyat.Definitif Hamengkumelainkan Buwonomenunjuk IXSri tercatatPaduka sebagaiPaku GubernurAlam terlamaVIII, yangWakil menjabatGubernur/Wakil diKepala IndonesiaDaerah antaraIstimewa, 1945-1988sebagai danPelaksana RajaTugas KesultananGubernur/Kepala NgayogyakartaDaerah terlamaIstimewa. antara 1939-1988.
 
Pada saat gelombangterjadi reformasiberbagai menerpakerusuhan Indonesiatahun 1998, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah teraman di Indonesia. Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden saat itu, Soeharto, Sultan [[Hamengku Buwono X]] bersama-sama dengan [[Paku Alam VIII]] mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi ''"ajakan kepada masyarakat untukmendukunguntuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatauan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa''". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat yang konon sampai melebihi jumlah seratus ribu orang dalam acara yang disebut Pisowanan Hageng. Pengeluaran maklumat ini bukanlah tanpa resiko. Apabila gerakan reformasi gagal dan terjadi set back dengan penggunaan kekuasaan militer seperti terjadi tahun 1966 maupun ''tragedi Tiananmen'' di Beijing, Tiongkok, maka dapat saja kedua tokoh tersebut dipenjara dengan tuduhan subversi maupun makar dan Provinsi D.I. Yogyakarta dihapuskan.
Dengan wafatnya Hamengku Buwono IX Pemerintah Pusat tidak mengangkat Gubernur Definitif melainkan lebih memilih untuk menunjuk Sri Paduka Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Pelaksana Tugas Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada dekade 1990-an pernah muncul sebuah isu yang konon dilontarkan oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah waktu itu untuk menghapus Provinsi D. I. Yogyakarta dan menggabungkan bekas wilayahnya ke Provinsi/Daerah Tingkat I Jawa Tengah.
 
Pisowanan Hageng 20 Mei 1998 mungkin merupakan pengabdian besar terakhir dari Sri Paduka Paku Alam VIII. Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit. Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, Penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa, Pangeran terakhir Kadipaten Paku Alamandan mangkatmeninggal pada tahun yang sama. BeliauIa tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
Pada saat gelombang reformasi menerpa Indonesia, Yogyakarta merupakan salah satu wilayah teraman di Indonesia. Tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri Presiden saat itu, Soeharto, Sultan [[Hamengku Buwono X]] bersama-sama dengan [[Paku Alam VIII]] mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi ''ajakan kepada masyarakat untukmendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatauan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa''. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat yang konon sampai melebihi jumlah seratus ribu orang dalam acara yang disebut Pisowanan Hageng. Pengeluaran maklumat ini bukanlah tanpa resiko. Apabila gerakan reformasi gagal dan terjadi set back dengan penggunaan kekuasaan militer seperti terjadi tahun 1966 maupun ''tragedi Tiananmen'' di Beijing, Tiongkok, maka dapat saja kedua tokoh tersebut dipenjara dengan tuduhan subversi maupun makar dan Provinsi D.I. Yogyakarta dihapuskan.
 
Pisowanan Hageng 20 Mei 1998 mungkin merupakan pengabdian besar terakhir dari Sri Paduka Paku Alam VIII. Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit. Paku Alam VIII, Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, Penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa, Pangeran terakhir Kadipaten Paku Alaman mangkat pada tahun yang sama. Beliau tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
 
== 1998-sekarang ==
MangkatnyaMeninggalnya [[Paku Alam VIII]] menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY, terutama masalah kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Masalah utama adalah
# apakah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sepeninggal Paku Alam VIII berasal dari Pewaris Tahta atau terbuka untuk siapa saja
# apakah dipilih oleh DPRD atau diangkat secara langsung (tanpa pemilihan) oleh Presiden Indonesia