Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 10:
Predikat sebagai ''Zelfbestuur'' bagi dua monarki di Yogyakarta pada waktu itu tidak membawa masalah yang berarti karena Hindia Belanda maupun Belanda sama-sama berbentuk monarki. Status ini tidak dihapus pada [[1942]] oleh Tentara Angkatan Darat XVI Jepang di Jawa, melainkan dialihkan menjadi bagian dari Kekaisaran Jepang dan Asia Timur Raya dengan sebutan ''Kooti''. Pada tahun [[1943]] Hamengkubuwono IX Yogyakarta Koo mengajukan sebuah konsep Kemaharajaan Jawa kepada Dai Nippon di [[Jakarta]]. Dalam sidang kedua ''Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai'' 10-15 Juli 1945 disepakati bahwa kooti akan menjadi daerah yang memiliki otonomi khusus atau status istimewa.
Sementara itu di Yogyakarta, sejak 1942 [[Hamengku Buwono IX]] secara pelan mengambil kekuasaan yang ada di tangan ''Pepatih Dalem'' (berfungsi sebagai kepala pemerintahan sehari-hari) dengan cara memindahkan kantor Pepatih Dalem dari ''nDalem Kepatihan'' (Istana Perdana Menteri) ke Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.{{fact|date=September 2007}} Hal ini menyebabkan pihak ''Kooti Zimukyoku'' jika ingin berhubungan dengan ''Pepatih Dalem'' harus dengan izin Sultan. Dengan demikian Hamengku Buwono IX dapat mengetahui seluruh kegiatan pemerintahan sehari-hari yang diselenggarakan oleh Pepatih Dalem bersama-sama ''Koti Zimukyoku Tyookan''. Ketika ''Pepatih Dalem'' KPHH Danurejo VIII diberhentikan dengan hormat atas permohonan sendiri pada 14 Juli 1945, Sultan Hamengku Buwono IX tidak mengangkat ''Pepatih Dalem'' untuk menggantikannya. Sultan HB IX lebih memilih untuk mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan sehari-hari yang sebelumnya ada di tangan Pepatih Dalem. Untuk membantu melaksanakan kekuasaan tersebut Sultan HB IX membentuk beberapa Departemen Pemerintahan yang disebut dengan Paniradya yang dikepalai oleh Paniradyapati. Pembaruan pemerintahan ini diumumkan pada 1 Agustus 1945.
== 1945 - 1946 ==
Tanggal 18 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' dan ''Jawa Saiko Sikikan'' beserta stafnya. Keesokannya di Jakarta, terjadi pembicaraan dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''. Sebenarnya kedudukan ''Kooti'' sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.<ref>Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. (Pasal 18 UUD 1945)</ref>
Dalam sidang itu BPH Puruboyo, wakil dari ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Koti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan. Ketua panitia kecil perancang susunan daerah dan kementerian negara, [[Oto Iskandardinata]], mengemukakan bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga panitia kecil tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.{{fact|date=September 2007}} Akhirnya dengan dukungan [[Mohammad Hatta]], Suroso, Suryohamijoyo, dan Supomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi empat Ko Jawa. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September setelah ia mengetahui sikap resmi dari para penguasa monarki.
Pada tanggal 1 September, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan pembicaraan dengan [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 5 September 1945}}. Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederlandsch Indische'' setelah kekalahan Jepang. Dekrit semacam itu mengandung resiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja
Baris 65:
Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan {{ke wikisource|UU No. 15 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 44) dan {{ke wikisource|UU No. 16 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan {{ke wikisource|PP No. 32 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten [[Bantul]] (beribukota Bantul), [[Sleman]] (beribukota Sleman), Gunungkidul (beribukota Wonosari), [[Kulon Progo]] (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota [[Wates]]), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Nomor 18 Tahun 1951}} (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
Pada tahun [[1951]], diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.{{fact|date=September 2007}} Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP (P.J. Suwarno, 1994). Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (HB IX dan PA VIII). Namun kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
Sekalipun DIY telah berintegrasi dengan Indonesia, tetapi birokrasi pemerintahan monarki tidak dihapuskan begitu saja, mengingat dari 1945 sampai 1950 birokrasi ini menjadi tulang punggung birokrasi DIY. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari ''Kanayakan'' yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem''). Sedikit demi sedikit birokrasi ini dipisahkan dari birokrasi monarki (Keraton). Pada dasarnya kedua birokrasi ini dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi.
Baris 84:
Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria yang pada 1982 juga disamakan dengan daerah lain, dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi ''Abdi Dalem Keprajan''.
Setelah berhenti dari [[Wakil Presiden]] pada 1978, Hamengkubuwono IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena pada 1988 ia meninggal. Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja Kesultanan Ngayogyakarta terlama antara 1939-1988.
Pada saat reformasi, tanggal 20 Mei 1998, sehari sebelum pengunduran diri [[Presiden Soeharto]], Sultan [[Hamengku Buwono X]] bersama-sama dengan [[Paku Alam VIII]] mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak ABRI (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan
Beberapa bulan setelahnya Paku Alam VIII menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Ia tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
|