Tanjung Merah, Matuari, Bitung: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 43:
 
 
Pada saat di tempat itu kian banyak orang dan situasi dirasa aman, maka pemukiman penduduk dipindahkan agak ke tepi pantai, dan sejak itu dinamakan Tana Rundang karena didekat pemukiman itu tedapatterdapat sebuah tumbuna (tanjung) yang tebingnya berwarna kemerah-merahan. Pada tahun 1827 Tana’ Rundang disahkan sebagai banua (negeri) melalui suatu upacara adat yang dipimpin Dimia um Banua, yakni Opo Nusa, Opo Simedeman dan Opo Tindadas dari Laikit. Pada upacara itu sekaligus juga mengukuhkan Wadian Tewu Tanod selaku Tunduan Teterusan (pemimpin kampung panutan).
 
Setahun kemudian, yakni pada tahun 1828 orang Mangindano datang dalam jumlah besar dan menyerang negeri baru itu. Menurut tutur cerita, para te’dong itu datang dengan menggunakan 4 pakata (sejenis perahu) yang masing-masing membuat sekitar 150 orang. Maka terjadilah pertempuran yang mengakibatkan banyak korban di kedua pihak. Daratan Tumbuna dan air laut disekitarnya bersimbah darah sehingga disebut juga Tana’ Da’ (Tanah Darah). Pertempuran itu merupakan “arena perang” paling mengerikan sepanjang sejarah Negeri Tanjung Merah. Itulah sebabnya sekalipun berhasil dimenangkan oleh orang Tana’ Rundang namun telah menimbulkan ketakutan berkepanjangan dikalangan penduduk, bahkan ada beberapa keluarga yang langsung pulang ke negeri asal mereka dan tidak pernah kembali ke Tana’ Rundang. Trauma ini telah melahirkan ungkapan sindiran (satire), khususnya di wilayah Minawerot, yaitu : “Maan kino si wilasow masengket nokan nang kure tana’, nyaku soo mo mawuri nan Tana’Rundang”, yang artinya : “sekalipun ikan wilasow datang sendiri melompat di belanga, saya tak sudi lagi kembali ke Tanjung Merah”.
 
Pada tahun 1845 Negeri Tana’ Rundang secara administratif disahkan oleh pemrintahpemerintah Hindia Belanda sebagai desa dan dimasukkan dalam wilayah kepolisian distrik Tonsea, Tewu Arnold Tanod tetap terpilih sebagai Hukum Tua atau Ukung Tua (kepala keluarga yang dituakan) tambahan nama Arnold adalah nama baptis beliau seiring masuknya agama Kristen di negeri itu (dikupas khusus pada sejarah GMIM Eben Haezer, Tanjung Merah), dan Ibrahim Bugis Lengkong dipercayakan sebagai Juru Tulis. Nama Tana’ Rundang diganti menjadi Tanjung Merah, walaupun dalam pergaulan sehari-hari orang Tonsea, tetap disebut Tana’ Rundang sampai sekitar tahun 1950an.
 
Penting untuk diketahui sebagai fakta perjalanan sejarah, bahwa sekitar akhir abad ke 19 beberapa keluarga dari Tanjung Merah telah membuka areal perkebunan dan pemukiman baru ke arah Timur Laut yang dikemudian hari telah berkembang pesat menjadi sebuah kota pelabuhan dengan nama Bitung (diambil dari nama pohon Bitung, bahasa Tonsea, Witung) yang pada masa lalu banyak terdapat di sepanjang pantai daerah itu. Mereka adalah keluarga Lengkong, keluarga Siby, keluarga Roti, keluarga Sompotan, keluarga Ganda dan keluarga Wullur (sekarang dikenal dengan keluarga “Enam Dotu”). Selanjutnya setelah Bitung menjadi kecamatan, Tanjung Merah dimasukan sebagai salah satu desa di dalam wilayahnya. Demikianlah seterusnya seiring dengan perkembangan kota Bitung, Tanjung Merah berubah status menjadi kelurahan ketika Bitung diresmikan sebagai kota administratif dan kemudian menjadi kotamadya.