Kabupaten Blitar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Borgx (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
{{rapikan}}
''Artikel ini mengenai Blitar sebagai [[kabupaten]]. Untuk [[kota]] dengan nama yang sama, silakan lihat laman [[Kota Blitar]].''
 
Baris 5 ⟶ 4:
|propinsi=[[Jawa Timur]]
|ibukota=Blitar
|luas=1.667588,9379 km²
|penduduk=1.111.000 (2003)
|kepadatan=666
|kecamatan=22
|kelurahan=?220 (desa)</br>28 (kelurahan)
|kodearea=0342
|dau=Rupiah?
|lambang=[[Gambar:Logo_kabblitar.png|120px]]
|peta= [[Gambar:Locator_kabupaten_blitar.png]]
|koordinat=?111°40'-112°10' BT dan 7°09' LS
|dasar hukum=?-
|tanggal=[[5 Agustus]] [[1324]]
|motto=Hurub Hambangun Praja
|kepala daerah=[[Bupati]]
|nama kepala daerah=Heri Nugroho
|web=Klik [http://www.kabblitar.go.id/ www.kabblitar.go.iddi sini]
}}
 
'''Kabupaten Blitar''' adalah sebuah [[kabupaten]] yang terletak di [[Provinsi]] [[Jawa Timur]], [[Indonesia]]. IbuBeribukota kotanyadi adalah '''[[Blitar'''.]], Kabupatenkabupaten ini berbatasan dengan [[Kabupaten Kediri]] di sebelah utara, [[Kabupaten Malang]] di sebelah timur, [[Samudra Hindia]] di sebelah selatan, sertadan [[Kabupaten Tulungagung]] di sebelah barat. Kabupaten Blitar terdiri atasmemiliki 22 [[kecamatan]], yang dibagi lagi atasmenjadi sejumlah220 [[desa]] dan 28 [[kelurahan]].
 
[[Gunung Kelud]] (1.731 m dpl), salah satu [[gunung]] api strato yang masih aktif di [[Pulau Jawa]], terletak di bagian utara [[kabupaten]] ini berbatasan langsung dengan [[Kabupaten Kediri]]. Bagian selatan Kabupaten Blitar (yang dipisahkan oleh Sungai Brantas) dikenal sebagai penghasil [[kaolin]] dan dilintasi oleh Pegunungan Kapur Selatan. Pantai yang terkenal antara lain Pantai Tambakrejo dan Pantai Jalasutra.
Bagian utara (perbatasan dengan [[Kabupaten Kediri]]) terdapat [[Gunung Kelud]] (1.731 m), salah satu [[gunung]] api aktif di [[Pulau Jawa]]. Pantai selatan pada umumnya berbukit.
 
==TanahKeadaan tanah==
[[Blitar]], baik [[Kota Blitar|kota]] maupun kabupaten, terletak di kaki lereng [[Gunung Kelud]] di, [[Jawa Timur]]. Daerah Blitar selalu dilandaterkena lahar [[Gunung Kelud]] yang meledaksudah secarameletus berkalapuluhan sejakkali zamanterhitung kunosejak sampai sekarang.tahun [[Lahar1331]]. mengalirLapisan-lapisan kebawah melaluitanah [[lembahvulkanik]]-lembah yang banyak ditemukan di [[sungaiBlitar]] danpada membekuhakikatnya menutupmerupakan permukaanhasil pembekuan lahar [[bumiGunung Kelud]] yang telah meletus secara berkala sejak bertahun-tahun yang lalu.
 
Keadaan tanah di daerah Blitar yang kebanyakan berupa tanah [[vulkanik]], mengandung abu letusan [[gunung|gunung berapi]], [[pasir]], dan ''napal'' (batu kapur yang tercampur tanah liat). Tanah tersebut pada umumnya berwarna abu-abu kekuningan, bersifat masam, gembur, dan peka terhadap erosi. Tanah semacam itu disebut [[tanah regosol]] yang dapat dimanfaatkan untuk menanam [[padi]], [[tebu]], [[tembakau]], dan [[sayur|sayur mayur]]. Selain hijaunya [[sawah|persawahan]] yang kini mendominasi pemandangan alam di daerah Kabupaten Blitar, ditanam pula tanaman [[tembakau]] di daerah ini. [[Tembakau]] ini mulai ditanam sejak [[Belanda]] berhasil menguasai daerah ini sekitar abad ke-17. Bahkan, kemajuan ekonomi [[Blitar]] pernah ditentukan dengan keberhasilan atau kegagalan produksi [[tembakau]].
[[Abu]] yang memancar dari bawah [[gunung berapi]] akhirnya jatuh juga di permukaan [[bumi]] dan bercampur dengan [[tanah]]. Lapisan-lapisan tanah [[vulkanik]] daerah Blitar pada hakekatnya merupakan suatu kronologi tentang ledakan-ledakan [[Gunung Kelud]] yang berkelanjutan sejak zaman dahulu kala.
 
Sungai Brantas yang mengalir dari timur ke barat membagi Kabupaten Blitar menjadi dua, yaitu bagian utara dan selatan. Bagian selatan Kabupaten Blitar (sering disebut Blitar Selatan) kebanyakan tanahnya berjenis [[grumusol]]. Tanah semacam ini hanya produktif bila dimanfaatkan untuk menanam ketela pohon, [[jagung]], dan [[jati]].
[[Geologis]] tanah daerah Blitar berupa tanah [[vulkanik]] yang mengandung abu ledakan [[gunung berapi]], [[pasir]], dan [[napal]] (batu kapur bercampuran tanah liat). [[Warnanya kelabu kekuning-kuningan. Sifatnya masam, gembur dan peka terhadap erosi]]. Tanah semacam itu disebut [[tanah regosol]] yang dapat digunakan tuntuk penanaman [[padi]], [[tebu]], [[tembakau]], dan [[sayur]]- sayuran. Disamping [[sawah]] yang sekarang mendominasi pemandangan alam daerah sekitar Kota Blitar ditanam pula [[tembakau]] di daerah ini. [[Tembakau]] ini ditanam sejak zaman [[Belanda]] berhasil menaruh daerah ini dibawah jurisdiksinya dalam [[abad ke-17]]. Bahkan pernah, maju-mundur Blitar ditentukan oleh berhasil tidaknya produksi [[tembakau]] di daerah ini. [[Sungai Brantas]] mengalir memotong daerah Blitar dari Timur ke Barat. Disebelah Selatan [[sungai Brantas]] (daerah Blitar Selatan) kita menjumpai tanah yang lain lagi jenisnya. Tanah ini tergolong dalam apa yang disebut [[grumusol]]. Tanah grumusol merupakan batu-batuan endapan yang berkapur di daerah [[bukit]] maupun [[gunung]] yang memilki sifat basah.
 
[[Tanah]] semacam ini hanya baik untuk penanaman ketela pohon [[(cassave)]] dan [[jagung]] di samping kegunaannya sebagai daerah [[hutan jati]] yang kering dan tandus. Seperti yang telah kita ketahui, [[Sungai Brantas]] menerobos daerah Blitar dari Timur ke Barat.
 
==Sungai Brantas==
[[Sungai]] yangBrantas merupakan [[sungai]] terpanjang terbesarkedua di [[Jawa Timur]] sesudahsetelah [[Bengawan Solo]] (sebagian mengalir di wilayah Provinsi [[Jawa Tengah]]). Sungai ini mempunyaimemegang arti yangperanan penting sekali bagidalam sejarah politik maupun sosial Provinsi [[Jawa Timur]]. BersumberSungai yang berhulu di [[Gunung Arjuna]], [[sungai]]Arjuno ini turut membawa unsur-[[unsur basis]]utama yangdari dimuntahkan di [[dataran tinggi aluvial]] di [[Malang]] yang bersifat masam hinggasehingga larutanmenghasilkan basa-asam menimbulkan [[unsur garam]] yang tidakberguna bisa di pisahkan daribagi kesuburan tanah karena [[garam]] merupakan bahan makan tumbuh-tumbuhan seperti [[padi]], [[palawija]] dan sebagainya.
 
PerananDi semacamKabupaten iniBlitar, diulangialiran lagiair oleh [[Sungai Brantas]] kalaudiberi sungaitambahan iniunsur menalirutama menerobossehingga Daerah Blitar. Dimenyebabkan daerah ini,dataran [[Sungairendah Brantas]] menerima [[unsur basis]] dalam airnyaaluvial yang kemudiandilintasi dimuntahkanSungai diBrantas, [[dataran rendah aluvial]]seperti [[Tulungangung]] [[(Ngrawa)]] dan [[Kediri]], yangmemiliki bersifattanah masam sehingga daerah itu menjadiyang subur.
 
==Masa kerajaan==
Sekali lagi sungai ini setelah melewati [[kediri]] menerobos [[pegungungan kapur]] [[Kendeng Tengah]] di sekitar [[Kabupaten Jombang]] dan memuntahkan unsur basisnya di [[rawa-rawa]] yang masam di daerah muara dan deretannya sekitar [[Kabupaten Mojokerto]] hingga [[endapan aluvial]] di daerah itu menjadi subur.
Tiga daerah subur, yaitu [[Malang]], [[Kediri]], dan [[Mojokerto]], seakan-akan "diciptakan" oleh [[Sungai Brantas]] sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori ''natural seats of power'' yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun [[1919]]. Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di [[Jawa Timur]], seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas.
 
Jika saat ini [[Kediri]] dan [[Malang]] dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui [[Mojosari]], [[Ngantang]], atau [[Blitar]], maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui [[Mojosari]] atau [[Blitar]] jika ingin bepergian ke [[Kediri]] atau [[Malang]]. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati [[Ngantang]] masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.
==Kerajaan==
Tiga daerah pusat kesuburan ini, yaitu [[Malang]], [[Kediri]], [[Mojokerto]] seakan-akan secara alamiah diciptakan oleh [[Sungai Brantas]] untuk menentukan apa yang di dalam [[geopolitik]] disebut "[[ natural seats of power]]" atau tempat-tempat yang telah ditentukan oleh alam untuk menjadi tempat kedudukan sesuatu kekuasaan ([[Sir Halford Mackinder]], [[1919]]). Dan memanglah kemudian disitu timbul kerajaan-kerajaan yang besar di Jawa Timur, yaitu [[Kerajaan Kediri]], [[Kerajaan Singhasari]], dan [[Kerajaan Majapahit]].
 
Jalur utara yang melintasi [[Mojosari]] sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar [[Jayakatwang]] yang telah susah payah mengejar [[Raden Wijaya]] pada tahun [[1292]] gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi [[Blitar]] lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai.
Jika [[Kerajaan Majapahit]] secara alamiah boleh dikata berbatasan langsung , maka tidaklah demikian halnya dengan [[Kerajaan Kediri]] dan [[Kerajaan Singhasari]]. Kedua kerajaan ini dipisahkan oleh alam dengan adanya rawa-rawa (muara [[Sungai Porong]]), deretan gunung-[[gunung]] ([[Gunung Penanggungan]], [[Gunung Welirang]], [[Gunung Anjasmara]], [[Gunung Arjuna]], [[Gunung Kelud]], [[Gunung Kawi]]) yang membentang dari Utara ke Selatan, daerah Blitar, dan [[Pegunungan Kendeng Selatan]] yang kering lagi tandus. Kalau sekarang hubungan antara kediri dan Malang itu dapat dilaksanakan melalui tiga jalur jalan, ialah melalui [[Mojosari]], [[Ngantang]], atau [[Blitar]], mungkin di zaman dulu orang menggunakan hanya dua diantara tiga itu, ialah jalan Utara ([[Mojosari]]) dan jalan Selatan (Blitar). Jalan tengah ([[Ngantan]]) terlalu sukar dan berbahaya untuk ditempuh sehingga orang tidak menggunakannya jika tidak terpaksa. Bahkan dalam [[abad ke-17]] jalan ini menurut berita [[Belanda]] masih merupakan jalan yang sukar sekali dapat di tempuh ([[J.K.J de Jonge & M.L. Van De Venter]], [[1909]]). [[Van Sevenhoven]] dalam tahun [[1812]] menyebut jalan ini masih tetap sukar juga ([[B. Schrieke]], [[1957]]).
 
Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah [[Blitar]] merupakan daerah lintasan antara [[Daha]] ([[Kediri]]) dengan Tumapel ([[Malang]]) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki [[Blitar]], yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing ([[Panjalu]] dan [[Jenggala]] serta [[Daha]] dan [[Singosari]]). Banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah ini (kira-kira 21 prasasti) bisa dikaitkan dengan alasan tersebut.
Jalan Utara melalui [[Mojosari]] kiranya agak sukar ditempuh juga pada waktu itu meningat adanya rawa-rawa di sekitar muara sungai porong. Kita masih ingat bagaimana sukarnya Laskar [[Jayakatwang]] untuk menangkap [[Raden Wijaya]] pada tahun [[1292]] didaerah itu. Raden Wijaya pandai menggunakan keadaan medan yang berawa itu untuk meloloskan diri.
 
===Kitab Negarakertagama===
Jika semua yang dikemukakan diatas itu benar, maka jalan Selatan melalui Blitar itulah yang paling mudah ditempuh kalau dibandingkan dengan yang lainnya. keadaan [[alam]]nya memang memungkinkan hal itu.
Pendapat yang mengatakan bahwa Kabupaten Blitar merupakan daerah perbatasan antara [[Daha]] dengan [[Tumapel]] dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa [[Raja Airlangga]] meminta [[Empu Bharada]] untuk membagi [[Kerajaan Kediri|kerajaan Kediri]] menjadi dua, yaitu [[Kerajaan Panjalu|Panjalu]] dan [[Kerajaan Jenggala|Jenggala]]. [[Empu Bharada]] menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian<ref>Kitab Nagarakertagama, nyanyian 68:1, 68:2, dan 68:3<ref/> Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan [[Kerajaan Panjalu]] dan [[Kerajaan Jenggala]]. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya ''Kali Lekso''). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
 
===Kitab Pararaton===
Permukaan [[tanah]]nya boleh dikata tidak menunjukkan [[relief]] yang tajam. [[Sungai]] besar [[Brantas]] memotong daerah ini seakan-akan membuat jalan bagi [[manusia]] yang ingin melintasi daerah ini. Bukan rahasia lagi bahwa di zaman kuno ( dan di zaman sekarang di daerah [[penduduk]]nya yang masih [[primitif]]) jalan gerak [[manusia]] itu pada umumnya ditentukan oleh [[sungai]]. Maka atas dasar semua itu kiranya bolehlah kita kesimpulkan bahwa di zamandulu ( dan samapi sekarang ) daerah Blitar itu merupakan daerah lintasan antara [[Daha]] ([[Kediri]]) dan Tumapel ([[Malang]]) terdekat dan termudah hingga banyak ditempuh. Disinilah letak arti penting daerah Blitar, yaitu daerah perbatasan yang menguasai lalu lintas antara dua daerah atau wilayah karena yang di zamanya saling bersaing ( [[Panjalu]] dan [[Jenggala]] serta [[Daha]] dan [[Singosari]] ). Tidak mustahil bahwa banyaknya [[prasasti]] yang ditemukan di daerah Blitar ini (± 21 buah) menunjuk ke arah hal itu.
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa balatentara [[Daha]] yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan [[Singosari]] yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara ([[Mojosari]]). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat ''saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring [[Singosari]] pisan.'' yang berarti ''dari tepi Aksa menuju Lawor... langsung menuju Singosari.''<ref>Kitab Pararaton, bab 5, diterjemahkan oleh Ki J. Patmapuspita, [[1966]]<ref/>. Nama atau kata ''Aksa'' yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso.
 
Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh [[De Jonge]]) yang mengatakan bahwa ''...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah kepunyaan [[Malang]] dan di sebelah baratnya adalah wilayah kepunyaan [[Blitar]].''<ref>B. Schrieke, [[1957]].<ref/>
Bahwa Blitar merupakan daerah perbatasan antar [[Daha]] dan [[Tumapel]] mungkin dapat kita simpulkan dari peristiwa yang tercantum dalam [[Kakawin_Nagarakretagama|Kitab Negarakretagama]], [[Empu Bharada]] atas permohonan [[Raja Airlangga]] membagi [[kerajaan]] menjadi dua, yaitu [[Kerajaan Panjalu]] dan [[Kerajaan Jenggala]]. Ini dilaksanakan dengan terbang sambil menuangkan air dari sebuah kendi ([[Kakawin Nagarakretagama]], Nyanyian 68 : 1,2,3). Kiranya air ini menjadi sungai yang kemudian menjadi batas antara [[Kerajaan Panjalu]] dan [[Kerajaan Jenggala]]. Sungai apakah ini sekarang belum dapat diketahui dengan pasti. Tetapi ada beberapa orang [[ahli sejarah]] yang menafsirkan bahwa [[sungai]] tersebut kiranya [[Sungai Leksa]] sekarang. Perkiraan ini didasarkan atas tafsiran [[etimologis]] mengenai nama sungai yang disebut dalam [[kitab Pararaton]].
 
[[Berkas:Candi_Penataran.jpg|left|thumb|200px|Kompleks [[Candi Penataran]].]]
Diceritakan dalam [[Pararaton]] bahwa tentara [[Daha]] (Raja [[Jayakatwang]]) yang menyerbu [[|Kerajaan Singhasari|Singhasari]] (Raja [[Kertanegara]]) bergerak melali jalan Utara (Mojosari dan jalan Selatan-Blitar). Yang bergerak melalui Selatan dikatakan bahwa tentara itu "[[Saking Pinggir Aksa anuju in Lawor...anjugjugring Singasari pisan]]". ([[Pararaton]], Bab V) yang arti "[[Dari tepi Aksa menuju Lawor...langsung menuju Singosari]]" (Penerjemah [[Ki J. Patmapuspita]], [[1966]]).
 
===Candi===
Nama atau kata aksa yang terdapat dalam kalimat tersebut kemudian diperkirakan menjadi [[Kali Aksa]] dan akhirnya [[Kali Lekso]] seperti yang kita kenal sekarang. jika ini dapat kita terima maka adanya sungai Lekso di Blitar membenarkan peranan daerah Blitar sebagai daerah perbatasan antara [[Panjalu]] ([[Daha]], [[Kediri]]) dan [[Jenggala]] ( [[Malang]], [[Pasuruan]] ke Timur).
Oleh karena letaknya yang strategis, [[Blitar]] penting artinya bagi kegiatan keagamaan, terutama Hindu, di masa lalu. Lebih dari 12 candi tersebar di seantero [[Blitar]]. Adapun candi yang paling terkenal di daerah ini adalah [[Candi Penataran]] yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok. Menurut riwayatnya, [[Candi Penataran]] dahulu merupakan ''candi negara'' atau candi utama kerajaan. Pembangunan [[Candi Penataran]] dimulai ketika [[Raja Kertajaya]] mempersembahkan ''sima'' untuk memuja ''sira paduka bhatara palah'' yang berangka tahun [[Saka]] 1119 ([[1197]] Masehi).
 
Nama Penataran ini kemungkinan besar bukan nama candinya, melainkan nama statusnya sebagai candi utama kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di [[Bali]] juga disebut dengan ''penataran'', misalnya Pura Panataransasih. Menurut seorang ahli, kata ''natar'' berarti pusat, sehingga [[Candi Penataran]] di sini dapat diartikan sebagai candi pusat. ''Silakan lihat laman [[Candi Penataran]] untuk lebih lengkapnya.''
Pendapat ini dapat di perkuat lagi dengan peta yang berasal dari [[abad ke-17]] yang dilakiskan kembali oleh [[De Jonge]] yang mengatakan "[[...disebelah Timur sungai ini (sungai Lekso) terbentang daerah Malang dan disebelah Baratnya daerah Blitar]]". ([[B. Schrieke]], [[1957]]).
 
==DaerahHari lubangJadi==
Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya.<ref>Damais, 1968<ref/> (Damais, [[1968]]). Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian.<ref>McDannel, ''Sanskrit Dictionary'' hlm. 182<ref/>
Jika kita menelaah peta dan mengalihkan atau mengetrapkan kesan kita pada zaman yang lampau, maka akan nampak pada kita bahwa daerah Blitar merupakan lubang dan satu-satunya lubang yang ada pada garis perbatasan alamiah yang memanjang dari Utara ke Selatan ([[rawa]]-rawa [[sungai Porong]], [[Gunung Penanggungan]], [[Gunung Welirang]], kompleks [[Gunung Arjuna]], kompleks [[Gunung Kawi - Gunung Kelud]], sampai [[Gunung Kendang Selatan]]).
 
Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun [[Saka]] 1283 atau [[1361]] Masehi, Raja [[Majapahit]] yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di [[Blitar]] untuk mengadakan upacara pemujaan di [[Candi Penataran]]. Rombongan itu tidak hanya singgah di [[Candi Penataran]], tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat.
Seperti yang kita katakan terdahulu, lubang ini merupakan lubang lalu-lintas yang penting antara dua [[kerajaan]] itu. Blitarlah yang mengawasi lalu-lintas ini hingga Blitar mendapatkan kedudukan yang boleh dikata istimewa. Ini dapat dilihat dari adanya banyak [[prasasti]] dan [[bangunan suci]] di Blitar yang hampir semua memberikan hadiah bebas pajak kepada [[desa]]-desa yang disebut sebut [[Sima]]. Walaupun bebas [[pajak]] namun Sima-Sima ini dibebani tugas istimewa yang berhubungan dengan banungunan suci atau dengan raja berdasarkan atas pertimbangan ekonomis ([[Dr. Soek mono]], [[1974]]). Nampaknya raja-raja, sejak [[Balitung]] sampai jatuhnya [[Kerajaan Majapahit]], berkepentingan di daerah Blitar ini. Bahkan [[Raja]] terbesar [[Majapahit]], [[Hayamwuruk]], selama pemerintahanya tidak kurang dari tiga kali mengelilingi Blitar. Bahwa seorang raja yang berstatus [[prabu]] ([[maharaja]]) seperti [[Hayamwuruk]] itu sampai berkali-kali pergi ke Blitar, maka arti penting Blitar tidak dapat begitu saja diabaikan. Apakah arti penting Blitar di samping letaknya yang strategis itu belum dapat kita ketahui dengan pasti karena belum didapatnya sumber-sumber informasi yang lengkap lagi dapat di percaya.
 
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di [[Blitar]]. Pada tahun [[1357]] Masehi (1279 [[Saka]]) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke [[Blitar]] untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo.<ref>Nag. punuh 17/5, 6, 41/4, 61/2, dan 3<ref/> Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah [[Blitar]] kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
==Candi==
Kecuali penting karena letaknya yang strategis ini, Blitar juga penting artinya bagi agama di zaman kuno. Tidak kurang dari sepuluh [[bangunan suci]] tersebar di daerah Blitar. Diantara bangunan bangunan suci ini, maka bangunan suci di [[Penataran]]lah yang tersebar dan terpenting, karena candi Penataran itu merupakan [[candi]] di Negara ([[status tample]]) atau candi pusat kerjaan. Adanya [[Candi Penataran]] di mulai ketika [[Raja Kertajaya]] yang juga disebut [[Crengga]] mempersembahkan [[sima]] untuk pemujaan "[[sira paduka bhatara Palah]]". Prasasti ini dibubuhi angka [[tahun Caka]] 1119 ([[1197]] M).
 
Pada tahun [[1316]] dan [[1317]] Kerajaan [[Majapahit]] carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan [[Gajah Mada]]. Berkat siasat [[Gajah Mada]], Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.<ref>Kitab Pararaton:80-83<ref/> Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan [[Blitar]] sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan [[Majapahit]]. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari [[Minggu]] Pahing bulan Srawana tahun [[Saka]] 1246 atau [[5 Agustus]] [[1324]] Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.
Ditanah [[sima]] itu baru kemudian didirikan candi-candi seperti yang kita kenal sekarang. Memang, tempat di mana sesuatu bangunan suci itu akan didirikan sebenarnya mempunyai fungsi yang lebih penting daripada bangunan sucinya sendiri. Tempat itu harus mengandung kekuatan-kekuatan [[magis religius]] yang bersifat menyelamatkan. [[Dr. Soekmono]] dalam disertasinya "[[Candi, fungsi dan pengertiannya]]" menyatakan seperti berikut :
 
==Transportasi==
"[[ Sesuatu tempat suci adalah suci karena potensinya sendiri. Maka sesungguhnya, yang primer adalah tanahnya, sedangkan kuilnya hanya menduduki tempat nomer dua]]".
Jelaslah disini bahwa [[tanah]] atau tempat dimana bangunan-bangunan [[Candi Penataran]] itu berada dianggap tanah yang suci karena mengandung kekuatan-[[kekuatan gaib]]. Tetapi yang dianggap paling suci ialah titik pusat tanah atau halaman [[Candi Penataran]] dimana segala macam [[tenaga gaib]] bersatu dan perpusat. Pusat ini dianggap sebegitu keramatnya sehingga bangunan candi induk pun tidak dipernankan menutupinya.
[[Candi penataran]] dibangun berhubung dengan adanya [[Gunung Kelud]] yang selalu mengancam ketentraman kehidupan kerajaan. Karena itu Candi Penataran bersifat [[Candi Gunung]], yaitu [[candi yang diperuntukkan bagi pemujaan Gunung atau untuk menghindarkan segala malapetaka yang dapat di sebabkan oleh gunung]].
 
Kabupaten Blitar dilintasi oleh jalan provinsi yang menghubungkan daerah ini dengan [[Kota Blitar]], [[Kabupaten Kediri]], [[Kabupaten Tulungagung]], dan [[Kabupaten Malang]]. Kabupaten Blitar juga mempunyai jalur [[kereta api]] lintas [[Surabaya]] dan [[Jakarta]] yang setiap hari dilintasi oleh beberapa [[kereta api]], seperti Gajayana ([[Malang]]-[[Jakarta]] kelas eksekutif]]), Matarmaja ([[Malang]]-[[Jakarta]] lewat [[Semarang]] kelas ekonomi), dan kereta ekonomi dua nama yang melayani perjalanan ke [[Surabaya]], yaitu Penataran (lewat [[Malang]]) dan Rapih Dhoho (lewat [[Kertosono]]). Stasiun-stasiun yang berada di Kabupaten Blitar adalah Stasiun Garum, Talun, Wlingi, Kesamben, dan Pohgajih. Adapun terminal bus dan angkutannya hanya ada di Kesamben, Lodoyo, Kademangan, dan Gawang.
Nama Penataran kemungkinan besar bukan nama Candinya tetapi nama statusnya sebagai Candi di Pusat Kerajaan. Candi-candi pusat semacam ini di [[Bali]] juga disebut dengan Penataran, misalnya [[Pura Panataransasih]] dan [[Pura Panataran Besakih]]. Kata "[[natar]]" menurut [[Dr. Soekmono]], berarti [[pusat]] sehingga Penataran berarti [[Candi Pusat]]. Nama yang sebenarnya kita belum tahu.
 
Akhirnya dapat ditambahkan disini bahwa daerah Blitar itu memegang peranan yang unik dalam sejarah, ialah tempat yang baik untuk mengundurkan diri (terugval-basis) bagi mereka yang ingin menyusun kembali kekuatanya. Letaknya sangat strategis. Dari Blitar baik dataran tinggi sebelah Timur maupun Barat gunung Kawi dapat diancam. Ken Arok mungkin tahu akan hal ini dan ia menjadi raja.
 
==Sejarah==
Salah satu sumber sejarah terpenting adalah Pracasti (prasasti) , karena merupakan dokumen tertulis yang orosinil (Damais, 1968).
Prasasti berarti : tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian (matrical eulogitic inscription, Mc. Dannel, Sanskrit Dictionary 182a).
 
Prasasti juga berarti anugerah, karena umunya selaku Prasasti dalam arti pujian itu, di dasarkan atas anugerah yang diberikan seorang raja kepada rakyatnya. Dalam Prasasti, dalam arti anugerah itu, disebutkan berlakunya hak istimewa yang turun-temurun. Istilah untuk itu dalam Negara Kertagama disebut purwasarirareng prasatyalama tan rinaksan iwo, yang berarti hak-hak istimewa yang sejak dahulu dilindungi oleh Prasasti kuno. Enam abad yang lalu tepatnya pada bulan Waisaka tahun Saka 1283 atau tahun 1361 Masehi, Raja Majapahit Sri Hayamwuruk beserta pengiringya, singgah di Blitar dalam rangka perjalanan ke candi Palah (Penataran) untuk mengadakan upacara Puja. Bukan
hanya di Blitar iringan tamu itu singgah, tetapi tempat-tempat yang disinggahi yaitu Sawentar (Lwangwentar), Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati), Mleri (Taleri) di Srengat.
 
Kunjugan Raja itu bukan sekali itu saja dilakukan, karena pada tahun 1357 M. (1279 Saka) Raja telah meninjau pantai Selatan serta menginap beberapa hari lamanya di Lodoyo. (Nag. punuh 17/5; 6; 41/4;61/2; 3.)
Apabila Raja Hayamwuruk itu dalam kesempatan yang berlainan serta tujuan kunjungan yang berbeda, mengunjungi Blitar, hal itu memberikan petunjuk betapa pentingnya Blitar pada waktu itu, sehingga mendapat kunjungan istimewa beberapa kali. Dengan kata lain, Blitar dengan tempat-tempat lain sekitarnya telah lama dikenal sebagai tempat yang penting, dan selalu mendapat kunjungan Kepala Negara Majapahit. Blitar telah dikenal sejak lama dan dimasukkan dalam acara kunjungan resmi Sang Raja. Kenyataan ini membawa kita dalam suatu masalah sejak kapankah Blitar khususnya serta tempat-tempat lain disekitarnya pada umumnya muncul dalam arena sejarah? Jawaban persoalan ini akan membawa pula kepada penelusuran sejarah Blitar sejak kapan tercatat paling tua dalam sejarah pertumbuhannya. Dengan perkataan lain bilamanakah Blitar sebagai nama tempat, mulai dikenal dalam dokumen tertulis. Data tentang ini merupakan dasar untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Blitar, suatu kabupaten yang berkembang dari suatu tempat yang telah merintis perjalan sejarah lebih kurang enam abad yang silam.
 
Sumber tertulis memeberikan petunjuk adanya hubungan daerah Blitar dengan pusat kerajaan di Jawa Tengah, berasal dari zaman Pemerintahan Raja Balitung.
 
Dokumen tertulis itu ditemukan oleh Dr. Verbeek pada tahun 1868, yang kemudian diletakkan dihalaman Kabupaten Blitar.
Tulisan itu dipahatkan pada punggung sebuah patung Ganesya, untuk kepetingan penelitian epigrafsi atau sejarah selanjutnya, dibuatlah salinannya (abklatch atau estampage) pada tahun 1809, termuat dalam catatan arsip purbakala, no. 298-300; 351;430-437. Kemudian berturut-turut dibahas dalam catatan tahun 1876 / no. 6; Cat 1891 hal. 5; 1893, hal. 120; Sedang fotonya pertama kali dibuat Van Kinsbergen, dalam arsip noto no. 332.
 
Turunan tulisan tersebut dibuat oleh Cohen Stuart dan Van Limberg Brower dalam Tidjschr, XVIII hal.109-117. Sayang sekali sumber yang tertua memuat daerah Blitar ini, tidak dicatat dari mana asalnya, tetapi tidak boleh tidak berasal dari wilayah Blitar. Prasasti yang ditulis dibelakang arca Ganesha ini, oleh Dr. C.L. Damais disebut juga dengan nama Prasasti Kinewu, berdasarkan nama desa yang ditetapkan dalam Prasasti tersebut.
 
Dalam Prasasti itu diberitakan bahwa Kepala Desa Kinwu telah diberi anugerah oleh Raja Balitung, yang bergelar Sri Iswara Kesawasamarot tungga, beserta mahamantrinya yang bernama Daksa, sebidang tanah sawah yang termasuk wilayah rambahan. Didalamnya disebutkan luas sawah yang dianugerahkan itu, beserta ketentuan-ketentuan pajak tanahnya. Disamping itu desebutkan para saksi yang memperkuat waktu upacara penganugerahan tersebut.
 
Prasasti itu ditetapkan pada bulan margasira tanggal 12 paroterang, tahun 829 Saka. Saat penetapan itu bertepatan dengan tahun Masehi 20 Nopember 907. ( Damais, 1955; hal. 48).
 
Bukti Prasasti Kinwu ini dapat memberi pentunjuk bahwa wilayah Blitar sejak abad ke X Masehi telah menjadi daerah kekuasaan seorang raja yang pusat Pemerintahanya di Jawa Tengah.
 
Sebagaimana diketahui, daerah kekuasaan raja dapat diketahi berdasarkan tempat-tempat prasasti raja tersebut ditempatkan / didirikan.
 
Atas dasar itu, dapat disebutkan bahwa prasasti yang dikeluarkan raja Balitung meliputi daerah yang luas, prasastinya selain ditemukan di daerah Blitar, juga terdapat di sekitar Singosari, Kabupaten Malang. Prasasti itu didirikan pada tempat atau desa yang ditetapkan dalam prasasti itu.
 
Suatu hal yang menari ialah bahwa prasasti Kinwu ini dipahat pada belakang sebuah arca Ganesha. Dalam seni patung Hindu, Ganesha adalah dewa penolak kejahatan / bahaya (wigniswara) disamping tugasnya yang lain sebagai Panglima kaum Gana. Dewa Ganesapun melambangkan ilmu pengetahuan atau dewa ilmu pengetahuan, serta dewa yang dianggap dapat memberi berkah selamat. Sebagai dewa yang menghancurkan kejahatan atau pelindung mandusia dari kekuatan jahat, Ganesha ini banyak dipuja orang. Bahkan namanya sering disebut sebagai dewa pelindung sebagai terbukti dari prasasti Geweg, dari tahun 855 Saka, atau bertepatan dengan tahun Masehi 933.
 
Bagaimanakah status Blitar pada [[abad ke-10]] itu?
Berdasarkan sumber [[Prasasti Kinewu]] di terbukti bahwa daerah Blitar merupakan daerah yang diperintah oleh Raja Watukuro Dya Balitung yang memerintah antara tahun 897-910 Masehi. Dengan kata lain daerah Blitar menjadi bagian sebelah Timur kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah. Di daerah Blitar ini ditempatkan seorang pegawai yang mewakili raja. Dalam masyarakat tanpa ekonomi uang, raja tidak dapat memberi gaji pada pegawainya selain berupa tanah. Hukum Jawa Kuno memuat ketentuan bahwa raja sering menghadiahkan sebidang tanah kepada pegawainya yang berjasa. Ketentuan itu harus dikukuhkan dengan suatu penetapan piagam atau prasasti. Tanah adalah milik raja yang dapat diberikan kepada bawahanya. Menurut kitab hukum Kutarananawa pasal 93 di sebutkan : Sang Ratu wiwesa mawa bumi desa, selanjutnya dalam pasal 100 ditentukan bahwa : apan drwe sang prabhu lemah ika. Jelaslah bahwa milik Raja yang terpeting adalah tanah. Dalam masa-masa kemudian kita lihat adanya lembaga-lembaga tanah bengkok, lungguh, gaduan, tanah gumantung, tanah patuh dan sebagainya.
 
Majapahit sebagai negara baru berpusat di dekat Majakerta. Di bawah pimpinan Raden Wijaya sebagai Raja pertama, negara Majapahit tumbuh dengan pesat. Suatu hal yang menarik dalam hubungan sejarah daerah Blitar dari masa itu ialah adanya peninggalan bangunan suci yang terletak di desa Kotes Kecamatan Gandusari.
 
Pada Bangunan itu terdapat angka tahun 1222 Saka dan 1223 Saka. Dengan demikian bangunan tersebut berasal dari tahun 1300 dan 1301 Masehi (Knebel :1908:hal.355). Dengan perkataan lain, bangunan itu adalah sezaman dengan Pemerintahan Raja pertama Majapahit. Kenyataan di atas membuktikan bahwa saerah Blitar pada awal abad ke - XIV masih menjunjukkan wilayah yang penting. Apakah hubungan pendirian bangunan suci itu dengan sejarah daerah ini? Suatu petunjuk yang dapat memberikan keterangan tentan hal itu antara lain terdaptnya sejumlah Prasasti dari masa abad ke-XII Masehi di daerah sepanjang lembah kaki Gunung Kawi sebelah Barat. Ini menunjukkan bahwa daerah ini masih dapat dibuktikan hingga sekarang dengan adanya beberapa perkebunan. Faktor alamiah yang menguntungkan ini meyebabkan adanya kehidupan masyarakat yang makmur. Kemakmuran itu mendorong pertumbuhan pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu singkat. Walaupun tidak terdapat catatan tentang jumlah penduduk di daerah Blitar bagian Timur ini, namun dapat diperkirakan bahwa dengan adanya men-power maka daerah ini menjadi penting. Tersedianya tenaga manusia yang cukup besar, merupakan salah satu jaminan pengerahan pasukan secara mudah untuk suatu tujuan pertahanan maupun serangan.
 
Seperti halnya dalam prasasti Tuhanyaru yang menyebutkan adanya anugerah tanah kepada sejumlah pejabat kerjaan berhubung yang bersangkutan telah berjasa kepada raja, maka prasasti Blitar pun memuat pernyataan yang serupa. Dapat diketahui bahwa hubungan antara raja Jayanegara dengan daerah Blitar mempunyai sifat yang istimewa. Hubungan yang istimewa itu diperlihatkan pada penetapan sejumlah ha yang diberikan kepada para pejabat, berhubung dengan kesetiaan desa Blitar kepada raja.
Dalam hubungan ini peristiwa apakah yang terjadi sehingga raja berkenan untuk memberikan anugerah kepada penduduk desa Blitar.
 
Seperti diketahui raja Jayanegara menjadi raja Majapahit yang kedua, menggantikan ayahnya Kerjarajasa Jayawardhana yang meninggal pada tahun 1309 M. Tentang Pemerintahannya ini ada dua sumber yang memberikan keterangan agak berbeda. Kedua sumber tadi adalah Negarakertagama, yang ditulis oleh Prapanca dan Pararaton yang tidak dicantumkan nama penulisanya. Secara singkat sekali Negarakertagama menceritakan tentang masa Pemerintahannya yang berlangusng antara tahun 1309-1328 Masehi. Didalam pupuh XLVII Prapanca melukiskan yang terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
-. Beliau meninggalkan Jayanegara sebagai raja Wilwatikta dan keturunan adiknya rajapadhi utama yang tiada bandingya, Dua puteri amat cantik, bagai Ratih kembar mengalahkan Bidadari yang sulung rani di Jiwana, sedangkan yang bungsu jadirani di Daha.
-. Tersebut pada tahun Saka : Mukti-guna-memaksa rupa bulan - madu, Baginda Jayanegara berangkat menyirnakan musuh ke Lumajang, Katanya Pajarakan dirusak, Nambi sekeluarga dibinasakan, Giris miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri Baginda.
-. Tahun Saka : bulatan memanah suryah beliau pulang, Segera dimakamkan didalam pura, berlambang arca Wisnuparama. Di sela Petak dan Bubat tertegak area Wisnuparama. Di sela Petak dan Bubat tertegak area Wisnu - lambang - tara - inda. Di Sukalila arca Buda permai sebagai Amoga sidi - menjilma ( Slamet Mulyana, 1953 : 42).
 
Dari pupuh tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa semasa Pemerintahan Jayanegara menghancurkan pemberontakan Nambi pada tahun 1361M. Lebih jauh Pararaton memberitakan timbulnya pemberontakan yang dipimpin oleh Ranggalawe, Sora dan Nambi. Semua pemberontakan itu dapat di padamkan oleh Baginda.
 
Suatu pemberontakan pecah lagi pada tahun 1316 dan 1317 dibawah pimpinan Kuti dan Seni. Pemberontakan itu mengakibatkan raja Jayanegara menghindarkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan Gajah Mada. Berkat siasat Gajah Mada, Jayanegara berhasil kembali naik tahta. Kuti dan Seni berhasil dibinasakan. (Pararaton : 80-83).
Kedua pemberitaan itu memberi petunjuk bahwa semasa Pemerintahan Jayanegara telah terjadi pemberontakan, tetapi berhasil dipadamkan. Kenyataan diatas membuktikan bahwa Jayanegara menghadapai masa yang sulit pada tahun pertama Pemerintahannya. Kenyataan inilah yang dapat memberikan keterangan, apa sebab Jayanagara mengeluarkan prasastinya tersebut di atas. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa penetapan prasasti di Blitar ini merupakan peristiwa penting setelah Jayanegara ini merupakan titik peresmian berdirinya swatantra Blitar dalam naungan Kekuasaan Majapahit dibawah Pemerintahan Jayanagara. Dan peristiwa yang penting itu, sesuai dengan unsur penanggalan dalam prasasti, terjdi pada hari Minggu Pahing bulan Srawana tahun Saka 1246, yang bertepatan dengan tanggal 5 Agustus 1324M.
 
Untuk masa-masa selanjutnya Bliar disebutkan dalam kitab Negarakertagama dalam hubungannya dengan perlawatan Raja Hayam Wuruk ke daerah-daerah Jawa Timur. Beberapa puluh tahun yang membuat hal pemberitaah hal itu sepanjang menyangkut Blitar serta tempat-tempat lain di daerah sekitarnya tertulis dalam pupuh-pupuh.
 
==Transportasi==
 
==Referensi==
Blitar dilalui oleh [[jalan provinsi]] jalur Kediri-Tulungagung-Malang. Blitar juga dilintasi jalur [[kereta api]] lintas Surabaya-Malang-Blitar-Kertosono-Surabaya. [[Kereta api]] yang melintasi Blitar: [[Gajayana]] (Malang-Yogyakarta-Jakarta), [[Matarmaja]] (Malang-Semarang-Jakarta), [[Rapih Dhoho]] (Blitar-Kertosono-Surabaya), dan [[Penataran]] (Blitar-Malang-Surabaya).
{{reflist}}
 
{{Kabupaten Blitar}}
{{jatim}}
 
[[Kategori:Kabupaten Blitar|Kabupaten Blitar]]
[[Kategori:Kabupaten di Jawa Timur|Blitar]]
[[Kategori:Kabupaten di Indonesia|Blitar]]