Aji Putri Karang Melenu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Menambah Referensi
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1:
'''Aji Putri Karang Melenu''', merupakan istri pertama atau [[Permaisuri]] dari [[Maharaja Kutai]], yaitu [[Aji Batara Agung Dewa Sakti]] dan juga ibu dari Raja [[Kerajaan Kutai]] yang kedua yaitu [[Aji Batara Agung Paduka Nira]]. Dalam Kisah mitologinya, Aji Putri Karang Melenu merupakan putri dari Petinggi di Kampung Melanti Hulu Dusun yang bernama [[Babu Jaruma]].
 
Dikisahkan sepasang suami istri dari Petinggi di Kampung Melanti Hulu Dusun tersebut selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus keturunannya. SuatuPada harisaat itu, keadaanpersediaan kayu bakar petinggi alammenipis menjadiakibat sangatcuaca buruk. Hujansehingga turunpetinggu dengantersebut sangatterpaksa lebatmengambil selamasalah tujuhsatu harikasau tujuhatap malamrumahnya. PetirKetika menyambarkayu silihtersebut bergantidibelah, diiringiterlihat gemuruhseekor gunturulat dankecil tiupanyang anginsedang yangmelingkar cukupd kencang.dalam Takbelahan seorangkayu punkasau pendudukyang Hulukemudian Dusundipelihara yangdengan beranibaik keluaroleh rumah,petinggi termasuktersebut. PetinggiSeekor Huluulat Dusunkecil danitulah istrinya.yang merupakan wujud awal dari san
 
Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga. Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut. Sang putri meminta kepada petinggi tersebut untuk membuatkan sebuah tangga agar sang putri yang sudah berwujud naga tersebut dapat meluncur ke bawah rumah, karna pada saat itu, rumah-rumah di kampung tersebut berbentuk seperti rumah panggung.
Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.
 
Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia memberitahu agar petinggi dan istrinya agar mengikutinya kemana pun sang naga merayap bahkan jika sang naga tersebut merayap sampai ke sungai. Ia juga meminta agar dia sambil ditaburi dengan beras kuning serta membakar wijen hitam. Dan jika sang naga merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, petinggi dan istrinya disuruh untuk mengiringi buih yang muncul di permukaan sungai. Sang naga memberitahukan semua keinginannya dengan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam.
Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala, dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih. Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini.
 
Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga.
 
Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.
"Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda." kata sang putri, "Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah."
 
Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam.
"Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai."
 
Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya. Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia menyelam.
 
Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik. Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai[[Sungai Mahakam]], mencari-cari dimana sang naga berada.
 
Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai[[Sungai Mahakam]] dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong tersebut. Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah [[Lembuswana]], dengan segera petinggi mendayung perahunya ke tepian batu.
 
Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembuswana dan sang naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari khayangan itu. [[Gong]] dan bayi itu segera diambil oleh [[Babu Jaruma] dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.
 
Demikianlah mitologi Kutai mengenai asal mula Naga Erau yang menghantarkan [[Putri Junjung Buih]] atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari raja-raja Kutai Kartanegara.*** <ref> {{cite web
| last = lantih
| first = julak