=== Penduduk Awal mula berdirinya Samarinda === ▼
'''Sejarah Kota Samarinda''' tidak lepas dari peranan [[Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura]], rombongan orang-orang [[Bugis]] Wajo, serta penjajah Belanda dan Jepang.
[[Kategori:=== Tonggak Sejarah KotaKutai dan Samarinda | ]]===▼
Sebelum dikenalnya nama Samarinda, kawasan ini termasuk dalam Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri pada tahun 1300 M di Kutai Lama, sebuah kawasan di hilir Sungai Mahakam dari arah tenggara Samarinda.<ref name="Adham">{{cite book |last=Adham |first=D. |date=1979 |title=Salasilah Kutai |publisher=Tenggarong: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kalimantan Timur |pages=216}}</ref>
=== Wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara ===
Kerajaan Kutai Ing Martadipura berdiri pada abad ke-4 sampai dengan abad ke-17 Masehi dan berpusat di [[Muara Kaman, Kutai Kartanegara]]. Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri tahun 1300 sampai dengan tahun 1959 mengalami dua kali perpindahan pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan tahun 1735-1959 tidak disebutkan dalam cerita. Tahun 1300-1734 berpusat di [[Kutai Lama]] atau Tepian Batu. Raja pertama bernama [[Aji Batara Agung Dewa Sakti]] dan permaisurinya bernama Putri Karang Melenu.<ref name="Sej Smd 1"/>
Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan daerah taklukan (vasal) dari Kerajaan Banjar yang semula bernama Kerajaan Negara Dipa, ketika dipimpin oleh Maharaja Suryanata, sezaman dengan era Kerajaan Majapahit (abad ke-14—15 M).<ref name="HB">{{cite book |last=Ras |first=Johannes Jacobus |authorlink=Johannes Jacobus Ras |date=1990 |title=Hikayat Banjar |language=bahasa Melayu |publisher=Diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka}}</ref>
Pada waktu itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara meliputi daerah yang luas, mulai daerah pantai, daerah kiri kanan Sungai Mahakam, sampai batas wilayah Muara Kaman ke udik. Daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Ing Martadipura sampai masa runtuh kerajaan itu pada abad ke-17.
Pusat Kerajaan Kutai Kartanegara di Kutai Lama semula di Jahitan Layar, kemudian berpindah ke Tepian Batu pada tahun 1635, setelah itu pindah lagi ke Pemarangan (Jembayan) pada tahun 1732, terakhir di Tenggarong sejak tahun 1781 hingga 1960. Penduduk awal yang mendiami Kalimantan bagian timur adalah Suku Kutai Kuno yang disebut Melanti termasuk ras Melayu Muda (Deutro Melayu) sebagai hasil percampuran ras Mongoloide, Melayu, dan Wedoide yang migrasi dari Semenanjung Kra pada abad ke-2 Sebelum Masehi (SM).<ref name="Kaltim">Tim Penyusun (1992). ''Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Timur dari Masa ke Masa''. Samarinda: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Timur.</ref>
Wilayah Samarinda termasuk pula ke dalam wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Akan tetapi saat itu, belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam.
=== Enam Kampung Awal di Samarinda dan Penghuninya ===
Berdirinya kota [[Samarinda]] tidak terlepas dari hijrah orang-orang Bugis Wajo, [[Sulawesi Selatan]]. Merekalah yang membangun Samarinda. Menurut lontara atau silsilah kedatangan suku Bugis menyebar ke seluruh Nusantara bermula pada tahun [[1668]].
Pada abad ke-13 Masehi (tahun 1201–1300), sebelum dikenalnya nama Samarinda, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi yaitu:
Penyebaran itu terjadi karena kerusuhan di Kerajaan Bone Sulawesi Selatan pada tahun 1665. Ketika itu diadakan perhelatan besar pernikahan putra Goa dengan putri Bone. Kemudian terjadi perkelahian antara putra-putra Bone dan putra-putra bangsawan Wajo karena acara sabung ayam. Saat itu putra bangsawan Bone tewas tertikam keris sakti putra Wajo.<ref name="Sej Smd 1">[http://cybertravel.cbn.net.id/cbprtl/cybertravel/detail.aspx?x=Time+Traveller&y=cybertravel|3|0|3|471 CBN Portal - Asal Usul Kota Samarinda (1)]. Diakses 28 Juli 2010</ref>
# Pulau Atas;
# Karang Asam;
# Karamumus (Karang Mumus);
# Luah Bakung (Loa Bakung);
# Sembuyutan (Sambutan); dan
# Mangkupelas (Mangkupalas).
Penyebutan enam kampung di atas tercantum dalam manuskrip (naskah) surat Salasilah Raja Kutai Kartanegara yang ditulis oleh Khatib Muhammad Tahir pada 30 Rabiul Awal 1265 H (24 Februari 1849 M), yang kemudian dikutip oleh ahli sejarah berkebangsaan Belanda, C.A. Mees.<ref name="Mees">{{cite book |last=Mees |first=Constantinus Alting |date=1935 |title=De Kroniek van Koetai |publisher=Santpoort: N.V. Uitgeverij |pages=134}}</ref>
▲=== Awal mula berdirinya Samarinda ===
== Masuknya Orang Banjar ke Samarinda ==
==== Perjanjian Bungaya ====
Suku Banjar adalah suku bangsa yang menempati wilayah Kalimantan Selatan, serta sebagian Kalimantan Tengah dan sebagian Kalimantan Timur. Keberadaan suku Banjar di Samarinda dan daerah lainnya di Kalimantan Timur tidak dikategorikan sebagai kaum pendatang karena sebelum pembentukan provinsi-provinsi pada tahun 1957, Pulau Kalimantan kecuali daratan Malaysia dan Brunai merupakan satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni Kalimantan dengan ibukota Banjarmasin.
Pada saat pecah perang Gowa, pasukan Belanda di bawah [[Cornelis Speelman|Laksamana Speelman]] memimpin angkatan laut Kompeni menyerang [[Makassar]] dari laut,<ref name="Pemkot Smd">[http://www.samarinda.go.id/sejarah Situs Pemkot Samarinda (2008) - Sejarah]</ref> sedangkan [[Arung Palakka]] yang mendapat bantuan dari Belanda karena ingin melepaskan [[Bone]] dari penjajahan [[Sultan Hasanuddin]] (raja Gowa) menyerang dari daratan. Akhirnya [[Kerajaan Gowa]] dapat dikalahkan dan [[Sultan Hasanuddin]] terpaksa menandatangani perjanjian yang dikenal dengan [[Perjanjian Bungaya]] pada tanggal [[18 November]] [[1667]].<ref name="Pemkot Smd"/>
Suku Banjar adalah suku asli di Pulau Kalimantan. Sementara itu, Samarinda bagian dari Kalimantan Timur; dan Kalimantan Timur bagian dari Kalimantan. Maka, suku Banjar di Samarinda dalam konteks geografis bisa disebut suku asli.
==== Kedatangan orang Bugis ke Kesultanan Kutai ====
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gezicht over Samarinda en de Mahakam-rivier TMnr 60018720.jpg|thumb|right|200px|Pemukiman penduduk di tepi Sungai Mahakam pada zaman pendudukan Belanda. Wilayah ini sekarang menjadi kawasan [[Karang Asam]].]]
Sebagian [[Suku Bugis|orang-orang Bugis]] [[Wajo]] dari [[kerajaan Gowa]] yang tidak mau tunduk dan patuh terhadap isi [[perjanjian Bongaja]] tersebut, mereka tetap meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya di antaranya ada yang hijrah ke daerah [[Kesultanan Kutai]], yaitu rombongan yang dipimpin oleh [[La Mohang Daeng Mangkona]] (bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari [[Kerajaan Gowa]] itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.<ref name="Pemkot Smd"/>
Pada tahun 1565, terjadi migrasi (perpindahan penduduk) suku Banjar dari Batang Banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari Amuntai di bawah pimpinan Aria Manau dari Kerajaan Kuripan (Hindu) merintis berdirinya Kerajaan Sadurangas (Pasir Balengkong) di daerah Paser. Selanjutnya suku Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang sekarang disebut Samarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya bahasa Banjar sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.<ref name="KSB">{{cite book |last=Sarip |first=Muhammad |date=2015 |title=Samarinda Bahari, Sejarah 7 Zaman Daerah Samarinda |publisher=Samarinda: Komunitas Samarinda Bahari |pages=17—18 |isbn=978-602-73617-0-6}}</ref>
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.<ref name="Pemkot Smd"/>
== Perkembangan administratif ==
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar [[muara]] [[Karang Mumus, Samarinda Ilir, Samarinda|Karang Mumus]] (daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung Selili).<ref name="Pemkot Smd"/>
* Tahun 1950: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota keresidenan Kalimantan Timur, bagian dari Provinsi Kalimantan.
* Tahun 1953: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota Daerah Istimewa Kutai berdasarkan UU Darurat No. 3 Tahun 1953.
* Tahun 1957: Samarinda ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan UU No. 25 Tahun 1956.
* Tahun 1959: Samarinda ditetapkan sebagai kotapraja berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959.
* Tahun 1965: Samarinda ditetapkan sebagai kotamadya berdasarkan UU No. 18 Tahun 1965.
* Tahun 1999: Samarinda ditetapkan sebagai kota berdasarkan UU No. 22 tahun 1999.
== Catatan kaki ==
=== Rumah Rakit yang Sama Rendah ===
[[Berkas:Tepianmahakamtempodulu.JPG|thumb|left|200px|Jl. Jendral Winkelman (sekarang Jl. RE Martadinata dan Jl. Gajah Mada) di tepi [[Sungai Mahakam]] pada zaman penjajahan [[Belanda]].]]
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan '''Pua Ado''' bersama pengikutnya yang asal tanah [[Sulawesi]] membuka perkampungan di [[Samarinda Seberang|Tanah Rendah]]. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal [[Pilipina]] yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah [[kerajaan Kutai Kartanegara]]. Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang [[Suku Bugis|Bugis]], [[Suku Kutai|Kutai]], [[Suku Banjar|Banjar]] dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda. Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.<ref name="Sej Smd 2">[http://cybertravel.cbn.net.id/cbprtl/cybertravel/detail.aspx?x=Time+Traveller&y=cybertravel|3|0|3|472 CBN Portal - asal Usul Kota Samarinda (2)]. Diakses 28 Juli 2010</ref>
Penduduk menerima bagian lahan yang sama-sama rendah sehingga wilayah itu dinamakan "sama rendah". Akhirnya daerah itu disebut Samarinda. Penduduk Samarinda setiap tahun bertambah karena orang-orang Wajo berdatangan dan menetap di sana.
Berhadapan dengan daerah pemukiman baru ini, di tepi kanan Sungai Mahakam berkembang pula pemukiman di sekitar sungai Karang Mumus dan Karang Asam. Pemukiman ini dibangun para petani dan nelayan [[suku Kutai]] dan [[suku Banjar]], pendatang dari [[Kalimantan Selatan]].<ref name="Sej Smd 2"/>
La Mohang Daeng Mangkona mulai membangun daerah baru itu dengan bantuan seluruh pengikutnya. Hutan belantara ditebas dan kayu-kayu besar ditebang. Setelah lahan terbuka dan pohon-pohon kering dibakar terbukalah daerah persawahan yang luas di tanah datar dan rendah tanpa bukit-bukit. Air tadah hujan menggenangi lahan yang pada saatnya ditanami bibit padi sawah.
Rumah-rumah didirikan di tepi Sungai Mahakam, membujur dari hilir ke hulu. Setiap keluarga mendirikan tumah tinggal yang dikerjakan secara gotong-royong. Dengan sistem gotong-royong semua pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik.<ref name="Sej Smd 2"/>
Pua Ado diberi gelar ''Panglima Sepangan Pantai''. Ia bertanggungjawab terhadap keamanan rakyat dan kampung-kampung sekitar sampai ke bagian [[Muara Badak, Kutai Kartanegara|Muara Badak]], [[Muara Pantuan, Anggana, Kutai Kartanegara|Muara Pantuan]] dan sekitarnya. Keputusan sidang kerajaan membuka [[Samarinda Seberang|Desa Sama Rendah]] memang jitu. Sejak saat itu, keamanan di sepanjang pantai dan jalur [[Mahakam]] menjadi kondusif. Tidak ada lagi bajak laut yang berani beraksi. Dengan demikian, kapal-kapal dagang yang berlayar, baik dari [[Jawa]] maupun daerah lainnya bisa dengan aman memasuki Mahakam. Termasuk kapal-kapal pedagang [[Belanda]] dan [[Inggris]]. Mereka berlayar hingga ke pusat Kerajaan, di [[Tenggarong|Tepian Pandan]]. Dengan demikian roda pemerintahan berjalan dengan baik serta kesejahteraan masyarakat menjadi meningkat.<ref name="Sejarah Samarinda">[http://www.bongkar.co.id/khas-kaltim/cerita-khas-johansya-balham/1271-kenangan-tempoe-doeloe-kadrie-oening-patut-diteladani.html Bongkar Online - Kenangan Tempoe Doeloe Kadrie Oening Patut Diteladani]</ref>
Sejak kedatangan bangsa Belanda yang memerintah di Indonesia sebagai penjajah, daerah ini dibangun menjadi pusat pemerintahan di Kalimantan Timur, wilayah antara Karang Mumus dan [[Karang Asam]].<ref name="Sej Smd 2"/>
Bangsa Jepang datang ke [[Samarinda]] pada tanggal [[3 Februari]] [[1942]] setelah menguasai [[Tarakan]] dan [[Balikpapan]]. Sesampainya di Samarinda, pada tanggal [[5 Februari]] [[1942]], tentara Jepang melanjutkan penyerbuaannya ke Lapangan Terbang Samarinda II yang waktu itu masih dikuasai oleh Tentara Hindia Belanda (KNIL). Dengan berhasil direbutnya lapangan terbang itu, dengan mudah pula Banjarmasin diduduki oleh tentara Jepang pada tanggal 10 Februari 1942.<ref>Poesponegoro. Marwati Djoened, Notosusanto. Nugroho, (1992), ''Sejarah nasional Indonesia: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia'', PT Balai Pustaka, Hlm. 3, ISBN 978-979-407-412-1.</ref>
=== Samarinda Seberang ===
Sejarah terbukanya sebuah kampung yang menjadi kota besar, dikutip dari buku ber[[bahasa Belanda]] dengan judul “''Geschiedenis van Indonesie''“ karangan ''de Graaf''. Buku yang diterbitkan NV.Uitg.W.V.Hoeve, [[Den Haag]], tahun [[1949]] ini juga menceritakan keberadaan Kota Samarinda yang diawali pembukaan perkampungan di [[Samarinda Seberang]] yang dipimpin oleh Pua Ado.
[[Belanda]] yang mengikat perjanjian dengan [[kesultanan Kutai]] kian lama kian bertumbuh. Bahkan, secara perlahan Belanda menguasai perekonomian di daerah ini. Untuk mengembangkan kegiatan
perdagangannya, maka Belanda membuka perkampungan di [[Samarinda Seberang]] pada tahun [[1730]] atau 62 tahun setelah Pua Ado membangun Samarinda Seberang. Di situlah Belanda memusatkan perdagangannya.
Namun, pembangunan [[Samarinda Seberang]] oleh Belanda juga atas izin dari [[Sultan Kutai]], mengingat kepentingan ekonomi dan pertahanan masyarakat di daerah tersebut. Apalagi, Belanda pada waktu itu juga menempatkan pasukan perangnya di daerah ini sehingga sangat menjamin keamanan bagi Kerajaan Kutai.
Samarinda berkembang terus dengan bertambahnya penduduk yang datang dari [[Jawa]] dan [[Sulawesi]] dalam kurun waku ratusan tahun. Bahkan sampai pada puncak kemerdekaan tahun [[1945]] hingga keruntuhan Orde Lama yang digantikan oleh Orde Baru, Samarinda terus ’disatroni’ pendatang dari luar Kaltim. Waktu itu Tahun 1966 adalah peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Keadaan semuanya masih acak dan semberawut. Masalah keamanan rakyat memang terjamin dengan terbentuknya [[Hansip]] (Pertahanan Sipil) yang menggantikan OPR ([[Organisasi Pertahanan Rakyat]]). Hansip mendukung keberadaan Polisi dan [[TNI]].
Kendati terbilang maju pada zamannya, perubahan signifikan Kota Samarinda dimulai ketika wali kota [[Kadrie Oening]] diangkat dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Surat Keputusan No. Pemda 7/ 67/14-239 tanggal [[8 November]] [[1967]]. Ia menggantikan [[Mayor Ngoedio]] yang kemudian bertugas sebagai pejabat tinggi pemerintahan Jawa Timur di [[Surabaya]].
Kotamadya Samarinda pada tahun [[1950]] terbagi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan [[Samarinda Ulu, Samarinda|Samarinda Ulu]], [[Samarinda Ilir, Samarinda|Samarinda Ilir]] dan [[Samarinda Seberang]]. Luas wilayahnya saat itu hanya 167 km². Kemudian pada tahun [[1960]] wilayah Samarinda diperluas menjadi 2.727 km² meliputi daerah Kecamatan [[Palaran, Samarinda|Palaran]], [[Sanga-Sanga]], [[Muara Jawa, Kutai Kartanegara|Muara Jawa]] dan [[Samboja, Kutai Kartanegara|Samboja]]. Namun belakangan, kembali terjadi perubahan. '''Kota Samarinda''' hanya tinggal Kecamatan [[Palaran, Samarinda|Palaran]], [[Samarinda Seberang]], [[Samarinda Ilir, Samarinda|Samarinda Ilir]] dan [[Samarinda Ulu, Samarinda|Samarinda Ulu]].<ref name="Sejarah Samarinda"/>
== Referensi ==
{{reflist}}
[[Kategori:Kota Samarinda]]
{{Kota di Indonesia|prefix=Sejarah|title=Sejarah kota-kota di Indonesia|state=collapsed}}
▲[[Kategori:Sejarah Kota Samarinda| ]]
|