Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Den Mazze (bicara | kontrib)
Den Mazze (bicara | kontrib)
Baris 68:
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum<ref>Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. '''(Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)'''</ref><ref>'''(5)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. '''(6)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)'''</ref> maupun penjelasannya<ref>Tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. '''(Petikan Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)'''</ref><ref>Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan ''Zelfbestuurende landschappen''. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. '''(Petikan Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)'''</ref>. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi [[Agresi Militer Belanda II]] pada [[19 Desember]] [[1948]] yang menghajar Ibukota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Pasca Serangan Oemoem [[1 Maret]] [[1949]], Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
 
==Periode III: 1950 - 1965 ==
===Aturan Legal===
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan {{ke wikisource|UU No. 3 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan {{ke wikisource|UU No. 19 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan {{ke wikisource|PP No. 31 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangat singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948.<ref>Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. (Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)</ref>
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil [[Konferensi Meja Bundar|KMB]], Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai [[17 Agustus]] [[1950]].
 
====Daerah Istimewa Yogyakarta====
Pembagian Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan {{ke wikisource|UU No. 15 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 44) dan {{ke wikisource|UU No. 16 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan {{ke wikisource|PP No. 32 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta dibagi menjadi kabupaten-kabupaten [[Bantul]] (beribukota Bantul), [[Sleman]] (beribukota Sleman), Gunungkidul (beribukota Wonosari), [[Kulon Progo]] (beribukota Sentolo), Adikarto (beribukota [[Wates]]), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Nomor 18 Tahun 1951}} (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
Pemerintah Daerah Istimewa YogyakartaDIY secara legal formal dibentuk dengan {{ke wikisource|UU No. 3 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan {{ke wikisource|UU No. 19 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai [[15 Agustus]] [[1950]] dengan {{ke wikisource|PP No. 31 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatsangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa YogyakartaDIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi B U K A N sebuah Propinsi<ref>'''(1)''' Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. '''(2)''' Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. '''(Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)'''</ref>. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional<ref name=joyb>Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>.
 
====Kabupaten dan Kota====
Pada tahun [[1951]], diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.{{fact|date=September 2007}} Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP (P.J. Suwarno, 1994). Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (HB IX dan PA VIII). Namun kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.
Pembagian Daerah Istimewa YogyakartaDIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan {{ke wikisource|UU No. 15 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 44) dan {{ke wikisource|UU No. 16 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan {{ke wikisource|PP No. 32 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut Daerah Istimewa YogyakartaDIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten [[Bantul]] (beribukota Bantul), [[Sleman]] (beribukota Sleman), Gunungkidul[[Gunung Kidul]] (beribukota [[Wonosari]]), [[Kulon Progo]] (beribukota Sentolo), [[Adikarto]] (beribukota [[Wates]]), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Nomor 18 Tahun 1951}} (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU Pokok tentang Pemerintah Daerah (UU 22/1948).
 
===Tahta Untuk Rakyat===
Sekalipun DIY telah berintegrasi dengan Indonesia, tetapi birokrasi pemerintahan monarki tidak dihapuskan begitu saja, mengingat dari 1945 sampai 1950 birokrasi ini menjadi tulang punggung birokrasi DIY. Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari ''Kanayakan'' yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem''). Sedikit demi sedikit birokrasi ini dipisahkan dari birokrasi monarki (Keraton). Pada dasarnya kedua birokrasi ini dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi.
====Pemilu Lokal Pertama====
Pada tahun [[1951]], diselenggarakan Pemilu untuk memilih anggota DPRD. Komposisi DPRD didominasi dari [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.{{fact|date<ref name=September"pjs">PJ 2007}}Suwarno, 1994</ref>. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP<ref (P.J.name="pjs">PJ Suwarno, 1994)</ref>. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun kedua rajakeduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
 
====Pemisahan Istana dan Negara====
Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Masalah yang timbul antara lain adalah status kepegawaian antara pegawai kerajaan (Abdi Dalem) dengan pegawai pemda yang baru (bukan dari Abdi Dalem). Walaupun demikian setelah memakan waktu yang sangat lama akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Kraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Perubahan yang cukup penting<ref name="joyb">Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah [[Negara Gung]] yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan ''Kori'' dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota<ref name="joyb">Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>. Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari ''Kanayakan'' yang memerintah ''Nagari Dalem'' (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem'')<ref="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Sementara wilayah [[Mancanegara]], yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: [[Madiun]], [[Pacitan]], [[Tulung Agung]], dan [[Trenggalek]] yang dikenal sebagai ''Metaraman'' dilepas ke Republik Indonesia<ref name="joyb">Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>.
 
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di ''Cepuri'' Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A N merupakan monarki konstitusi<ref name="joyb">Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>.
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang pemerintah daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUD Sementara.</ref>Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. (Pasal 3 UU No 1/1957)</ref><ref>Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. (Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)</ref><ref>Provinsi/Daerah Istimewa setingkat Provinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra akan tetapi sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. (Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957)</ref><ref>Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)</ref>
 
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, beliau tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut ''Parentah Hageng Karaton'' dipimpin oleh GP Hangabehi<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Proses pemisahan antara negara (''Nagari Dalem'') dan istana (''Karaton Dalem'') tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Masalah yang timbul antara lain adalah status kepegawaian antara pegawai kerajaan (Abdi Dalem) dengan pegawai pemda yang baru (bukan dari Abdi Dalem). Walaupun demikian setelah memakan waktu yang sangat lama akhirnya Pemerintahan ''Nagari Dalem'' berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan ''Karaton'' (KratonKeraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tanggal 24 September 1952, daerah-daerah enclave Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Drt No. 5 Tahun 1957}} (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi {{ke wikisource|UU No. 14 Tahun 1958}} (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1562).
 
===Masa-Masa Keemasan===
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah [[Dekrit Presiden 5 Juli 1959]], Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian terhadap UUD 1945 yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa juga tidak banyak berbeda.<ref>Kepala Daerah Istimewadiangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. (Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)</ref>
====Implementasi UUDS 1950====
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang pemerintahPokok-Pokok daerahPemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 [[UUD Sementara 1950]]. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum</ref>Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. '''(Pasal 3 UU No 1/1957)'''</ref><ref>'''(1)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: ''a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I''. '''(2)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). '''(3)''' Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Petikan Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)'''</ref> maupun penjelasannya<ref>Provinsi/Kepala Daerah Istimewa setingkattidak Provinsidipilih oleh dan Kabupaten/Daerahdari Istimewaanggota setingkatDPRD Kabupatenmelainkan yangdiangkat berhakoleh mengurusPemerintah rumahPusat. tangganyaJadi sendirikeistimewaannya berdasarkandari UUsuatu RIDaerah NoIstimewa 22masih tahuntetap 1948terletak tidakdalam perlukedudukan dibentukKepala lagiDaerahnya. sebagaiKarena Kepala Daerah SwatantraIstimewa akanini tetapidiangkat sejakoleh berlakunyapenguasa UUPemerintah iniPusat berturut-turutyang menjadiberwajib Daerahmaka: Tingkata. keia I/Daerahtidak Istimewadapat Tingkatditumbangkan Ioleh danDPRD, Daerahsedangkan: Tingkatb. kemengenai II/Daerahgaji Istimewa Tingkatdan IIsegala termaksudemolumenten dalamditetapkan UUoleh iniPemerintah Pusat. '''(PasalPetikan 73Penjelasan ayatUmum (1)Ad 4 UU No 1/1957)'''</ref><ref>Kepala. DaerahSecara Istimewagaris besar tidak dipilihterjadi olehperubahan danyang darimencolok anggotatentang DPRDpengaturan melainkanpemerintahan diangkatdi olehYogyakarta Pemerintahsaat Pusat.itu Jadidengan keistimewaannyaperaturan darisebelumnya suatu(UU 22/1948)<ref>Propinsi/Daerah Istimewa masihsetingkat tetapPropinsi terletakdan dalamKabupaten/Daerah kedudukanIstimewa Kepalasetingkat Daerahnya.Kabupaten Karenayang Kepalaberhak Daerahmengurus Istimewarumah initangganya diangkatsendiri olehberdasarkan penguasaUU PemerintahRI PusatNo yang22 berwajibtahun maka:1948 a.tidak iaperlu tidakdibentuk dapatlagi ditumbangkansebagai olehDaerah DPRD,Swatantra sedangkan:akan b.tetapi mengenaisejak gajiberlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan segalaDaerah emolumentenTingkat ditetapkanke olehII/Daerah PemerintahIstimewa PusatTingkat II termaksud dalam UU ini. '''(PenjelasanPetikan UmumPasal Ad73 4ayat (1) UU No 1/1957)'''</ref>.
 
====Penyatuan Wilayah====
Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta dengan UU 22/1948. Selanjutnya, demiDemi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tanggal 24 September 1952, daerah-daerah [[enclave]] Imogiri, Kota Gede, dan Ngawen dilepaskan dari ProvinsiProv Jawa Tengah[[Jateng]] dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian dimasukkan ke dalam wilayah Daerah Istimewa YogyakartaDIY dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Drt No. 5 Tahun 1957}} (Lembaran Negara TahunLN 1957 NomorNo. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi {{ke wikisource|UU No. 14 Tahun 1958}} (Lembaran Negara TahunLN 1958 NomorNo. 33, Tambahan Lembaran Negara NomorTLN 1562).
 
====Pasca Dekrit Presiden====
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah [[Dekrit Presiden 5 Juli 1959]], Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap [[UUD 1945]] yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda.<ref>'''(1)''' Kepala Daerah IstimewadiangkatIstimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. '''(2)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. '''(Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)'''</ref>. Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
 
== 1965 - 1998 ==