Kabupaten Blitar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 41:
Tiga daerah subur, yaitu [[Malang]], [[Kediri]], dan [[Mojokerto]], seakan-akan "diciptakan" oleh [[Sungai Brantas]] sebagai pusat kedudukan suatu pemerintahan, sesuai dengan teori ''natural seats of power'' yang dicetuskan oleh pakar geopolitik, Sir Halford Mackinder, pada tahun [[1919]]. Teori tersebut memang benar adanya karena kerajaan-kerajaan besar yang didirikan di [[Jawa Timur]], seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit, semuanya beribukota di dekat daerah aliran Sungai Brantas.
 
Jika saat ini [[Kediri]] dan [[Malang]] dapat dicapai melalui tiga jalan utama, yaitu melalui [[Mojosari]], [[Ngantang]], atau [[Blitar]], maka tidak demikian dengan masa lalu. Dulu orang hanya mau memakai jalur melalui [[Mojosari]] atau [[Blitar]] jika ingin bepergian ke [[Kediri]] atau [[Malang]]. Hal ini disebabkan karena saat itu, jalur yang melewati [[Ngantang]] masih terlalu berbahaya untuk ditempuh, seperti yang pernah dikemukakan oleh J.K.J de Jonge dan M.L. van de Venter pada tahun 1909.
 
Jalur utara yang melintasi [[Mojosari]] sebenarnya saat itu juga masih sulit dilintasi mengingat banyaknya daerah rawa di sekitar muara Sungai Porong. Di lokasi itu pula, Laskar [[Jayakatwang]] yang telah susah payah mengejar [[Raden Wijaya]] pada tahun [[1292]] gagal menangkapnya karena medan yang terlalu sulit. Oleh karena itulah, jalur yang melintasi [[Blitar]] lebih disukai orang karena lebih mudah dan aman untuk ditempuh, didukung oleh keadaan alamnya yang cukup landai.
 
Pada zaman dulu (namun masih bertahan hingga sekarang), daerah [[Blitar]] merupakan daerah lintasan antara [[Daha]] ([[Kediri]]) dengan Tumapel ([[Malang]]) yang paling cepat dan mudah. Di sinilah peranan penting yang dimiliki [[Blitar]], yaitu daerah yang menguasai jalur transportasi antara dua daerah yang saling bersaing ([[Panjalu]] dan [[Jenggala]] serta [[Daha]] dan [[Singosari]]). Banyaknya prasasti yang ditemukan di daerah ini (kira-kira 21 prasasti) bisa dikaitkan dengan alasan tersebut.
 
===Kitab Negarakertagama===
Pendapat yang mengatakan bahwa Kabupaten Blitar merupakan daerah perbatasan antara [[Daha]] dengan [[Tumapel]] dapat disimpulkan dari salah satu cerita dalam Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa [[Raja Airlangga]] meminta [[Empu Bharada]] untuk membagi [[Kerajaan Kediri|kerajaan Kediri]] menjadi dua, yaitu [[Kerajaan Panjalu|Panjalu]] dan [[Kerajaan Jenggala|Jenggala]]. [[Empu Bharada]] menyanggupinya dan melaksanakan titah tersebut dengan cara menuangkan air kendi dari ketinggian<ref>Kitab Nagarakertagama, nyanyian 68:1, 68:2, dan 68:3<ref/ref> Air tersebut konon berubah menjadi sungai yang memisahkan [[Kerajaan Panjalu]] dan [[Kerajaan Jenggala]]. Letak dan nama sungai ini belum diketahui dengan pasti sampai sekarang, tetapi beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa sungai tersebut adalah Sungai Lekso (masyarakat sekitar menyebutnya ''Kali Lekso''). Pendapat tersebut didasarkan atas dasar etimologis mengenai nama sungai yang disebutkan dalam Kitab Pararaton.
 
===Kitab Pararaton===
Diceritakan dalam Kitab Pararaton bahwa balatentara [[Daha]] yang dipimpin oleh Raja Jayakatwang berniat menyerang pasukan Kerajaan [[Singosari]] yang dipimpin oleh Raja Kertanegara melalui jalur utara ([[Mojosari]]). Adapun yang bergerak melalui jalur selatan disebutkan dalam Kitab Pararaton dengan kalimat ''saking pinggir Aksa anuju in Lawor... anjugjugring [[Singosari]] pisan.'' yang berarti ''dari tepi Aksa menuju Lawor... langsung menuju Singosari.''<ref>Kitab Pararaton, bab 5, diterjemahkan oleh Ki J. Patmapuspita, [[1966]]<ref/ref>. Nama atau kata ''Aksa'' yang muncul dalam kalimat tersebut diperkirakan merupakan kependekan dari Kali Aksa yang akhirnya sedikit berubah nama menjadi Kali Lekso.
 
Pendapat ini diperkuat lagi dengan peta buatan abad ke-17 (digambar ulang oleh [[De Jonge]]) yang mengatakan bahwa ''...di sebelah timur sungai ini (Sungai Lekso) adalah wilayah kepunyaan [[Malang]] dan di sebelah baratnya adalah wilayah kepunyaan [[Blitar]].''<ref>B. Schrieke, [[1957]].<ref/ref>
 
[[Berkas:Candi_Penataran.jpg|left|thumb|200px|Kompleks [[Candi Penataran]].]]
Baris 63:
 
==Hari Jadi==
Salah satu sumber sejarah yang paling penting adalah prasasti karena merupakan dokumen tertulis yang asli dan terjamin kebenarannya.<ref>Damais, 1968<ref/ref> (Damais, [[1968]]). Prasasti dapat diartikan sebagai tulisan dalam bentuk puisi yang berupa pujian.<ref>McDannel, ''Sanskrit Dictionary'' hlm. 182<ref/ref>
 
Enam abad yang lalu, tepatnya pada bulan Waisaka tahun [[Saka]] 1283 atau [[1361]] Masehi, Raja [[Majapahit]] yang bernama Hayam Wuruk beserta para pengiringnya menyempatkan diri singgah di [[Blitar]] untuk mengadakan upacara pemujaan di [[Candi Penataran]]. Rombongan itu tidak hanya singgah di [[Candi Penataran]], tetapi juga ke tempat-tempat lain yang dianggap suci, yaitu Sawentar (Lwangwentar) di Kanigoro, Jimbe, Lodoyo, Simping (Sumberjati) di Kademangan, dan Mleri (Weleri) di Srengat.
 
Hayam Wuruk tidak hanya sekali singgah di [[Blitar]]. Pada tahun [[1357]] Masehi (1279 [[Saka]]) Hayam Wuruk berkunjung kembali ke [[Blitar]] untuk meninjau daerah pantai selatan dan menginap selama beberapa hari di Lodoyo.<ref>Nag. punuh 17/5, 6, 41/4, 61/2, dan 3<ref/ref> Hal itu mencerminkan betapa pentingnya daerah [[Blitar]] kala itu, sehingga Hayam Wuruk pun tidak segan untuk melakukan dua kali kunjungan istimewa dengan tujuan yang berbeda ke daerah ini.
 
Pada tahun [[1316]] dan [[1317]] Kerajaan [[Majapahit]] carut marut karena terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti dan Sengkuni. Kondisi itu memaksa Raja Jayanegara untuk menyelamatkan diri ke desa Bedander dengan pengawalan pasukan Bhayangkara dibawah pimpinan [[Gajah Mada]]. Berkat siasat [[Gajah Mada]], Jayanegara berhasil kembali naik tahta dengan selamat. Adapun Kuti dan Sengkuni berhasil diringkus dan kemudian dihukum mati.<ref>Kitab Pararaton:80-83<ref/> Oleh karena sambutan hangat dan perlindungan ketat yang diberikan penduduk Desa Bedander, maka Jayanegara pun memberikan hadiah berupa prasasti kepada para penduduk desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa pemberian prasasti ini merupakan peristiwa penting karena menjadikan [[Blitar]] sebagai daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan [[Majapahit]]. Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada hari [[Minggu]] Pahing bulan Srawana tahun [[Saka]] 1246 atau [[5 Agustus]] [[1324]] Masehi, sesuai dengan tanggal yang tercantum pada prasasti. Tanggal itulah yang akhirnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Blitar setiap tahunnya.