Soedjatmoko: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Rahman Priadi (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Rahman Priadi (bicara | kontrib)
Baris 50:
Soedjatmoko dilahirkan pada tanggal 10 Januari 1922 di [[Sawahlunto]], [[Sumatera Barat]], dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat. Ia anak kedua dari Saleh Mangoendiningrat, seorang dokter keturunan bangsawan [[Suku Jawa|Jawa]] asal [[Madiun]], dan Isnadikin, seorang ibu rumah tangga asal [[Ponorogo]]; pasangan tersebut mempunyai tiga anak lain, serta dua anak angkat.<ref name=rmaf/> Adik Soedjatmoko, [[Nugroho Wisnumurti]], saat dewasa juga bekerja untuk [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] (PBB).<ref name=ugm/> Saat ia berusia dua tahun, Soedjatmoko dan keluarga berpindah ke Belanda setelah ayahnya mendapatkan beasiswa untuk belajar di negara itu selama lima tahun.<ref>{{harvnb|Kahin|Barnett|1990|p=133}}</ref> Setelah kembali ke Indonesia, Soedjatmoko melanjutkan sekolahnya di suatu sekolah dasar di [[Manado]], [[Sulawesi Utara]].<ref name=rmaf/>
 
Soedjatmoko lalu bersekolah di HBS [[Surabaya]], di mana ia lulus pada tahun 1940.<ref name="kahin134"/> Sekolah itu memperkenalkan ia dengan [[bahasa Latin]] dan [[bahasa Yunani Kuno|Yunani Kuno]], dan salah satu gurunya memperkenalkan Soedjatmoko dengan [[kesenian Eropa]]; dalam sebuah wawancara ketika sudah dewasa, Soedjatmoko mengenang bahwa hal tersebut membuat ia melihat orang Eropa sebagai lebih dari sekadar kolonis.<ref name=rmaf/> Ia lalu melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran di Batavia (sekarang [[Jakarta]]). Saat melihat daerah kumuh Jakarta, Soedjatmoko menjadi tertarik dengan masah kemiskinan; topik tersebut ditelitinya di kemudian hari.<ref name=rmaf/> Namun, setelah Jepang menduduki Indonesia, pada tahun 1943 ia dikeluarkan dari sekolah karena kekerabatannya dengan [[Sutan Sjahrir]]&nbsp;– yang telah menikah dengan kakak Soedjatmoko, Siti Wahyunah<ref name=ugm>{{cite web |url=http://www.ugm.ac.id/en/?q=news/contemplating-soedjatmoko%E2%80%99s-thought-about-intellectuals |archiveurl=http://www.webcitation.org/66MjPaG4F |title=Contemplating Soedjatmoko’s Thought about Intellectuals |trans_title=Mempertimbangkan Pandangan Soedjatmoko tentang Kaum Intelektual |language=Inggris |publisher=Universitas Gadjah Mada |archivedate=23 March 2012 |accessdate=23 March 2012}}</ref>&nbsp;– serta keterlibatannya dalam protes terhadap pendudukan Jepang.<ref name=rmaf/><ref name="kahin134">{{harvnb|Kahin|Barnett|1990|p=134}}</ref>
 
Setelah dikeluarkan, Soedjatmoko berpindah ke [[Surakarta]]. Di sana, ia membaca tentang sejarah Barat dan ilmu politik, yang memicu ketertarikannya dengan [[sosialisme]];<ref name="kahin134"/> ia juga bekerja di rumah sakit milik ayahnya. Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan Indonesia]], Soedjatmoko diminta menjadi Wakil Kepala Bagian Pers Asing di Kementerian Penerangan.<ref name=rmaf/> Pada tahun 1946 ia dan dua sahabatnya mendirikan mingguan berbahasa Belanda, ''Het Inzicht'' (''Di Dalam''), sebagai tanggapan atas ''Het Uίtzicht'' (''Pandangan'') yang disponsori oleh Belanda; ini atas permintaan Sjahrir, yang sudah menjadi [[Perdana Menteri Indonesia]]. Tahun berikutnya, mereka menerbitkan jurnal sosialis ''Siasat'', yang juga diterbitkan setiap minggu.<ref name="kahin134"/><ref name=unu/> Dalam periode ini Soedjatmoko mulai tidak menggunakan nama Mangoendiningrat, sebab nama bapaknya itu membuat ia teringat akan aspek [[feudalisme]] dalam [[budaya Indonesia]].<ref name=rmaf/>