Galela, Halmahera Utara: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k →‎CANGA - CANGA I Bajak Laut Tobelo-Galela): ejaan, replaced: di tempatkan → ditempatkan
Rachmat-bot (bicara | kontrib)
k tidy up, replaced: dimana → di mana (6), aktifitas → aktivitas (2), pemukiman → permukiman (24), Pemukiman → Permukiman (4)
Baris 19:
== SEJARAH GALELA TOBELO ==
 
Menurut laporan Portugis, penduduk pemukimanpermukiman Tobelo, Galela, terutama Tobaru, adalah pelaku kekejaman dan kekerasan tanpa belas kasihan yang mana mereka menyerang pemukIman orang Moro sepanjang abad ke-16. “Di pulau ini hidup orang-orang yang disebut Tavaros (Tobaru). Mereka orang-orang primitif yang kesenangannya hanya ada dalam membunuh siapapun yang bisa dibunuh. Dan dikabarkan seringkali mereka membunuh istri dan anak-anaknya jika tidak menemukan orang lain yang bisa dibunuh”. Sementara orang Tobaru hidup di lembah sungai Ibu, orang Galela tinggal di pemukimanpermukiman dengan nama Galela, di tepi Danau Galela dan berada di bawah pemerintahan penguasa Gamkonora di pantai barat jazirah utara Halmahera. Mereka berulangkali menyerang pemukimanpermukiman orang Moro di Mamuya dan pada tahun 1606 juga menyerang Tolo.
 
Nama Tobelo muncul pertama kalinya pada tahun 1606, ketika orang Moro di Samafo dan Cawa mengungsi ke Tolo untuk menghindari serangan dari penduduk pemukimanpermukiman bernama Tobelo yang letaknya delapan mil di pedalaman. Lima puluh tahun kemudian, dua pemukimanpermukiman Tobelo di catat yaitu Tobelo-tia, dan Tobelo-tai. Keduanya terletak di pedalaman, jauh dari jangkauan penguasa Gamkonora dan Ternate. Tahun 1686, Tobelo-tia digambarkan terletak di tepi sebuah danau (diduga sebagai Danau Lina) di pedalaman sebelah utara distrik Kao. PemukimanPermukiman tersebut dibagi dalam delapan wilayah dan merupakan wilayah bawahan dari penguasa Gamkonora yang diwakili oleh seorang “hukum”. Sumber yang sama menjelaskan bahwa Tobelo-tai terletak satu hari berlayar ke selatan dari Galela. Dalam peta yang digambar oleh Isaac de Graaf, hanya tiga pemukimanpermukiman di sepanjang jazirah utara yang dicatat : Galeta (Galela), Tomueway (di lokasi desa Mawea sekarang ini) dan Tubella (Tobelo),terletak di Danau Lina.
 
Dari sini, kita kemudian bisa merekonstruksi perkembangannya. Di akhir abad ke-16, hanya ada satu pemukimanpermukiman Tobelo yang terletak delapan mil di pedalaman dari pemukimanpermukiman orang Moro yaitu Samafo dan Cawa. Ingatan tentang pemukimanpermukiman tunggal orang Tobelo masih melekat dalam ingatan orang Ternate pada abad ke-19. Tahun 1858 ada informasi dari dewan Ternate (Ternaten Court) yang menyebutkan bahwa pada zaman dulu ada tujuh negeri kecil (petty states) yang independen di jazirah utara Halmahera yaitu Jailolo, dan Loloda masing-masing dibawah seorang kolano, Sahu,Tobaru, Tolofuo dan Kau dibawah seorang sangaji dan Tobelo dan Galela yang merupakan kampung-kampung yang besar yang memiliki pemerintahan sendiri dan independen dari Gamkonora.
 
PemukimanPermukiman orang Tobelo terbagi menjadi dua antara tahun 1606 sampai tahun 1656. Kedua komunitas terletak di pedalaman sampai sebelum tahun 1686, salah satunya bergerak ke tepi pantai dan menempati tanah tidak bertuan yang dulunya merupakan pemukimanpermukiman orang Moro. Disana mereka membangun pemukimanpermukiman, Tobelo-tai dan pada akhir abad ke-17 pemukimanpermukiman di pinggir pantai yaitu Mawea ditambahkan. Komunitas yang lain, Tobelo-tia tetap berada di Danau Lina.
(kemudian tidak ada catatan sejarah tentang Tobelo selama sekitar 150 tahun)
 
Baru pada tahun 1855 nama Tobelo kembali muncul, saat penduduk “kampong Tobelo” menolak untuk menyerahkan seorang bajak laut bernama bernama Laba kepada komandan kapal perang “Vesuvius”. Sang komandan kemudian memerintahkan untuk memborbardir kampung tersebut. Di lokasi tersebut,dikenal sebagai “Berera Ma Nguku” (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Tobelo) yang saat ini letaknya di desa Gamhoku (‘kampung terbakar’ dalam bahasa Ternate). Setelah penghancuran, penduduknya dipindahkan ke lokasi yang berhadapan dengan pulau Kumo, dimanadi mana Gubernur Belanda untuk Maluku memerintahkan membangun pemukimanpermukiman baru. Kampung ini dikenal sebagai “Berera Ma Hungi” (‘kampug baru’ dari bahasa Tobelo) dan sekarang dikenal dengan nama dari bahasa Ternate yaitu Gamsungi, dengan arti yang sama (kampung baru). Tapi pada saat itu, pemukimanpermukiman orang Tobelo sudah menyebar di sepanjang pantai daerah Tobelo sekarang dan beberapa bagian pulau Morotai. Tahun 1856, penduduk Tobelo dikabarkan hidup di sembilan domain (negeri atau hoana) yang mana empat di antaranya dihuni yaitu Liena (Lina), Liebatto (Huboto), Laboewah-lamo (Hibua Lamo) dan Nomo (Momulati). Negeri-negeri yang lain ditambahkan pada ke-empat negeri ini dan “tidak lagi menyandang nama negeri”. Pengurangan dari sembilan ke empat negeri ini kemudian dihubungkan dengan administrasi pemerintah Belanda. Campen melaporkan pada tahun 1883 bahwa kesembilan negeri (hoana) ini adalah Katana,Mawea,Patja,Jaro,Saboea Lamo,Lina,Sibotto, Momulati dan Mede tapi “pemerintahan kita (Belanda) membuat pembagian yang sewenang-wenang ke dalam tujuh bagian (hoana), kemudian menjadi lima, dan sekarang...... pembagian ke dalam empat negeri dikembangkan”. Keempat negeri , yaitu Momulati, Lina, Sibotto dan Saboea Lamo, bersama-sama membentuk ibu kota (hoofplast) Tobello. Sebagai tambahan, Campen menyusun daftar dua puluh empat pemukimanpermukiman Tobelo, hampir semuanya dinamai sesuai dengan nama sungai, atau bentukan pantai (tanjung,teluk atau pulau) dimanadi mana mereka tinggal. Dan satu abad kemudian, pada awal 1980-an, ini adalah bentuk yang mana orang Tobelo mengidentifikasi wilayahnya: dua puluh dua pemukimanpermukiman, yang semuanya terletak di pinggir pantai dan dinamai sesuai dengan kali,sungai, atau teluk dimanadi mana mereka tinggal, dikelompokkan ke dalam empat (atau lima) wilayah domain (ma hoana) yaitu Lina, Huboto, Momulati, dan Hibua Lamo (hoana Hibua Lamo berasal dari hoana Gura dan kemudian menggantikan hoana tersebut). Bersama-sama, keempat hoana ini membentuk O Tobelohoka manga ngi, “wilayah Tobelo”.
 
== ORANG MORO DI BUMI HALMAHERA ==
 
Ketika Portugis tiba di maluku pada pertengahan abad ke-16, mereka menemukan bahwa pantai timur Halmahera, yang disebut Morotia, dan pulau Morotai dihuni oleh orang-orang yang dikenal sebagai “Orang Moro”.Di wilayah -yang sekarang ini dihuni oleh orang Tobelo dan Galela- orang Moro banyak membangun perkampungan di pesisir pantai. Pada tahun 1556, ada 46 atau 47 perkampungan Moro, yang masing-masing kampung berpenduduk sekitar 700 sampai 800 penduduk. Di jazirah utara,perkampungan Moro ditemukan dari Tanjung Bisoa di utara sampai Cawa di selatan - dekat kota Tobelo sekarang ini. Pulau Morotai dan pulau Rau yang lebih kecil dihuni secara eksklusif oleh orang Moro. Pada tahun 1588 ada sekitar 29 pemukimanpermukiman di sana. Jumlah yang sama dilaporkan pada pada tahun 1608.
 
Populasi orang Moro sangat besar dibandingkan dengan suku-suku di dekatnya, bahkan jika kita mambaca perhitungan dari misionaris Portugis dengan kritis. Pertengahan abad ke 16 , menurut perkiraan yang paling konservatif orang Moro berjumlah sekurang-kurangnya 20.000 orang. Jumlah populasi yang signifikan ini adalah bukti dari kenyataan bahwa, setelah orang Moro menhilang pada pertengahan abad ke-17, jumlah populasi penduduk yang tersisa di Halmahera berkurang sangat drastis.
 
PemukimanPermukiman orang Moro terletak jauh dari suku tetangga mereka seperti Tobelo, Galela dan Tobaru di satu pihak. PemukimanPermukiman dari ketiga suku ini terletak jauh di pedalaman dan tidak masuk dalam dalam empat pemukimanpermukiman utama (Tolo, Sugala, Mamuya di Morotia dan Cawo di Morotai) yang merupakan wilayah orang Moro pada tahun 1536, dan pemukimanpermukiman Tobelo, Galela, dan Tobaru juga tidak dimasukkan dalam pembagian delapan distrik yang dilakukan tahun 1588 (Sugala, Sakita, Mamuya, Tolo, Cawa, Sopi, Mira dan Cawo). Sangaji yang di tunjuk untuk distrik-distrik Moro ini tidak memiliki otoritas terhadap Tobelo, Galela dan Tobaru.
 
Negeri Moro memiliki hubungan dalam hal pemberian upeti (tributary relationship) dengan Ternate. Mereka menyediakan persediaan makanan bagi Ternate, dan juga bagi Jailolo dan Tidore dalam jumlah yang lebih kecil. Pada tahun 1536 dilaporkan bahwa “...raja-raja Maluku memiliki sebuah negeri yang dibagi-bagi di antara mereka...raja-raja itu tidak memiliki persediaan atau hasil alam untuk menopang kerajaan mereka kecuali yang mereka datangkan dari Moro dimana ada banyak beras dan sagu, daging dan ayam... orang-orang Moro adalah hamba (escravos) dari raja-raja ini”. Dalam pembagian wilayah Moro, Ternate mendapatan bagian terbesar. Tampaknya orang Moro juga berpartisipasi dalam ekspedisi militer Ternate. Sekitar 5000 sampai 6000 penduduk Moro di Mamuya dan Tolo dikabarkan mengambil bagian dalam pasukan Ternate yang membantu Gubernur Portugis Tristao de Ataide untuk menaklukkan Jailolo dan mengalahkan pasukan Spanyol pada tahun 1533.
Baris 44:
Tahun 1536 Katarabumi, penguasa Jailolo, didukung oleh persekutuan dengan Tidore dan Bacan mengusir Portugis dari Moro dan menaklukkan negeri Moro. Para prajurit Tobaru dari lembah sungai Ibu mengambil bagian aktif. Sumber-sumber Portugis mengungkapkan mereka (orang Tobaru) sangat ditakuti karena kemampuan untuk bergerak di dalam hutan tanpa terlihat dan menyerang dengan tiba-tiba. “mereka dikabarkan bisa menghilang (turn themselves invisible)”. Pada tahun berikutnya, pasukan Portugis berhasil merebut kembali negeri Moro (kecuali Sugala). Tapi pada tahun berikutnya, penduduk Moro di Tolo dan Mamuya menderita terutama oleh serangan Tobaru, dan penduduk Moro di Morotai karena serangan Jailolo.
 
Sekitar dekade 1540-an, Jailolo telah menaklukkan pemukimanpermukiman Moro di Tolo, sebuah pemukimanpermukiman yang digambarkan oleh Rebelo sebagai “yang terbesar, yang paling banyak penduduknya, dan terkuat dari antara seluruh pemukiman di kepulauan Moro”. Pada 1549 Sultan Hairun dari Ternate bertolak untuk merebut kembali Moro dengan bantuan Portugis. Sementara melakukan pengepungan, gunung di dekat Tolo meletus. Tolo kembali direbut dan para tentara pendudukan dari Jailolo dikejar ke pegunungan.
 
Para pemimpin Gamkonora (terletak di pantai barat jazirah utara Halmahera) dan Sultan Ternate terus mengancam keberadaan negeri Moro. Pada tahun 1570, Pune di dekat Mamuya dan pemukimanpermukiman lainnya diserang dan dihancurkan oleh Sultan Babullah dari Ternate. Pada dekade-dekade selanjutnya populasi orang Moro semakin berkurang karena serangan yang berkelanjutan.
 
Pada tahun 1606, ketika Belanda telah mengusir Portugis dari Tidore,sebuah armada Spanyol mendekati Ternate yang disambut dengan tembakan dari sebuah kapal Belanda.Dengan bantuan Tidore, Spanyol merebut Ternate.
Baris 154:
 
Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya.
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktifitasaktivitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil yang fluktuatif.
 
Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang.
Baris 168:
Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.
 
Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimanadi mana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.
 
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukimanpermukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
 
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005
Baris 182:
 
Dua pusat kekuasaan yang utama di Indonesia Timur adalah Ternate dan Bone. Lingkungan pengaruh dari keduanya didasarkan pada aliansi dengan vassal (penguasa bawahan) masing-masing dan dengan para pedagang, bangsawan, masyarakat laut dan perompak. Berbeda dengan sistem ideal Belanda yaitu sistem penataan hubungan politik yang terpusat di mana pengusahaan keamanan dan ketertiban serta mediasi merupakan fungsi yang penting, sistem vassal (tributary sistem) terdiri dari rangkain perjanjian perdamaian (non-agression pacts) yang dinegosiasikan secara terpisah antara pusat kekuasaan dengan masing-masing vassal. Sebuah pusat kekuasaan tidak bisa mengontrol pergerakan dan tindakan dari kerajaan bawahan tapi dapat melakukan tindakan militer untuk membalas tantangan atau kelalaian dalam pemberian upeti, yang mana tindakan militer ini melibatkan kelompok perompak dan kerajaan bawahan lainnya.
Bagi sebuah pusat kekuasan, adalah penting untuk mengatur dengan cara-cara yang menjamin bahwa potensi kekerasan tidak akan diarahkan kepada mereka. Dan agar kerajaan bawahan dan para perompak tidak bersekutu melawan mereka.Atas alasan ini, adalah penting untuk mengarahkan kekerasan keluar perbatasan dengan mengizinkan kerajaan bawahan dan para bangsawan dengan pengikut bersenjatanya untuk melakukan aktifitasaktivitas kekerasan jauh dari pusat kekuasaan . Pantai timur Sulawesi dengan tiga kerajaan maritimnya yaitu Buton, Tobungku, dan Banggai terletak di antara lingkungan pengaruh Bone dan Ternate. Sebagai konsekuensinya, ketiganya merasakan dampak dari kelompok perompak dari kedua pusat kekuasaan tersebut dan harus mencari perlindungan dari keduanya dengan – dengan hasil yang fluktuatif.
 
Pada tahun 1743, sebuah perjanjian dinegosiasikan oleh Ternate untuk menyelesaikan konflik antara dua vassal yaitu Banggai dan Tobungku, sehingga keduanya bisa berpartisipasi dalam ekspedisi militer yang dipimpin oleh Ternate. Ketentuan akhir dari perjanjian ini, menetapkan bahwa Sultan Ternate berhak menerima bagian dari rampasan perang.
Baris 196:
Efek samping yang tidak diharapkan dari operasi pemberantasan bajak laut di sekitar Flores adalah peningkatan perompakan di pantai timur Sulawesi.
 
Tahun 1846, tiga pemimpin bajak laut Tobelo dan para pengikutnya tiba di Banggai dimanadi mana mereka disambut sebagai sekutu oleh para bangsawan Ternate yang sedang menghadapi pemberontakan oleh penguasa lokal (era ini Banggai diperintah oleh Raja Agama.Karena keterlibatan para bajak laut Tobelo, maka perang untuk memadamkan pemberontakan tersebut dinamakan “Perang Tobelo”). Tahun berikutnya perang dimenangkan oleh Ternate dan para bajak laut, dan orang Tobelo kemudian merompak di sepanjang pantai wilayah tersebut dan berbagi hasil jarahan dengan para bangsawan Ternate yang menjadi pelindung mereka terhadap Belanda. Para bangsawan Ternate juga menjadi penadah bagi budak hasil tangkapan para bajak laut Tobelo.
 
Belanda kemudian menyadari bahwa menekan para perompak memerlukan kerja sama dengan sekutu mereka. Tahun 1853 sultan Ternate mengeluarkan dekrit yang menyerukan orang Tobelo untuk pulang ke Ternate dalam waktu satu tahun atau jika tidak akan diperlakukan sebagai bajak laut oleh Belanda. Banyak orang Tobelo yang mengalir ke Sulawesi Timur untuk melapor ke wakil Ternate tapi dicegat oleh kapal perang Belanda dan langsung di angkut dan dipulangkan ke Ternate. Pada tahun 1870-an dan 1880-an, ekspedisi anti-bajak laut tidak lagi dilakukan dengan kapal-kapal Eropa tapi dengan menggunakan perahu kora-kora yang bisa memasuki perairan dangkal dan mampu bermanuver untuk mengejar kapal-kapal kecil. Para penguasa lokal dan para bangsawan dikenakan denda yang berat jika diketahui menjalin hubungan dengan bajak laut Tobelo dan perompak lainnya. Perompak Tobelo terakhirdi angkut dari timur Sulawesi pada tahun 1880-an. Sebagai dampak langsungnya, terjadi pemukimanpermukiman kembali di pesisir pantai Sulawesi, kebangkitan perdagangan lokal, dan booming dalam produksi kopra. Perairan timur Sulawesi akhirnya ditenangkan bagi penguasa kolonial.
 
Artikel di IIAS Newsletter edisi 36 Maret 2005
Baris 220:
== Keadaan Alam ==
 
Galela adalah sebuah wilayah yang beriklim tropis, maka keadaan alamnya sangat menentukan potensi bagi penghidupan masyarakat petani, sebab pertanian merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Dan yang sangat menarik dari wilayah tersebut adalah terdapat sebuah danau yang besar, dimanadi mana danau ini dikelilingi oleh desa-desa yang berada dipedalaman yakni di kecamatan Galela Selatan Dan Kecamatan Galela Barat, sehingga semakin menambah keindahan panorama alam disekitarnya diamana sekarang oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Utara telah menetapkan danau Galela sebagai tempat wisata Danau sehingga sekarang masyarakat Halmahera Utara di setiap hari libur selalu berkunjung ke tempat ini, tempat wisata danau ini tepat berada di kecamatan Galela Barat. Sedangkan Di Kecamatan Galela Selatan Terdapat Restoran terapung di atas danau dengan fasilitas ikan Mujair bakar segar.
 
== Keadaan Demografis ==