Abdul Qadir bin Abdul Mutalib: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: penggantian teks otomatis (- sorban, + serban)
Baris 86:
Sementara itu ‘Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman dan Muhammad Ibrahim Ahmad ‘Ali menuturkan, bahwa pengajian Syaikh ‘Abdul Qadir Al-Mandili nampak begitu jelas di antara pengajian-pengajian lain yang ada di [[Masjidil Haram]]. Biasanya digelar saat masjid tengah sepi, yaitu selepas shalat ‘ashar, isya’, dan shubuh di Bab Al-‘Umrah. Dia duduk di sebuah kursi yang tinggi agar suaranya dapat didengar banyak pelajar yang menghadiri pengajiannya yang mengelilinginya di setiap sisinya.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>
 
Pengajiannya berlangsung hingga beberapa jam, dua atau tiga jam. Para hadirin pun dengan penuh antusias menyimak pelajaran yang ia sampaikan seakan-akan di atas kepala mereka terdapat burung. Suaranya dikenal membahana dan berderak memenuhi masjid. Dia biasa mengenakan sorbanserban dan jubbah [[Makkah]]. Cara jalannya penuh dengan keistimewaan, kesehariannya dilalui dengan kesungguhan, selalu bersikap rendah hati di hadapan para muridnya, dan bertingkah layaknya ulama-ulama Makkah pada umumnya.<ref name="abdul qadir al-mandili"/>
 
Ketika menjadi guru di [[Masjidil Haram]], Syeikh Abdul Qadir bin Abdul Muthalib pernah ditawarkan dengan berbagai jabatan, sebagai guru agama di [[Cape Town]], [[Afrika Selatan]]. Presiden [[Soekarno]] juga dikisahkan pernah menawarkan sebagai Mufti Indonesia, sedangkan Raja [[Arab Saudi]] menawarkan posisi Qadhi Al-Qudat dengan gaji yang besar.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> Tetapi semua itu ditolak olehnya karena ia lebih memilih konsentrasi dalam hal mengajar di Masjidil Haram.<ref name=niknasri/><ref name=alkisah2/> Sesuai dengan gelar yang diberikan kepadanya yakni "Khuwaidam Talabah al-Ilmu as-Syarif bil Harami al-Makki (Khadam kecil bagi penuntut ilmu di Masjidil Haram)".<ref name=niknasri/>