Sejarah ekonomi Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
|||
Baris 48:
[[Berkas:1818_Pinkerton_Map_of_the_East_Indies_and_Southeast_Asia_(Singapore,_Borneo,_Java,_Sumatra,_Thailand_-_Geographicus_-_EastIndiaIslands-pinkerton-1818.jpg|ka|jmpl|300x300px|Peta Hindia belanda pada tahun 1818]]
Munculnya banyak pemberitaan tentang menderitanya petani Hindia Belanda di Pulau Jawa terkait sistem tanam paksa atau budidaya yang diterapkan Belanda untuk mengisi kembali kas negara yang kosong akibat mengalami pengeluaran luar biasa mulai menuai kecaman dan penolakan dari masyarakat Belanda sendiri, karena kebijakan ini dinilai tidak manusiawi. Kebijakan ini lantas digantikan dengan reformasi agraria pada [[Periode Liberal (Hindia Belanda)|masa Liberal]] yang mengatur bahwa pengusaha non-Belanda ikut diperbolehkan untuk tidak hanya menyewa lahan, tetapi juga diperbolehkan memliki lahan. Sejak itu investasi swasta mengalir masuk ke Hindia Belanda seperti pertambangan dan perkebunan. Belitung yang menjadi rumah dari pertambangan timah mendapatkan investasi dari sindikasi pembiayaan dari sekelompok pengusaha belanda, termasuk adik dari Raja William III. Pertambangan dimulai pada tahun 1860. Pada tahun 1863 [[Jacob Nienhuys]] memperoleh konsesi dari [[Kesultanan Deli]] ([[Negara Sumatera Timur|Sumatera Timur]]) untuk menggunakan lahan yang ada untuk digunakan sebagai lahan perkebunan [[tembakau]].<ref>Dick, et al. (2002), p. 95</ref> Hindia belanda secara resmi membuka kesempatan bagi para perusahaan swasta dan Pengusaha Belanda menanamkan investasi pada lahan perkebunan dan pabrik pengolahan hasil tani. Produksi gula meningkat dua kali lipat antara tahun 1870 dan 1885; tanaman baru seperti teh dan kina berkembang, dan karet diperkenalkan, yang mengarah ke peningkatan keuntungan secara dramatis bagi pra pengusaha swasta. Portofolio investasi perusahaan swasta tidak hanya berhenti pada pertanian dan perkebunan, tetapi merambah hingga eksplorasi dan produksi minyak di Sumatera dan [[Kalimantan]] menjadi sumber daya berharga bagi Belanda yang menjadi negara salah satu negara Eropa yang berpengaruh dalam hal industrialisasi. Komersialisasi kegaitan perdagangan diperluas dari Jawa ke luar pulau dengan semakin banyak wilayah yang berada dibawah kekuasaan Belanda hingga paruh kedua abad ke-19. Namun, akibat kelangkaan lahan untuk produksi beras, bersamaan dengan terjadinya peningkatan populasi, terutama di Jawa, mengakibatkan beras sulit untuk didapat.
Eksploitasi kekayaan Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap industrialisasi yang berlangsung di Belanda, sekaligus meletakkan dasar bagi industrialisasi di Indonesia. Belanda memperkenalkan kopi, teh, kakao, tembakau dan karet untuk ditanam di Jhamparan lahan yang subur di Pulau Jawa dibudidayakan oleh petani Jawa, yang dikumpulkan oleh pemerantaraan China, dan dijual diperdagangkan diluar negeri oleh pedagang dari Eropa.<ref name="LP_23-25"/> Pada akhir abad ke-19 pertumbuhan ekonomi didasarkan pada permintaan dunia untuk teh, kopi, dan kina. Pemerintah menginvestasikan jaringan kereta api (150 mil panjang pada tahun 1873, 1.200 pada tahun 1900), serta jalur telegraf. Hal ini menjadi nilai tambah bagi para pengusaha untuk mendirikan usahanya seperti bank-bank, toko-toko dan koran. Hindia belanda menjadi rumah bagi sebagian besar pasokan komoditas dunia dari kina dan merica, karet, kelapa, dan teh, gula, kopi, dan minyak. Keuntungan yang didapt dari Belanda dari Hindia Belanda membuat negara tersebut menjadi salah satu kekuatan kolonial dunia terkuat setelah Inggris dan Perancis.<ref name="LP_23-25"/> [[Koninklijke Paketvaart Maatschappij]] perusahaan pelayaran Belanda juga ikut berpartisipasi dalam penyatuan ekonomi kolonial dengan menjadikan Jakarta sebagai pusat pengiriman antar pulau dari maupun menuju, daripada melalui Singapura, sehingga fokus kegiatan ekonomi lebih banyak di pulau Jawa.<ref>Vickers (2005), p. 20</ref>
|